Actasurya.com – Kabar huru-hara ini mencuat di Kamis malam (04/03) tepatnya satu hari sebelum pengumpulan proposal skripsi yang ditutup pada hari Jumat. Sehingga, Kartu Rencana Studi (KRS) juga harus dilakukan pada hari yang sama (baca: Jumat). Ketika itu penulis tengah asyik berkutat menyusun proposal skripsi yang juga dadakan.
Saat itu kabar pertama muncul di grup kelas yang menyatakan jika angkatan 2017 harus mengambil mata kuliah yang disesuaikan dengan kurikulum baru. Sontak kabar tersebut menjadi heboh dan kawan-kawan bertanya sejak kapan ada perubahan kurikulum.
Terdapat beberapa perubahan seperti mata kuliah yang dulunya mata kuliah peminatan, sekarang menjadi wajib yang harus ditempuh oleh angkatan kami yang sudah menginjak semester akhir. Tak hanya satu bahkan dua hingga tiga mata kuliah yang saat ini menjadi wajib dan harus ditempuh. Selain itu ada juga pemindahan mata kuliah yang tadinya di semester 5 menjadi semester 4.
Berakibat penulis yang tadinya hanya 2 mata kuliah menjadi 3 mata kuliah, dikarenakan harus memenuhi mata kuliah wajib yang berganti di semester lain. Kacaunya tidak ada sosialisasi dari pihak kampus, sungguh kampus yang sangat komunikatif.
Kabar mengejutkannya lainnya yaitu, saat penulis mengajukan transkrip nilai kepada Dosen Penasehat Akademik (DPA). Betapa terkejutnya saat ia mengatakan, jika terdapat beberapa mata kuliah yang tak lagi ada dan Sistem Kredit Semester (SKS) sebelumnya tak berguna.
Seperti embun di kala subuh, lenyap begitu saja. Embun masih menyisakan kesegaran, tapi kabar itu menyesakan pikiran. Sialnya, terdapat mata kuliah peminatan yang diambil penulis yang menjadi daftar blacklist dengan persyaratan matkul peminatan harus 12 SKS.
Sehingga otomatis SKS peminatan penulis tidaklah penuh. Penulispun bertanya “Terus bagaimana?” Lalu ia menjawab “harus mengambil mata kuliah peminatan lain yang ada di kurikulum baru pada semester genap,” Celaka memang, kesalahan siapa yang menanggung siapa?
Di perjalanan pulang, penulis masih memikirkan kebijakan baru yang harus memaksa mahasiswanya untuk mengambil mata kuliah tambahan yang sejatinya kawan-kawan sudah memenuhi mata kuliah di kurikulum terdahulu.
Terbesit dalam benak penulis, tidak bisakah nilai dari mata kuliah yang sudah tidak ada untuk dimasukkan ke mata kuliah wajib yang diambil saat ini. Agar nilai dan usaha dari beberapa mata kuliah kemarin tidak sia-sia, sehingga tidak perlu untuk menambah mata kuliah di semester akhir.
Bagaimana bila kami meminta untuk kembalikan uang SPP dari jumlah mata kuliah yang terbuang itu. Di semester akhir seperti ini, penulis tak lagi mementingkan harus tahu ilmu yang belum didapat dari mata kuliah lain, yang ada hanyalah skripsi berjalan baik dan harus lulus tepat waktu.
Secara dalam artian mata kuliah yang tidak ada lagi nilainya terbuang begitu saja. Benar kita mencari ilmu, namun juga nilai yang sama pentingnya untuk menentukan kelulusan. Hanya karena sistem yang berubah dan tidak disosialisikan, membuat kita harus berkorban lebih lagi.
Hingga kemungkinan terburuk ialah kampus memang sengaja menambah semester mahasiswanya, agar membayar SPP yang disesuaikan dengan tahun ini. Maaf jika pemikiran tersebut terlintas, mau apalagi. Kampus sendirilah yang membuat pikiran itu muncul.
Hal itu muncul, saat penulis berfikir. Mahasiswa akhir yang harusnya fokus dan membutuhkan perhatian lebih ke skripsi. Kini harus terbagi untuk tugas mata kuliah lain. Jika peraturan itu sudah ada sejak setahun lalu, namun tidak ada sosialisasi.
Lantas apa gunanya? Kalau mahasiswa yang disalahkan karena tidak cermat dalam mengamati perubahan kurikulum, Itu salah besar. Sebab tak satu, dua orang yang merasakan. Namun seluruhnya, berarti ada yang salah dari komunikasi akademik ke mahasiswa.
Jadi, sekarang mahasiswalah yang menjadi tumbal. Jika akademik peduli dengan mahasiswanya, kebijakan tersebut perlu dikaji ulang dan harus ada solusi. Bukan kata-kata penyemangat dan menyuruh mahasiswanya untuk bersabar.
Ditulis oleh : NN.