Actasurya.com – Berbekal tekad dan kemauan keras R.A Kartini, kini perempuan bisa memiliki hak kebebasan mengenyam pendidikan, jabatan, hingga berpendapat. Atas dasar itulah, Kartini terus bergerak membawa perubahan dan mengupayakan gerakan emansipasi wanita.
Semangat itu yang kini telah diwarisi Sumarni. Wanita kelahiran Malang, 12 April 1963 ini, mampu hidup mandiri sejak usia dini. Saat berusia 5 tahun, ia telah bekerja mencari pakan ternak, demi mendapatkan empok (nasi jagung) sebagai makanan pokok keluarganya
Menghabiskan masa kecil di desa pelosok yang terletak di puncak Gunung Kapur, Malang Selatan. Membuat ia terbiasa dengan segala keterbatasan. “Saya pernah merasakan hidup tanpa listrik,” ujarnya.
Dulu di desa masa kecilnya itu, merupakan tempat pelarian sekelompok Partai Komunis Indonesia (PKI) yang kabur dari kejaran aparat.
“Saat itu, gerak-gerik kita diawasi oleh para PKI. Terkadang membuat saya takut saat keluar rumah di atas jam lima sore, karena sangking sepinya dan lebatnya kebun tebu. Namun hal itu membuat saya jadi orang yang berani,” tambahnya.
Walau begitu, wanita yang kerap disapa Marni itu jarang terlihat sedih. Perempuan berkulit sawo matang ini lebih memilih bersyukur, seperti yang pernah dipesankan oleh ayahnya.
“Dia pernah bilang, syukuri hari ini. Walau kita makan hanya nasi jagung tanpa lauk. Setidaknya kita bisa makan daripada tidak sama sekali,” kenangnya.
Tak hanya itu, Sumarni muda juga sempat merantau ke Surabaya dan bekerja sebagai asisten rumah tangga, bahkan menjadi pelayan restoran.
Meski pernah mendapat pelecehan dari pemilik rumah makan tersebut, namun tak membuat ia trauma untuk bekerja. Namun tak lama, ia pun keluar dan bekerja di sebuah toko. Di tempat itulah, ia bertemu Sutiyo yang menjadi suaminya sekarang.
Kini wanita 57 tahun itu, tinggal bersama suaminya di kabupaten Mojokerto dan telah memiliki tiga anak, yang telah beranjak dewasa. Meski begitu, sampai saat ini Marni masih tetap bekerja keras membantu ekonomi keluarga. Seperti bekerja sebagai buruh tani hingga buruh panggul batu bata.
Walau pekerjaan itu umumnya dilakukan oleh pria di sana. Namun wanita dengan pendidikan tak sampai Sekolah Dasar ini, tak pernah ada rasa malu, maupun mengeluh dalam melakoninya.
Hal itu dilakukan, demi meringankan beban sang suami dan tak ingin merepotkan anaknya-anaknya, yang kini dua dari ketiganya telah berkeluarga. (N/F: Frs)