Actasurya.com – Pers mahasiswa (Persma) adalah wadah bagi mahasiswa untuk mengasah kemampuan jurnalistik dengan mengungkap berbagai isu dan menggali fakta-fakta tersembunyi menjadi sebuah informasi penting. Dibalik berita yang disampaikan, perjalanan panjang penuh dedikasi dan komitmen untuk mengabdi pada kebenaran telah dilakukan.
Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Acta Surya merupakan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dari Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Almamater Wartawan Surabaya (Stikosa-AWS). LPM ini berdiri pada 13 Maret 1966 dua tahun setelah berdirinya kampus wartawan, oleh Ammak Syarifuddin dan rekannya Peter A. Rohi. Menilik nama Acta Surya, Acta sendiri berasal dari nama surat kabar pertama di dunia yakni Acta Diorna yang berarti catatan harian, sementara Surya berasal dari kata Surabaya. Sehingga, secara garis besar Acta Surya berarti catatan harian atau berita di Surabaya.
Perjalanan Panjang Sebagai Jembatan Informasi dan Perubahan Kebijakan
Tak sekedar menyajikan berita, sebagai pers mahasiswa Acta Surya kerap mengadakan diskusi hingga lomba jurnalistik. Berperan sebagai kontrol sosial dan advokat bagi kepentingan mahasiswa dan warga kampus, mereka tak segan untuk mengangkat isu-isu sensitif dan berupaya menciptakan perubahan yang positif. Oleh karenanya, pers mahasiwa sebagai entitas vital dalam kehidupan kampus.
Dalam upaya menarik minat di era 1970-an, Zainal Arifin Emka, Pimpinan Redaksi Acta Surya pada saat itu kerap kali mengangkat isu-isu aktual dari dalam maupun di luar kampus. Apabila isu tersebut direspon, Acta Surya akan segera mengadakan forum diskusi. Keberhasilannya dalam menanggapi isu-isu tersebut tak lepas dari era yang mendukung. Tidak hanya sekedar mengangkat isu, Acta Surya berhasil membawa perubahan konkret. Seperti isu jual beli nilai hingga lambatnya ujian negara berhasil diangkat dan mendapat respon postif pihak akademik.
“Dunia mahasiswa saat itu sedang relevan dengan situasi pemerintahan. Lontaran isu Acta Surya tersebut, pada saat itu mahasiswa Stikosa-AWS melaksanakan ujian negara di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, akhirnya kami bisa mengubah ujian di kampus namun tetap dengan penguji dari UGM,” ungkapnya.
Meski dihadapkan pada tantangan dan hambatan seperti keterbatasan biaya dan sumber daya manusia, semangat awak Acta Surya untuk terus menyuarakan kebenaran tidak pernah padam. Mereka terus mengirimkan karya jurnalistiknya ke berbagai kampus yang ada di Surabaya.
“Tiras Acta Surya kecil, biaya cetak atau stensil mahal. Kami usahakan dengan mengirim ke kampus di Surabaya, waktu itu ada Badan Kerja Sama Senat Mahasiswa (BKSM),” pungkas Zainal.
Sementara itu, Hendro D. Laksono menyadari bahwa peranana pers mahasiswa penguatannya lebih pada sosial kontrol, dan keberadaan Acta Surya di tahun 1990-an mulai dianggap mengganggu oleh pihak akademik.
“Saat itu ruang terbesarnya di kampus. Bagaimana pihak akademik membuat policy, ini yang kami jadikan sorotan. Soal dampak kami sulit mengukur, namun yang jelas kampus terjadi perubahan. Akademik kampus tidak terlalu nyaman dengan keberadaan kami,” ungkap reporter dan kartunis Acta Surya periode 1993 itu.
Dampak dan Pengenalan Media Acta Surya
Bagi Hendro, Acta Surya merupakan laboraturium jurnalisme bagi mahasiswa Stikosa-AWS. Dengan memberikan pengalaman langsung dalam proses produksi media cetak mulai dari pembuatan konten (mencari data hingga menulis), pra-cetak (layout), hingga distribusi, mahasiswa yang bergabung dalam organisasi ini dapat merasakan seluruh proses tersebut secara langsung layaknya bekerja di perusahaan media arus utama (mainstream).
