APA’AN SIH, PIPI
Actasurya.com – Tak ada angin tak ada hujan tak ada meteor (garden), beberapa musisi di Indonesia dikagetkan dengan berita dari Komisi X DPR RI yang dikomandoi Anang Hermansyah (di paragraf selanjutnya penulis sebut Pipi), menurunkan wahyu bak Malaikat Jibril di siang bolong.
Wahyu tersebut bernama Rancangan Undang-Undang (RUU) Permusikan. Bak pahlawannya musik, dengan bangganya Pipi-nya Aurel Hermasyah ini secara resmi memasukkan draf tersebut ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019 DPR RI.
Menanggapi hal itu ratusan musisi dan pegiat seni se-Indonesia serempak untuk melakukan penolakan. Bentuk penolakkannya pun beragam, ada yang demo, bikin petisi hingga upload foto dan bikin story di Instagram.
Adalah Danilla Riyadi selaku musisi yang mewakili Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan mengawali dengan membuat pergerakan online melalui petisi di laman Change.org, hingga membuat akun
Instagram @koalisinasionaltolakruup, yang kini telah diikuti sekitar 22 ribu pengikut.Tak pelak, pegiat musisi hingga penggemar dan penikmat musik seantero nusantara berbondong -bondong menggelorakan semangat penolakan melalui laman Instastory masing-masing.
Dengan bergambarkan tangan merah mengepal yang merepresentasikan perlawanan, serta sebuah gitar kuning yang berdiri tegap seolah menggambarkan jika mereka serempak untuk menolak RUU Permusikan. Sedangkan untuk petisi itu sendiri sudah ditandatangani oleh lebih dari 66 ribu orang pada, Senin (4/2/2019).
Tak hanya melalui jejaring online, pergerakan demonstransi juga semakin masif digalakkan. Saya pribadi sempat menemui dan mewawancarai beberapa demonstran yang sedang berpanas-panasan beraksi di depan Gedung DPRD Jatim untuk menuntut hal itu.
Dari puluhan anggota yang ikut, saya mencoba untuk bertanya kepada salah satu anggota yang mengenakan baju hitam bertuliskan Ramones, lengkap dengan setelan bandana hitam ala Atta Halilintar, Ia tampak berteduh dibalik sengatan sang saya (surya) yang menyorot kulitnya. Kemudian terciptalah sebuah obrolan antara kita.
Saya : “mas ini lagi demo apasih?”
Mas yang ‘ngiyup’ tadi : “demo RUU mas!” teriaknya kepada saya lantaran suara masnya ini terbelenggu oleh suara bisingnya toa (pengeras suara).
Saya : “emang poin tuntutan yang ditolak apa saja mas?”
Mas yang ‘ngiyup’ tadi : “gatau mas! Tanya aja sama yang di depan,” (lah!) gumam saya.
Setelah berorasi sekitar 15 menit dihadapan para legislator, pengendara motor dan pejalan kaki, akhirnya saya berhasil mewawancarai sang korlap (koordinator lapangan) yang bernama Indra Surya Purnama, seniman lokal Surabaya. Berikut penggalan kutipan hasil wawancaranya :
“Harusnya sikap para musisi memang harus ikut bersuara karena musik bukan cuma bisnis atau sirkus yang cuma datang terus bayar dan pulang. Tapi ada beberapa teman-teman musisi yang bicara kemanusiaan dan keadilan, jadi memang teman-teman musisi harusnya ikut turun,” tuntutnya.
“Karena pengkajian dan perumusan RUUP ini gak jelas. seperti mengkaji musik itu hanya sebatas ikut KBBI, tapi tidak secara filosofi. Terus pasal-pasal banyak yang lucu, dalam artian lucu itu bagaimana mungkin pemikiran dikendalikan, bagaimana pemikiran itu bisa diatur. Kan lucu, kreatifitas dalam pemikiran terus diatur, kan lucu,” tegas Indra.
Jika disimpulkan, sebagian besar para seniman dan musisi yang menolak itu merasa jika dengan adanya RUU tersebut akan mengebiri mereka dalam berkreasi di bidang permusikan.
Bahkan Danilla sendiri yang notabene musisi yang menempuh jalur skema independen, merasa tidak ada urgensi bagi DPR RI dan Pemerintah untuk membahas dan mengesahkan RUU Permusikan untuk menjadi Undang-Undang.
