actasurya.com – Usianya kian menua, sudah memasuki setengah abad. Namun tak sedikitpun membuat semangatnya pudar. Kulitnya pun tampak kusut mengeriput. Berpenampilan sederhana, dengan gaya yang santun dan ramah. Begitulah yang tergambarkan dari sosok Rofi’i.
Setiap hari ia ditugaskan untuk mengantar surat. Menggunakan sepeda motor yang ditungganginya, ia melakoni pekerjaannya dengan tulus dan ikhlas. Tepatnya, 29 tahun sudah ia mengabdi kepada kampus Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi – Almamater Wartawan Surabaya (Stikosa-AWS).
Perjalanan bapak empat anak ini tak mulus begitu saja. Semasa kecil, ia terpaksa harus mengenyam pendidikan sampai di bangku kelas 5 Sekolah Dasar (SD) karena tidak adanya biaya. Saat usianya menginjak belasan tahun pun, Rofi’i harus merantau ke kota demi menyambung hidupnya. Bekerja sebagai kuli bangunan pun ia lakoni selama 10 bulan.
“Dulu saya pertama kali merantau nggandol truk sama enam orang teman saya. Di Surabaya saya jadi kuli bangunan selama sepuluh bulan waktu itu,” ujar pria yang akrab di panggil Pi’i ini.
Bahkan, pria asal Jember ini juga pernah bekerja sebagai tukang becak selama 2,5 tahun. Pada tahun 1986 ia bertemu dengan Santoso yang kala itu selaku Dosen di kampus Stikosa-AWS. Olehnya, Rofi’i diberi tawaran untuk menjadi Cleaning Service. Dengan gaji yang minim sebesar 35 ribu/bln, tak menyurutkan semangat Rofi’i untuk bekerja dengan ikhlas.
“Saya dulu juga pernah mbecak di daerah Jemursari. Terus ketemu sama Pak Santoso. Saya sering bersih-bersih di rumah anaknya Pak Santoso, sampai akhirnya ditawari jadi cleaning service di Stikosa,” kenangnya.
Delapan tahun lamanya bapak kelahiran 3 Juni 1965 ini menjadi Cleaning Service. Karena ingin memperbaiki nasibnya, ia mengajukan diri untuk menjadi kurir surat. Setiap hari ia mengantarkan surat, menjadi penghubung antara pihak pengajaran, dosen dengan pihak luar kampus. Sedikit lebih ringan ketimbang saat ia masih menjadi Cleaning Service.
“Setiap hari itu ada saja surat yang diantar. Kadang ya kerumah dosen, kadang ke yayasan. Kalau tidak ada surat yang diantar ya saya santai,” ujar Rofi’i.
Selain menjadi kurir, Rofi’i juga menjadi ta’mir di Masjid Al-Aziz. Tidak asing apabila mendengar suara adzan yang dilantunkannya setiap hari. Ia juga diberi fasilitas untuk tinggal di kamar yang khusus disediakan untuk ta’amir. Dengan menjadi ta’mir, Rofi’i juga mendapat tambahan penghasilan dari kas masjid setiap bulannya. Ia selalu bersyukur dengan rezeki yang didapatnya.
“Bersyukur nggak pontang-panting kayak dulu.” Tutupnya. (N/F: Elisa)