Acta Surya memainkan peran penting dalam mengubah paradigma di lingkungan kampus melalui pemberitaan, demo mahasiswa, dan aksi lainnya. Acta Surya turut berkontribusi dalam menjatuhkan rezim kampus dan berhasil meruntuhkan dominasi salah satu pembantu ketua di Stikosa-AWS kala itu.
“Kami kencang betul menulis soal kebijakan kampus. Ini demokrasi, tidak boleh ada yang sakit hati. Celetukan-celetukan itu tetap ada dari sejumlah petinggi kampus. AS (Acta Surya) dan kampus adalah mitra, tepatnya mitra kritis, saling mengingatkan.,” ujarnya.
Meski disetiap proses terdapat kendala dan keterbatasan, namun pers mahasiswa di kampus pencetak wartawan ini berhasil memperluas ruang geraknya. Keberadaan Acta Surya juga menjadi motivasi bagi sejumlah mahasiswa untuk turut berperan aktif dalam menulis. Rekruitmen yang dilakukan pada saat itu tidak hanya terjadi setahun sekali, namun setiap saat dengan mengadopsi pendekatan yang personal.
Acta Surya juga aktif hadir dalam berbagai diskusi dan meliput kegiatan baik di dalam maupun luar kampus. Hal tersebut bertujuan untuk memberikan kesempatan serta pengalaman bagi mahasiswa untuk bergabung dalam tim dan terlibat dalam proses produksi. Sehingga membuat Acta Surya menjadi dikenal dan diakui sebagai wadah untuk mengekspresikan pendapat dan menyampaikan aspirasi.
“AS seolah dapat tempat dan legitimasi fungsi. Tim AS selalu solid, sehingga saat reformasi 98, meski sebagian dari kami lulus, kami dipercaya mengelola Tabloid reformasi inisiatif mahasiswa Surabaya,” beber Hendro.
Lebih lanjut, Hendro juga menuturkan bahwa kesadaran di dunia mahasiswa tidak bisa dipaksa, melainkan harus diberi contoh. Proses yang dilakukan pun tidak singkat, mengais ilmu jurnalistik dari berbagai sumber untuk kembali membangun pondasi, kepercayaan, keyakinan, bahwa pers mahasiswa harus hadir.
“Untuk journalism laboratory, mengasah nalar dan daya kritis, sebagai bentuk kepedulian pada isu-isu. Hanya di pers kampus kami sejatinya bisa berpikir secara merdeka,” tuturnya.
Lebih lanjut, dalam era perubahan zaman yang terus berlangsung, pers mahasiswa terus berupaya menyesuaikan diri dan mengembangkan diri. Memanfaatkan teknologi dan media sosial sebagai sarana untuk mencapai lebih banyak audiens. Hingga saat ini setiap berita yang disajikan oleh Acta Surya telah tersedia dalam bentuk digital dan dapat diakses secara luas melalui situs web resmi www.actasurya.com.
Intervensi, Represi dan Suara yang Dibungkam
Sejak berdiri hingga masa kini, Acta Surya telah menjadi wadah bagi mahasiswa untuk berlatih dalam menyuarakan aspirasi, menggali isu-isu yang relevan, dan mengembangkan kemampuan jurnalistiknya. Tak sekadar pembelajaran teori, tetapi memberi pengalaman yang berharga sebagai calon jurnalis di masa depan. Namun dalam 58 tahun perjalanannya, Acta Surya juga menghadapi berbagai tantangan seperti proses wawancara yang dipersulit, mendapat intervensi hingga represi dari berbagai pihak. Meski berada di ruang lingkup yang berkecimpung di dunia jurnalis, tak jarang pemangku jabatan di ruang akademik menganggap pers mahasiswa merupakan humas kampus dan berusaha membungkam suara-suara kritis dan mencegah penyebaran informasi yang dianggap menjelekkan dan mengganggu kepentingan mereka.
