actasurya.com – Menulis adalah bekerja untuk keabadian, begitulah ungkapan dari maestro dibidang sastra, Pramoedya Ananta Toer. Memang, dengan menulis kita akan abadi, dikenang oleh masyarakat, bahkan kisah kita tak akan habis hingga generasi ketujuh. Berbagai cara pun dilakukan oleh makhluk bernama manusia untuk mengabadikan hidupnya, untuk membuat namanya tetap melangit sekalipun jasadnya telah terkubur ke dasar bumi.
Tak melulu lewat tulisan, cara lain dilakukan oleh Soeprapto untuk mencoba mengabadikan hidupnya, yakni dengan membangun museum pribadi. Museum yang terletak di Jalan Bendul Merisi Tengah No. 29 Surabaya ini bertajuk Museum Prapto Collection (MPC). Museum ini dibangunnya sejak Desember 2014 lalu.
Selain ingin mengabadikan kisah perjalanan hidup, Soeprapto mengaku tujuannya membangun museum ini agar anak cucunya kelak dapat menuai manfaat dari pengalaman yang ia lakoni. Di dalam museum ini juga terdapat barang-barang pribadi yang masing-masing merupakan saksi bisu sejarah hidupnya.
Raut wajahnya sudah tak lagi muda, ditambah dengan keriput yang mulai tumbuh menghiasi parasnya, penampilannya pun sederhana dengan menggunakan kaos oblong berkerah, namun hal ini berbanding terbalik dengan semangatnya yang menggebu ketika berkisah tentang cerita hidup yang ia rasakan.
Pria kelahiran 67 tahun yang lalu ini mengaku, ia mulai menyimpan barang-barangnya sejak duduk di bangku sekolah, tepatnya saat kelas 2 SMP. Ia juga mengungkapkan bahwa barang yang pertama kali menjadi simpanannya adalah uang sebesar 3500 perak, yang mana itulah gaji pertamanya saat ia bekerja sambil bersekolah.
Hobi yang ia lakoni pun kemudian berlanjut hingga muncullah pikiran untuk membuat museum prbadi. “Barang-barang ini saya simpan pribadi mulai kecil sampai dewasa, sampai kita bekerja dan punya pengalaman, sampai sekarang pula ketika saya punya niat untuk membuat museum,” ujar pria yang juga merupakan mantan Ketua Bulog Jawa Timur ini.
Terhitung sudah puluhan tahun ia mengoleksi barang-barang ini. Bayangkan saja, berapa banyak benda yang dikumpulkan Soeprapto. Ketika ditanya berapa total koleksinya, ia pun tidak pernah hafal jumlah persis yang ia miliki.
”Saya tidak tahu ada berapa totalnya, saya hanya berpedoman pada keinginan saya saja. Hampir setiap barang-barang dalam hidup saya tersimpan dalam museum ini,” ungkap pria kelahiran Lawang, 8 Desember 1948.
Di dalam museumnya, ia bercerita bahwa ia membuat tiga kelompok koleksi. Pertama, koleksi pribadi dan keluarganya, koleksi uang kuno dan terakhir, Surabaya tempo dulu. Baginya, benda-benda ini memiliki kisah hidup yang berarti untuk anak cucunya kelak.
Memang, Soeprapto mengaku selalu menyimpan benda apapun yang berharga dalam hidupnya, hingga terasa tak ada satupun benda yang luput dari genggaman. Dimulai dari dirinya menginjak bangku sekolah, bekerja, hingga mempunyai pengalaman dan menikah. Bahkan, ia selalu menyimpan baju-baju yang ia pakai setiap mengenal perempuan.
Ketika ditanya motivasi apa yang membuatnya mendirikan museum ini, Soeprapto mengaku, ia memang terlahir dari keluarga yang kurang mampu. Sejak kecil ia sudah terbiasa hidup susah dan memecahkan masalah sendiri. Waktu luangnya pun banyak ia gunakan untuk merenung dan terus berpikir untuk kedepannya.
Hal inilah yang mendasari terciptanya MPC. Inisiatif itu muncul dengan sendirinya. Namun, ia juga menyayangkan tingkah anak jaman sekarang yang waktu luangnya habis hanya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. “Tidak seperti anak jaman sekarang, ketika ada waktu luang mereka gunakan untuk bermain gadget. Berbeda dengan saya dulu.”
Dukungan dari keluarga pun turut menyertai didirikannya museum ini, awalnya, Soeprapto bercerita bahwa anak dan istrinya tidak ada yang memahami maksudnya. Mereka hanya tau ia senang mengumpulkan barang pribadi. “Akhirnya pada Desember 2014, saya membangun museum ini dan mulai mendirikannya. Barulah mereka saya beritahu dan respon merekapun mendukung keinginan saya,” ujar suami dari Euis Yoyoh Qomariah.
“Seringkali juga mereka ikut membantu dan menyarankan barang apa lagi yang bisa saya masukkan dalam museum ini,” tambah ayah dari tiga orang anak ini.
Selain dari anak dan istrinya, Soeprapto juga melihat adanya dukungan dari ketiga cucunya. Hampir dalam waktu tertentu sering diadakan kumpul keluarga di museum ini. Akhirnya ketiga cucunya pun tahu dan sedikit penasaran lalu mulai bertanya barang-barang yang ada di museum ini.
Tubuhnya yang sudah berumur lebih dari setengah abad, tak membuatnya kesulitan saat merawat benda-benda di museumnya. Dibantu oleh ketiga cucunya, ia hanya menganggap kegiatan membersihkan ini layaknya olahraga. Hebatnya lagi, ia tak pernah menggunakan jasa khusus untuk membersihkan koleksinya.
Ketika ditanya tentang rencana mengembangkan museum, Soeprapto mengaku tak memiliki rencana seperti itu. ”Rencana mengembangkan sih tidak ada. Pekerjaan sudah, anak sudah, keluarga juga sudah. Hal-hal itu merupakan hal-hal pribadi, jika semuanya sudah tercukupi, lalu apa lagi yang saya cari?” sahutnya.
Ia berharap dengan didirikannya museum pribadinya ini, dapat memiliki manfaat untuk generasi ke depan. Terutama bagi anak-anak hingga cucunya nanti. Ia juga sempat memberi contoh saat jaman kemerdekaan dulu dimana kita tidak merasakan bagaimana perjuangan pahlawan, kita hanya menikmati sisa-sisa kemerdekaan saja.
“Sama halnya dengan saya. Saya berharap dengan adanya museum ini. Setidaknya, anak-anak dan cucu-cucu saya tahu bagaimana sulitnya perjuangan itu. Sehingga sejarah pun juga tidak putus,” terangnya. (N/F: Hilda, Haris/Lutfi)