actasurya.com – Tak gampang menyerah adalah salah satu kunci yang ia pegang saat kesulitan datang menghampirinya. Di saat kebutuhan ekonomi yang mendesak kala itu menderanya, seorang Fahrizal Arnas mampu menepis hal itu dengan memanfaatkan kemampuannya dalam bidang menulis dengan menjadi seorang jurnalis. Meskipun pada saat itu, pengalaman sebagai seorang jurnalis masihlah tipis.
Menempuh pendidikan sebagai mahasiswa di Stikosa-AWS pada tahun 1999, satu tahun menempuh pendidikan, membulatkan tekad pria yang akrab disapa Rizal ini untuk terjun di profesi wartawan. Saat itu, Rizal mendapatkan kesempatan pertamanya menjadi wartawan berkat seniornya. “Satu tahun setelah kuliah langsung jadi wartawan hiburan, salah satu media cetak berbentuk majalah di Surabaya. Terus pindah di harian Surabaya Pagi tahun 2001 sampai 2002, baru pindah di media Bola,” ucap pria kelahiran Surabaya ini.
Menjadi wartawan awalnya bukanlah cita-cita Rizal. Awalnya dunia senilah yang ia sukai, karena hobinya adalah melukis. Namun background perekonomian keluarga yang saat itu tengah goyang, membuatnya nyaris tidak pernah punya uang saku untuk kuliah.Dan itulah yang menjadi tuntutan ekonominya untuk mencari pekerjaan.“Kuliah hanya bisa bayar.Sering tidur di kampus daripada pulang. Kehidupan di kampus saat itu susah, rata-rata aktivis kampus seperti itu semua, jadi makannya jarang,” kenang Rizal.
Upah yang Rizal terima saat menjadi wartawan pada saat itu rendah sekali, apalagi media tempatnya bekerja juga masih media kecil.Rizal mengaku, di tahun 2000 upah yang ia terima hanya 250 ribu. “Kantornya di Balong Bendo, jadi tiap hari Surabaya-Balong Bendo. Kalau dihitung-hitung, ongkos antara transportasi dengan makan dan segala macamnya itu tidak cukup,” ungkap Rizal.
Saat itu, Rizal mengaku sering sedih karena masih susah, dan itulah alasannya kenapa ia tidak bisa meneruskan kuliah. Namun Tuhan memberikan jalan lain bagi Rizal untuk memenuhi kebutuhannya saat itu. Rizal mengatakan, walaupun sering sedih, dirinya selalu mencoba untuk menikmati kekurangannya. “Sebetulnya bisa kuliah sampai rampung, tapi terhambat biaya skripsi dan sebagainya, jadi berhenti. Sudah semester akhir, hanya tinggal praktek kerja lapangan (PKL) dan skripsi. Adapun matkul yang tertinggal hanya beberapa,” ucapnya.
Menjadi seorang wartawan yang bergerak di bidang olahraga sejak lama tentulah membawa berbagai pengalaman bagi Rizal. Ia mengaku, yang paling menjadi wartawan bola adalah saat ia mengikuti perjalanan Persebaya menjadi juara pada tahun 2004. Walaupun keberadaannya di sana hanya sebatas meliput, terdapat kebanggan tersendiri baginya saat itu karena benar-benar mengikuti perjalanan Persebaya mulai dari nol hingga menjadi juara. “Saat itu wartawan baru di olahraga masih dua tahun, jadi masih bergairah-bergairahnya pada saat itu meliput Persebaya yang jadi ikon kota Surabaya,” kenang pria berumur 34 tahun ini.
Menurut Rizal, jika sudah memilih profesi menjadi wartawan janganlah cengeng dan sering mengeluh. Baginya, tidak ada wartawan yang langsung menjadi top, semuanya harus diawali dari nol. Tidak berhenti belajar, dan terus mencoba. “Jika ada kesulitan-kesulitan yang dihadapi harus membulatkan tekad. Jika ada kemauan pasti ada jalan,” tutupnya.
naskah dan foto : Amalia Irawati