Menurutnya RUU Permusikan juga dinilai menyimpan banyak masalah fundamental yang membatasi, menghambat perkembangan proses kreasi dan justru merepresi para pekerja musik dan musisi.
Tak hanya satu atau dua pasal saja yang mereka anggap bermasalah, melainkan ada 19 pasal yang membuat para musisi untuk sejenak menggeleng-gelengkan kepala. Pasal-pasal tersebut antara lain, pasal 4, 5, 7, 10, 11, 12, 13, 15, 18, 19, 20, 21, 31, 32, 33, 42, 49, 50, dan 51.
Menarik untuk membahas pasal demi pasal yang telah dicanangkan Pipi bersama teman-temanya ini. Berhubung ada banyak pasal yang bermasalah, saya akan mencoba menanggapi hanya beberapa pasal saja yang menurut saya paling kontroversi, maklum orang Indonesia kan sukanya yang heboh-heboh.
Pertama, pasal 32 ayat 1 dan ayat 2 berbunyi, “Untuk diakui sebagai profesi, pelaku musik yang berasal dari jalur pendidikan atau autodidak harus mengikuti uji kompetensi.”
Mendengar bunyi pasalnya saja sudah membuat keder bagi para musisi punk kentrung hingga pegiat musik otodidak seperti saya yang hanya bisa memainkan gitar dengan kunci dasar. Jujur ketika saya mendengar pasal ini saya teringat Ujian Nasional (UN) atau semacam uji kompetensi kredibilitas bagi wartawan.
Memang secara pribadi saya mengapresiasi niat baik yang telah direncanakan pipi. Mungkin saat itu dalam benaknya, ia ingin para musisi Indonesia bisa cerdas-cerdas dan profesional secara akademik seperti yang ia harapkan.
Tetapi, bayangin saja ketika pasal ini sudah diterapin. Alkisah, suatu ketika ada anak bernama Anunya ingin belajar bermain gitar bersama temannya yang bernama Ini. FYI (For Your Informesyen), Si Ini ini cakap dan mahir bermain gitar tapi tidak mau ikut uji kompensi musisi. Berikut perbincangan mereka,
Anunya : Ni aku ajarin main gitar dong?
Ini : ya ya ayo
Anunya : (dengan semangat ia mengatakan) yaudah tak ambil gitarnya ya?
Ini : tapi antum tak ikut uji kompetensi musisi loh? Jadi belum diakui pemerintah.
Anunya : (seketika Anunya termenung menatap Ini dengan pandangan kosong)
Ini : gimana?
Anunya : *GUBRAK-GUBRAKKK!!!!* (tampak si Anu sedang asik membanting-banting gitar yang baru dibelinya itu) GAK ASIK LO!
Standarisasi kompetensi musisi merupakan salah satu bukti bentuk pengekangan kebebasan berekspresi. Tentu hal ini akan menjadi ancaman dan pengebirian bagi para musisi yang ingin mengekspresikan karya seni musik yang notabene ia lahir bukan dari pendidikan musik formal,melainkan ia hanya belajar didasari dengan keterampilan otodidak.
Sementara itu ada pula pengaretan pasal yang bukan lagi menyeret insan musisi, melainkan tempat-tempat atau perusahan-perusahaan yang membidangi, seperti perhotelan, restoran hingga tempat hiburan lainnya.
Dalam pasal 42 itu berbunyi, “Pelaku usaha di bidang perhotelan, restoran, atau tempat hiburan lainnya wajib memainkan musik tradisional di tempat usahanya.”
Dalam pasal ini jelas ada unsur pemaksaan yang seharusnya tak perlu diberlakukan. Karena apa? Karena tak semua tempat-tempat hiburan cocok dicekoki musik tradisional.
Misalnya nih ya, Anunya tadi ingin clubing karena frustasi dengan temannya yang sudah tak asik lagi. Dengan mimik murka dan kesal, Anunya masuk ke sebuah tempat hiburan malam yang terkenal di Surabaya.
Sesudah masuk lagi-lagi Anunya termenung. Deretan botol-botol bir menghiasi seisi ruangan, gemerlap lampu diskotik menyala-nyala di atas petak Anunya. Namun yang terdengar justru nada merdu lagu ciptaan Ki Nartosabdo yang berjudul Gambang Suling. Sungguh ini diluar dugaan dan keinginannya.
