actasurya.com – “Lagi-lagi satu tendangan berbahaya……” Itulah jargon yang selalu terdengar ditelinga masyarakat saat Nus Tuwanakotta menjadi komentator pada pertandingan sepak bola. Komentator sepak bola pada era 70-an ini sangat diidolakan oleh para produser pada tahunnya.
Nus yang kerap disapa Bung Nus ini lahir pada 9 Juli 1950 di kediaman orangtuanya Makassar. Perjalanan karir Nus yang berawal dari penyiar radio amatir di Makassar membuat ia akhirnya terjun pada dunia jurnalistik di tahun 1968. Tetapi tetap tidak jauh-jauh dari radio dan sepak bola.
Buktinya tahun 1976 menjadi penyiar di radio merdeka, dilanjut tahun 1978 menjadi penyiar berita di TVRI. Saat Nus di TVRI ia menjadi kebanggaan para redaksinya. Karena ia mempunyai cara berfikir yang kreatif untuk menyiarkan acara pertandingan sepak bola.
Dengan cara berfikir yang kreatif itulah, ia berkesempatan untuk meliput pertandingan sepak bola di Luar Negeri. Bahkan sampai lima benua ia pernah berkunjung untuk tugas liputannya. Negara pertama yang ia kunjungi adalah Filipina, lalu dilanjut London, Brunei, Bangkok, Malaysia, Selandia Baru, dan Beijing.
Bung Nus bangga menjadi wartawan olahraga. Karena ia sebenarnya putus kuliah tapi bisa keliling dunia tanpa membayar sepeser pun. “Enak, karena saya tidak membayar. Tapi malah dibayar,” tutur laki-laki mantan pemain sepak bola ini.
Dulu ia pernah kuliah di fakultas ekonomi pilihan ayahnya. Tetapi karna ia tidak cocok dengan fakultas itu dia memutuskan untuk tidak berkuliah kembali. Ia lebih memilih menjadi penyiar yang didukung oleh ibunya. “Ibu saya penyiar, saya penyiar dan anak saya yang ini penyiar. Kalau nantinya cucu saya penyiar, saya akan mendapatkan penghargaan karna empat generasi menjadi penyiar semua,” tutur Bung Nus sambil ketawa.
Laki-laki berkacamata ini menjadi saksi mata gerhana matahari total pada 11 juni 1983 lalu. Ia diwawancari oleh TransTV, Trans7 dan CNN mengenai peristiwa gerhana matahari total kemarin. Karena Pada tahun 1983 silam Bung Nus sempat tidak sengaja membohongi masyarakat jika gerhana matahari total akan terjadi 300 tahun lagi. Ia mengatakan seperti itu karena dapat arahan dari atasan.
Tidak hanya itu, ternyata bapak satu anak ini menjadi korban tentang kabar hoax. Ia diberi kabar jika waktu gerhana matahari total jangan sampai melihat gerhananya. “Dulukan katanya mata bisa buta karna lihat gerhana matahari total ya. Padahal tidak, itu kebohongan publik. Bisa buta jika gerhananya mau berakhir, karna cahaya sedikit demi sedikit muncul dan membuat mata kita kaget gitu,” cakap Nus sambil tersenyum.
Jika ditanya tentang kebebasan pers sendiri Nus Tuwanakotta mengatakan jika pada masa reformasi tidak boleh mengkritik pemerintah. “Sekarang sangat bebas ya. Saking bebasnya sampai kebablasan,” tegas wartawan yang mengidolakan Darmo Sugondo ini.
Menurutnya tantangan terbesar saat menjadi wartawan, terutama wartawan olahraga adalah harus menguasai semua cabang olahraga. “Kita harus menguasai semua cabang olahraga jika kita menjadi wartawan olahraga,” tutur Nus.
Suka dan duka pernah menemani laki-laki yang sekarang mrnjadi instruktur Probest (Profesional Broadcasting) Surabaya ini selama perjalanan karirnya. Sukanya adalah bisa kerja sambil keliling dunia gratis. Lalu dukanya, tidak tahan hawa dingin, susah mencari makanan dan tidak jago bahasa asing.
Makanya sebagai wartawan kata Bung Nus harus menguasai bahasa asing, setidaknya tiga bahasa asing. “Kita sebagai wartawan wajib menguasai bahasa asing tiga saja cukup buat bekal jika bertugas ke luar negeri.” ujarnya.
Adapun harapan sang wartawan yang sudah pensiun ini adalah semoga wartawan selalu menjunjung tinggi kode etik jurnalistik. “Tulislah berdasarkan fakta, kebenaran dan kejujuran,” tutup Bung Nus. (N/F : Kikik)