Oleh: Taufik
Dengan gaya tomboi serta penampilan santai, Susi Pudjiastuti mengherankan semua orang dengan terpilihnya ia sebagai Menteri Kelautan Indonesia. Apalagi ketika dihadapkan pada riwayat pendidikan beliau yang hanya sampai SMP, semua orang kaget bukan kepalang.
Tetapi lambat laun orang-orang mulai sadar karena terbukti ternyata Presiden Jokowi tidak salah memilih dan bahkan tidak main-main dalam menentukan orang-orang yang akan mendampinginya mengelola Indonesia dalam periode lima tahun kepemimpinannya, terutama dalam mengelola laut.
Memiliki gaya yang terkesan semaunya terlihat serta merta yang dilakukan Menteri Susi sangat terencana dan berdampak baik. Lihat saja ketika kebijakan yang dibuat soal pemberantasan dengan membakar dan menenggelamkan kapal illegal fishing yang marak dilakukan oleh nelayan negara-negara tetangga yang menyebabkan kerugian negara mencapai ratusan triliun rupiah.
Total telah ada 363 kapal nelayan berbendera negara asing yang telah ditenggelamkan sejak kebijakan digulirkan akhir tahun 2014 sampai dengan akhir 2017, selama Menteri Susi Pudjiastuti menjabat.
Kebijakan menenggelamkan kapal nelayan berbendera asing yang melakukan pencurian ikan di perairan Indonesia bahkan mendapatkan apresiasi dari masyarakat internasional. Sebut saja Leonardo DiCaprio, yag memberikan apresiasi kepada Menteri Susi perihal penenggelaman kapal asing yang terbukti melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia.
Bahkan, Jose Graziano Da Silva, Direktur Jenderal Organisasi PBB untuk Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization of The United Nation / FAO) memberikan pujian kepada Susi. Dia menilai Menteri Susi sebagai tokoh yang berpengaruh dan disegani bahkan sampai di tingkatan global. Bahkan dalam dunia anime yang berbasis di Jepang, netizen menyandingkan bu Susi dengan seorang tokoh anime yang juga bertangan dingin dan tidak pandang bulu untuk menenggelamkan kapal yang melanggar teritorinya untuk menyelundupkan narkotika.
Tetapi kemudian belakangan, terjadi polemik terkait kebijakan penenggelaman kapal pencuri ikan di laut Indonesia ini. Adalah Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator Kemaritiman yang menjadi lawan Menteri Susi tentang kebijakan ini. Bahwa menurut menteri yang berasal dari pensiunan militer ini, sudah seharusnya Menteri Susi menghentikan kegiatan penenggelaman ini.
Menurut Luhut, lebih baik kapal itu dirampas untuk digunakan kembali oleh nelayan kita. Bahkan presiden dan wakilnya berbeda persepsi soal ini. Kabarnya, presiden di pihak Menteri Susi sedangkan pak wakil presiden di pihak seberangnya.
Tetapi Menteri Susi tetap bersikukuh pada kebijakan penenggelaman itu. Lantas apa alasan Menteri Susi masih bertahan dengan pendapat soal kebijakan ini?
Adalah Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 pasal 65 ayat (4) yang menyatakan, penyidik dan atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Di lain pihak, Menteri Luhut juga bersikukuh dengan pendapatnya soal investasi di bidang perikanan, yang apabila kebijakan penenggelaman pencuri ikan tetap diteruskan, maka akan berakibat menurunnya nilai investasi.
Berkaca dari hal di atas, maka harus melihat hierarki perundangan yang berlaku di Indonesia. Dalam Pasal 7 UU 10/2004 yang mengatur mengenai tata urutan perundang-undangan ini (http://undang-undang-indonesia.com/), disebutkan bahwa tata urutan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia adalah:
- UUD 1945
- UU/Perpu
- Peraturan Pemerintah
- Peraturan Presiden
- Peraturan daerah
Tata urutan perundang-undangan di atas diurutkan ke bawah secara hierarkhi, dimana peraturan dibawahnya tidak boleh bertentangan atau mengatur hal selain yang diperintahkan oleh peraturan di atasnya. Hal ini sesuai dengan salah satu azas hukum, yakni peraturan yang lebih rendah kedudukannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Dengan cara seperti itu dimaksudkan akan adanya tertib administrasi pengaturan perundang-undangan yang lebih baik dan tertata dan untuk menghindari adanya pelampauan wewenang.
Jika melihat aturan perundangan sesuai tercantum beserta penjelasannya di atas, dapat dipastikan Menteri Susi berada pada pihak yang dapat kita anggap benar. Akan tetapi lagi-lagi terjadi tumpang tindih kepentingan karena argumen menteri Luhut adalah berbentuk Instruksi Presiden (Inpres) yang diperintahkan langsung oleh presiden (lihat Pasal 7 Ayat [4] UU No 10/2004).
Kedua menteri berada pada jalur yang tidak salah. Sayangnya untuk kepentingan bersama, egosentris dan bahkan tatanan hierarki perundangan dan instruksi presiden harus bisa dikesampingkan. Bahwa perlu dilakukan konsolidasi antara dua kubu untuk menentukan jalan tengah yang setidaknya mampu mensinergikan dua kepentingan dari dua kementrian ini.
Tentu saja Presiden wajib menjadi penengahnya. Karena sebenarnya masing-masing dari kedua menteri bertahan pada pendapat yang bisa dibilang memiliki dasar yang kuat.
*) Penulis Opini adalah seorang alumni Himpunan Mahasiswa Oseanografi Universitas Hang Tuah Surabaya.