actasurya.com – Membentang di atas kain halus selebar dua meter, tertoreh motif daun, batang, hingga bunga tumbuhan yang berfungsi sebagai penangkal abrasi. Terlihat elok dengan gradasi warna-warna gelap dan terang yang terpadu apik menjadi satu gugusan. Ada juga kombinasi beberapa warna gelap yang anehnya membuat kain nampak lebih cantik.
Cantik, begitulah kesan pertama jika menilik batik Mangrove karya Nanik Rahayu. Tak hanya memiliki corak tumbuhan mangrove saja, jemari Nanik pun lincah mengukir pola beberapa fauna yang berhabitat di Mangrove Wonorejo ini. Batik besutannya pun kian menawan dengan sentuhan motif Suro dan Boyo, lambang khas Kota Surabaya. Namun, dibalik keindahan parasnya, batik ini juga menyimpan banyak kisah suka dan duka.
Awalnya, Nanik yang merupakan ibu rumah tangga biasa, ingin mencari penghasilan tambahan. Tetapi, ia pesimis karena tak memiliki modal sekaligus keahlian yang nantinya bakal menghasilkan pundi-pundi rupiah. “Saya mikirnya kalau saya jual makanan matang, misalnya nggak laku kan ya bakal sayang,” cerita perempuan kelahiran 27 Juli 1962 ini.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, tak lama berselang, Nanik akhirnya mendapati Pemerintah Kota Surabaya mengadakan pelatihan membuat handy craft. Ia sangat antusias untuk mendaftar. Barulah pada kenyataannya ia sadar, pelatihan yang ia ikuti adalah pelatihan membatik, bukan pelajaran membuat kerajinan tangan.
Namun, tak ada sedikitpun penyesalan dalam dirinya. Berbekal hobi menggambarnya yang sudah ia lakoni sejak kecil, Nanik semakin mantap menggeluti dunia batik. Tak hanya itu, Nanik juga mengaku belajar masalah pencampuran warna secara otodidak.
Dalam pelatihan itu, Nanik tak sendiri, ada juga keempat ibu-ibu yang turut bersamanya menjadi satu tim. Dari tim inilah, Nanik mampu menciptakan batik-batik yang pada akhirnya menjadi ciri khas kampung Wonorejo. Batik ciptaan Nanik juga sempat membawa kampungnya meraih juara pertama pada festival kebersihan kampung yang diadakan Pemkot.
Semenjak digelarnya lomba ini, batik Mangrove mulai dikenal masyarakat luas, termasuk jajaran Pemkot hingga Walikota Surabaya. Nanik pun akhirnya berinisiatif untuk memberdayakan masyarakat sekitarnya. Sebanyak 17 ibu-ibu warga Rungkut RW 07 diberikannya pelatihan membatik, guna menambah penghasilan rumah tangga.
Nanik memberikan pelatihan secara lengkap, dari awal hingga akhir. Namun, ibu-ibu ini lebih memilih untuk mencanting saja. Sehingga, proses menggambar motif masih dilakukan oleh Nanik, begitu pula dengan proses pewarnaan. Melihat hal ini, awalnya Nanik masih merasa tak keberatan.
Bulan demi bulan berlalu, pemesanan pun kian banyak, meskipun upah yang diberikan tak terlampau banyak pula, tapi cukup untuk menambah biaya hidup yang kian melangit. Namun ternyata, tahun-tahun kejayaan Nanik tak hanya berada di satu titik saja. Nanik mulai resah, ia menganggap proses pembuatan batik sejatinya tak hanya mencanting, justru harus dari awal, mencakup pelukisan motif hingga pewarnaan.
“Yang bikin saya mengelus dada itu, mereka hanya mencanting saja, tapi mengakui ini batik hasil karyanya sendiri. Padahal kalau mau dibilang hasil karya ya harus dikerjakan dari awal sampai akhir,” ungkap ibu tiga orang anak ini. Hampir dua tahun Nanik menahan kekecewaan akan hal ini, ibu-ibu yang dibinanya dirasa kurang bisa mandiri karena selalu mengandalkan pola garapan Nanik saja.
