Tionghoa Surabaya Dalam Sepak Bola tahun 1915-1942
oleh: R.N Bayu Aji
> Politik & Hukum » Sosial & Politik
Penerbit : Ombak (K)
Edisi : Soft Cover
Tgl Penerbitan : 2010-01-19
Bahasa : Indonesia
Tionghoa dan Sepak bola
Tak banyak orang yang tahu, pada tahun 1938 Indonesia yang saat itu bernama Hindia Belanda pernah mengikuti Piala dunia di Prancis. Fakta yang menarik, mengingat setelah kemerdekaan, 17 Agustus 1945, kesebelasan Indonesia tak pernah sekali pun berlaga di ajang sepak bola paling bergengsi didunia itu.
Namun, saat akan mengikuti Piala Dunia di Prancis sempat terjadi ketegangan antara NIVB (Persatuan Sepakbola Hindia Belanda) dan PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia) terkait nama tim nasional. PSSI meminta agar nama timnas yang ikut Piala Dunia adalah Indonesia. Sedangkan NIVB meminta nama Nederlandsch-Indie alias Hindia Belanda alias Dutch East Indies.
FIFA kemudian mengakui nama Nederlansch-Indie dan PSSI menarik diri dari timnas. Nah, peran inilah yang kemudian diisi oleh komunitas Tionghoa untuk ikut pertama kali memperkuat timnas. Pemain Tionghoa Surabaya yang ikut Piala Dunia adalah Tan Mo Heng alias Bing (kiper) dan Tan Hong Djien (striker). Satu pemain lagi dari Surabaya adalah Tan See Han.
Memasuki bergantinya Orde Lama ke Orde Baru, paradoks terjadi pada ranah sepak bola khususnya bagi kalangan Tionghoa di Surabaya. Tidak ada lagi nama-nama tenar mewarnai sepak bola lokal maupun nasional dari orang Tionghoa. Seakan-akan orang Tionghoa menghilang begitu saja dari ranah sepak bola.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal itu terjadi. Pertama, rasialisme yang terjadi di masyarakat. Seringkali pemain sepak bola Tionghoa diteriaki China oleh suporter.
Kedua, perbedaan antara pribumi dan non-pribumi kerap masih dirasakan dalam kehidupan. Sehingga, ketika terjadi kerusuhan dalam sepak bola bisa bergeser pada sentimen ras. Kentalnya sentimen ras pasti menggangu kondisi psikis seseorang.
Ketiga, pandangan orang Tionghoa yang pragmatis. Bahwa sepak bola tidak bisa dijadikan sebagai sandaran hidup. Mereka lebih suka beraktualisasi pada wilayah perdagangan saja daripada sepak bola. Selain itu, orang Tionghoa lebih suka menekuni pendidikan dan kemudian bekerja di sebuah perusahaan ataupun perkantoran.
Belajar dari sejarah, di mana orang-orang Tionghoa berprestasi hebat di sepak bola pada 1930-an, R.N. Bayu Aji mengajak semua pihak untuk ‘mengembalikan’ kejayaan sepak bola Indonesia dengan cara merangkul semua warga negara dari etnis apa saja, termasuk Tionghoa.
“Dan bukan tidak mungkin orang Tionghoa berkiprah lagi dalam sepak bola dan bisa menunjukkan prestasi yang lebih. Bahkan, bisa membawa kejayaan sepak bola Indonesia lagi dan ikut Piala Dunia seperti tahun 1938,” tegas Alumni Departemen Ilmu Sejarah Univ. Airlangga Surabaya ini.
sumber: hurek.blogspot.com, sejarahtakberubah.blogspot.com. (N: Lyna C.)