actasurya.com – Sejak lulus SMA 2006 silam, Setiawan Indra memutuskan untuk meneruskan study-nya di Kota Yogyakarta itu. Namun takdir berkata lain dan membawanya menuju Kota Pahlawan, Surabaya. Dia kuliah di Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Fakultas Teknologi Teknik Informatika.
Berawal kedatangannya di Kota Surabaya itulah, Indra mulai menemukan sosok jati dirinya. Ia merasa ingin berbuat sesuatu. Tetapi ia tak tahu bagaimana caranya? Hingga terbesit dalam angannya ingin mengumpulkan sejumlah uang kemudian membangunkan kamar mandi umum (ponten) untuk wilayah yang masih sangat minim.
“Saya merasa hidup saya tidak sampai tua, jadi saya ingin berbuat sesuatu untuk membantu,” tuturnya. Pria kelahiran Pontianak, September 1988 ini mengaku tidak suka mengikuti kegiatan organisasi di kampusnya. Ia memilih untuk melakukan hal-hal yang menurutnya lebih bermanfaat.
Tidak Ada Kata Nanti Untuk Anak-Anak
Di tahun 2010, ia menyambi kuliahnya dengan bekerja di First Media. Berjalannya waktu, Indra mengaku tergugah untuk menyelamatkan satu generasi penerus bangsa, yakni dengan caranya mendirikan “Save Street Child Surabaya (SSC-SBY).”
Pada awal pendirian SSC-SBY, Indra beserta enam orang lainnya termasuk Presbem Unair ketika itu, penyiar radio turun untuk meyelamatkan satu generasi penerus bangsa. Namun hingga saat ini, hanya Indra yang bertahan memperjuangkan kemerdekaan anak marjinal sejak berdiri 5 juni 2011 lalu.
Bermodalkan niat yang tekad, membuatnya semakin menerjang waktu. Dari taman ke taman ia membentuk satu pergerakkan penyelamatan. Taman bungkul misalnya karena seringnya ia datang di taman itu, maka kenallah mereka dengan adik-adik si penjual kopi, pengemis, pengamen dan lainnya. Dari sanalah, ia memulai menolong mereka.
Hinaan, cacian, bahkan diludahi tidak menghentikan itikad baiknya. Dari situ, Indra mengaku mendapatkan banyak pelajaran yang tak diajarkan di bangku sekolah. Di Jembatan Merah, di Genteng Kali, Delta, ia menyusuri perkumpulan adik-adik jalanan. “Pada tahun pertama adalah tahun asyiknya karena masih kompak dan mejaga utuh solidaritas,” ujarnya.
Saat itu tidak ada basecamp resmi dari SSC-SBY. Indra beserta kawan-kawannya terus berusaha dengan kendala yang luar biasa, mencarikan tempat belajar bagi anak-anak jalanan. Menerobos hujan demi mengenalkan angka dan huruf, memberikan sebentuk reward, menceritakan kisah-kisah inspiratif, membebaskan ketika sedang dalam cidukan Satpol pp, memberikan perhatian layaknya seorang bapak, memberikan rasa nyaman dan menumbuhkan rasa percaya diri kepada mereka yang marjinal bahwa tidak ada sesuatu yang tidak mungkin dicapai ketika kita bersungguh-sungguh.
Masalah tidak hanya hadir dari sudut penyelenggaraan kegiatan. Namun hadir pula dari orang tua adik adik yang melarang keras untuk ikut belajar bersama, karena itu mengganggu aktivitasnya dalam bekerja. “yang kami butuhkan adalah uang saat ini, untuk apa sekolah kalo ga punya uang? Kalo mas mengajak anak saya belajar bersama bagaimana dengan makan sekeluarga ? dengan apa kami membayar utang ? “ kalimat itu dilontarkan oleh salah seorang orang tua anak didiknya yang masih sangat diingatnya.
Hingga pria sulung dari 2 bersaudara melakukan pendekatan-pendekatan terhadap orang tuanya, apa bibit permasalahannya ? ternyata keseluruhan mereka terdesak kemiskinan dan gagal mencari kerja juga terlihat pula keinginan dari lubuk hati sebenarnya ingin menyekolahkan anaknya. Lalu apa yang patut kita lakukan ? untuk membantu mereka. orang seperti mereka butuh bantuan dari kalangan elit.
Problem muncul pula dari keluarga dan study indra, karena loyalitas terhadap SSC Sby yang luar biasa. hingga study indra kandas di penghujung jalan. Sang ayah dan ibu yang terus menanyakan apa maksudnya dari perjalanan hidupnya, ia pun menjawab “aku akan membuat ibu, dan ayah bangga tapi dengan cara yang lain” pungkasnya.
Indra mengaku sangat jarang pulang ke pontianak tempat kelahiranya. Bahkan sampai orang tuanya menjengguk putra sulung nya ke surabaya. Waktu terus berjalan segala niat baik, sikap yang benar, keuletan, kesabaran, mengantarkan pada mimpi the one only of founder SSC Sby terwujudlah.
Mimpinya ingin memiliki rumah (walaupun sewa) memboyong anak-anak yang terabaikan sudah terealisasikan. Waktu begitu cepat untuk melihat keseriusan indra tampak nya sudah membuahkan hasil yang sangat dahsyat. Hingga di tahun ini SSC Sby mendapatkan Csr dari npm Honda. Itu semakin memicu indra dan kawan-kawannya untuk membuat SSC Sby lebih baik lagi.
Kegiatan sehari-hari indra
Karena rasa sayang dan peduli yang tinggi terhadap anak didiknya semakin membuatnya jarang keluar rumah. Hari-harinya pun dihabiskan dengan anak didiknya, menyelenggarakan event bersama. Melangsungkan kegiatan rutin, jumat sehat dan sebagainya. Bahkan ia juga membuka jasa sablon dan memproduksi telor asin bersama adik-adik yang tinggal di basecamp, Jagiran no 64.
Inginkah Indra hengkang dari SSC Surabaya lalu berumah tangga?
Ada keinginannya untuk pisah tempat dengan SSC, namun tidak akan meninggalkannya 100% karena SSC surabaya baginya sudah mendarah daging. Entah kapan Indra akan meninggalkan dan merajut rumah tangga bersama pasangan hidupnya. Bapak anak-anak marjinal ini menuturkan ia ingin sekali tinggal di desa lalu membuat sebuah sekolah kecil yang dibina dengan sepenuh hati.
Tak perlu menjadi seseorang yang mengangkat senjata demi bergelar pahlawan. Tak perlu menorehkan nama dalam buku sejarah untuk selalu dikenang. Apa yang dilakukan oleh Indra telah membuktikan bahwa pahlawan tak hanya mereka yang turun ke medang peran dan nyawa sebagai taruhannya.
Menjadi seseorang yang peduli dengan pembangunan dengan meyelamatkan satu generasi penerus bangsa, menyimpang nilai esensi tersendiri akan sebuah kata ‘pahlawan’. (n/f: Hening)