Ujian pun terus datang bertubi-tubi, ibu-ibu yang diajarkannya, satu-persatu mulai tergoda untuk beralih ke pekerjaan lain yang lebih menghasilkan upah ketimbang membatik. Beberapa dari mereka juga ada yang lebih memilih bekerja di pabrik, atau menjadi penunggu kantin. Dengan minimnya pekerja, dan pesanan yang kian melambung, batik besutan Nanik tetap bertahan, meskipun dengan nafas yang terengah-engah.
Hingga pada akhirnya, Nanik memutuskan untuk menyudahi kegalauan yang ia pendam cukup lama. Nanik bersikap tegas menjadi independen dengan mendirikan sendiri usaha yang ia lakoni. Ia merasa tak kuat jika apa yang sudah ia ciptakan, diklaim oleh orang lain. “Yang namanya seni ya nggak bisa dipaksain mbak, kalau memang tidak memiliki jiwa seni ya nggak bisa,” ujar istri Ari Djauhari ini.
Seperti dua sisi mata uang, dibalik kepelikan hidup selalu ada kebahagiaan yang tak dapat dipisahkan. Bagaimana tidak, ketika ia sedang mencari pengganti untuk membatik, datang teman semasa kerjanya dulu yang menawarkan diri untuk membantunya. Tak hanya itu, temannya juga merupakan orang yang cukup ahli di bidang seni.
Kini Nanik ditemani dengan tiga teman lainnya mengerjakan batik. Namun prosesnya dikerjakan dirumah masing-masing. Karena ia sendiri sekarang juga mempunyai kesibukan baru dengan hadirnya cucu yang sekarang ini harus diperhatikannya.
Nanik juga mengaku sempat sebal ketika batiknya disamakan dengan milik bu Lulut, maka dari itu, Nanik memberi tajuk batik karyanya ini menjadi Batik Mangrove Nanik Wonorejo.
Batik mangrovenya ini juga telah sampai di beberapa daerah di Indonesia, misalnya saja di Jakarta. Beberapa SMA disana, ada yang memesan batiknya untuk dijadikan seragam guru. Nanik berani menjamin, batik besutannya memiliki kualitas yang apik. Dari segi kain, ia menggunakan kain halus namun teksturnya tetap memiliki kenyamanan jika dikenakan.
Untuk harga selembar kain batik, Nanik tidak mematok harga yang cukup tinggi. Harga yang ia tentukan relatif, tergantung dari motif, warna, dan tingkat kesulitan pembuatan. Ia memasang harga mulai dari ratusan ribu hingga jutaan. Hal ini dirasa tak terlalu mahal, karena berbanding lurus dengan kualitas yang dihasilkannya.
Tak pernah disangkanya, sesuatu yang berawal dari keingintahuan menjadi kegiatan yang menghasilkan pundi-pundi rupiah. Tidak hanya mahir dalam menciptakan batik, Nanik juga membagikan ilmunya kepada semua pihak yang membutuhkan. Terbukti dengan hadirnya Nanik dalam beberapa pelatihan.
Ia sering memberi pelatihan di beberapa sekolah, mulai dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Tidak sampai disitu saja, banyak pula mahasiswa yang sengaja datang kerumahnya untuk belajar membatik. Kini, ia juga memberi pelatihan di kampung-kampung, juga mengajari eks PSK di gang Dolly.
Baginya, tiada yang lebih menyenangkan dibanding apa yang telah dilakukannya bisa bermanfaat bagi orang lain. Nanik semakin bangga ketika murid yang ia latih mahir mempraktekkan ilmunya. Ia selalu percaya, apa yang dikerjakan dengan sungguh-sungguh, akan menghasilkan sesuatu yang bernilai pula. (N/F: Hilda)