“Ini saya uda mabuk atau gimana ya, prasaan saya baru masuk dan belum menenggak sebotol bir pun,” heran Anunya, sembari menenggak segelas sinom yang sudah dituangkan sedari tadi oleh bartender diskotik.
Anunya : kok gini mas?,” tanyanya ke bartender.
Bartender : kalau gak gini kami gak makan mas. Karena sudah ada pasal yang mengatur.
Anunya : ouw.. (tampaknya ia sudah mabuk sinom)
Memang menjadi dilema apabila nantinya pasal ini tetap diberlakukan kepada beberapa tempat-tempat hiburan malam. Karena saya pribadi merasa hal ini memang terkesan terlalu dipaksa dan tak selamanya musik tradisional cocok dengan konsep, tema dengan nuansa ruangan tempat hiburan yang telah dibangun.
Sekali lagi, Indonesia itu beragam dan luas, tak bisa dipukul jadi satu dan diikat atas nama keberlangsungan kehidupan musik yang lebih baik, dengan naungan payung hukum dari pasal per pasal, karena semua hidup ada porsinya masing-masing. Khususnya di dunia musik, memilih kegemaran dan kecintaan terhadap musik adalah masalah rasa dan kepekaan batin dari tiap-tiap bait dalam lirik-lirik lagu yang dilantunkan.
Kalaupun ada kolaborasi antara tradisionalisme dan moderenitas, saya harap kolaborasi itu lahir dari keinginan dari hati serta kreatifitas masing-masing musisi, dan tak harus dipaksakan demi kepentingan abstraksi lain di luar musik.
RUUP Sudah ada Sejak 2015
Namun perlu diketahui, berdasarkan peneliti Koalisi Seni Indonesia, Hafez Gumay, ternyata RUU Permusikan ini sudah menjadi wacana sejak 2015 lalu ketika Komisi X DPR RI melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum dengan perwakilan dari industri musik.
Sampai pada akhirnya RUU Permusikan resmi masuk Program Legislasi Nasional pada 24 Oktober 2018.
Berikut kronologinya :
30 Maret 2015
Komisi X DPR RI melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan perwakilan dari industri musik. RDPU tersebut membahas kegelisahan para pemangku kepentingan industri musik tentang implementasi UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang belum memihak ke berlangsungan industri musik. Pertemuan ini menjadi cikal bakal pemikiran perlunya disusun RUU Permusikan.
12 April 2017
Anggota Komisi X DPR RI, Anang Hermansyah, menyerahkan Naskah Akedemik RUU Permusikan kepada Pimpinan Komisi X DPR RI.
7 Juni 2017
RDPU Komisi X DPR RI dengan perwakilan pegiat musik, membahas urgensi pembahasan RUU Permusikan secara lebih serius di DPR RI agar tata kelola industri musik dapat segera dibenahi.
4 April 2017
Ketua DPR RI, Bambang Soesatyo, beserta Anang Hermansyah bertemu beberapa musisi. Pertemuan tersebut bertujuan mendorong DPR RI mempercepat pembahasan Draf RUU Permusikan bertanggal 15 Agustus agar semakin lebih berpihak pada kemajuan ekosistem musik.
24 Oktober 2018
RUU Permusikan secara resmi masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019 DPR RI berdasarkan hasil rapat antara Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Dewan Perwakilan Daerah, dan Pemerintah.
Hingga bulan Februari 2019 pergerakan penolakkan ini masih akan terus berlanjut hingga tuntutan mereka ini benar-benar dicabut. Para musisi dan kelompok penentang RUU Permusikan yang tergabung dalam Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan berencana menggelar aksi turun ke jalan bila pembahasan
RUU terus berlanjut di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Usai mengunjungi terdakwa kasus pencemaran nama baik Ahmad Dhani Prasetyo di Rutan Kelas 1 Surabaya, Sidoarjo, Pipi Anang, hanya berujar singkat ketika dicerca pertanyaan soal perkembangan Rancangan Undang-Undang Permusikan (RUU).
Suami dari aktris Mimi Ashanty ini mengatakan jika RUU tersebut akan dibahas lebih lanjut dalam musyawarah nasional (munas), tetapi Pipi juga enggan memberikan bocoran materi tentang pembahasan dalam munas tersebut.
Tak hanya itu, politikus PAN ini juga tidak membeberkan waktu dan tempat pelaksanaan munas. “Nanti, tunggu munas, ” singkatnya, Kamis 21 Februari 2019.
Oleh : Rahmad Suryadi