“Di jaman saya, petinggi kampus dan dosen-dosen itu wartawan aktif dan mantan wartawan, ada juga yang mantan aktivis. Lika-liku ginian sangat paham. Kampus terang-terangan menentang kami, sampai puncaknya akademik berinisiatif membuat AS versi baru. Mereka yang biayain. Isinya tentang AWS dan Akademi Prapanca,” beber Hendro.
Tak berhenti sampai di situ, hal serupa kembali terjadi pada awal tahun 2023 lalu di mana petinggi akademik melakukan tindakan sewenang-wenang seperti intimidasi hingga pembredelan. Kasus ini bermula dari dua reporter Acta Surya yang melakukan wawancara guna meminta konfirmasi kepada ketua Stikosa-AWS terkait panduan akademik, persyaratan KRS (Kartu Rencana Studi) dan Kartu Hasil Studi (KHS). Buntut dari peliputan tersebut, pihak akademik mengeluarkan surat peringatan pertama (SP 1) kepada dua awak Acta Surya serta pengurangan nilai yang semula A menjadi E untuk seluruh mata kuliah yang telah ditempuh selama semester lima.
Tak hanya itu, pihak akademik juga melakukan intervensi, ancaman pelaporan dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) kepada dua reporter Acta Surya tersebut. Sedangkan LPM Acta Surya sendiri mendapat memo internal yang berisi pemberhentian seluruh kegiatan yang mengatasnamakan Acta Surya, hal ini merujuk pada pembredelan. Adanya tindakan sewenang ini membuktikan sikap akademik yang anti kritik menghambat proses belajar mahasiswa dalam mengasah nalar dan berdaya kritis terhadap isu yang ada di kampus.
Banyaknya kasus intimidasi yang terjadi kepada pers mahasiswa, Jelita Sondang Samosir, Pimpian Redaksi (Pimred) Acta Surya periode 2019 berpendapat bahwa hampir seluruh pergurun tinggi di Indonesia tidak siap dengan kritikan. Sehingga hal ini menimbulkan (gap) antara pihak akademik kampus dengan mahasiswanya.
“Mereka masih berpikir kalau mahasiswa adalah orang yang sedang belajar dan kewajibannya hanya belajar. Mereka berpikir kalau kebijakannya jelek ya biarin, nikmatin aja. Makanya ketika dikritik, diberi masukan, mereka kebanyakan tidak terima,” tanggap Jelita.
Perjalanan yang penuh semangat dari pers mahasiswa adalah cerita inspiratif yang menyoroti dedikasi, komitmen, dan semangat untuk berjuang demi kebenaran. Dalam konteks ini, pers mahasiswa memiliki peran kunci dalam menjaga kebebasan berekspresi dan memperkuat demokrasi di lingkungan kampus.
Meskipun turut berkiblat pada ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Pers Nomor 40 tahun 1999, selama bertahun-tahun pers mahasiswa tidak memiliki payung hukum yang jelas. Hal ini menyebabkan pers mahasiswa sering mengalami kesulitan dalam upaya advokasi terhadap berbagai bentuk represi yang dialami. Sehingga pers mahasiwa sanggat rentan terhadap intimidasi dan represi. Walau demikian, berdasarkan data dalam jurnal Dewan Pers edisi 14 tahun 2017, pers kampus tergolong dalam kuadran dua, di mana meskipun tidak memiliki verifikasi resmi dari Dewan Pers, namun konten beritanya tetap mematuhi standar kode etik jurnalistik.
Namun dengan adanya perjanjian kerja sama yang telah ditanda tangani pada 18 Maret 2024 antara dewan pers bersama Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), tentang penguatan dan perlindungan aktivitas jurnalistik mahasiswa di lingkungan perguruan tinggi ini memberikan kabar sejuk bagi pers mahasiswa. Perjanjian ini dapat dijadikan sebagai landasan hukum bagi pers mahasiwa saat penyelesaian sengketa yang timbul dari aktivitas jurnalistik di lingkungan kampus.
(N/F: Feb/Canva)