Tulisan tangan asli Pramoedya Ananta Toer dengan tinta hitam di atas kertas itu masih terlihat begitu jelas, meski kertasnya terlihat lapuk dan usang.
Kumpulan tulisan Pramoedya yang terkumpul dalam buku ‘Bumi Manusia’ tertata rapi di etalase kaca ruang baca milik Oei Him Hwie. “Surat-surat itu diberikan Pramoedya saat menghuni LP Pulau Buru pada saya secara bersembunyi-sembunyi,” kenang kakek yang lahir pada 26 November 1935 itu.
Kedekatannya dengan Pramoedya memang berawal dari dimasukkannya Oei ke Lembaga Pemasyarakatan Pulau Buru pada tahun 1970. Sebelumnya, Oei juga sempat berpindah-pindah rumah tahanan dan terhitung selama 13 tahun ia meringkuk sebagai tahanan politik.
Tahun 1965 adalah awal bagi Oei merasakan hidup dalam terali besi. Kala itu ia menempati LP Batu Malang, kemudian dipeindahkan ke LP Lowokwaru Malang, setelah itu ke Kalisosok Surabaya, lalu ke Koblen Surabaya, lalu ke Nusakambangan Cilacap, dan yang terakhir adalah di Pulau Buru.
Dari peristiwa awal ditangkap inilah Oei punya kenangan berharga. Keseriusannya mengumpulkan buku-buku kuno tentang sosial politik, terhitung mulai remaja di usia 13 tahun dia mulai gemar membaca. Buku-buku itu dibelinya dari pasar buku loak. Kemudian, buku-buku itu ia koleksi.
Sayangnya, keterlibatannya sebagai sekretariat Badan Permasyarakatan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki), Oei kelahiran Malang ini dituduh terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI). Sehingga ia pun ditangkap dan rumahnya digeledah, lebih menyakitkan lagi baginya buku-buku dan referensi bacaan yang telah dikumpulkan selama itu dibumihanguskan aparat.
Saat itulah banyak buku-bukunya yang hilang dan tercecer di sejumlah sanak familinya. Setelah dibebaskan pada tahun 1978, Oei kembali mencari-cari buku miliknya. “Terkadang, saat saya ke toko buku loak, saya sering menjumpai buku saya sendiri. Karena itu, terpaksa saya beli kembali,” jelasnya sembari tersenyum.
Oei yang dilahirkan dari keluarga pedagang memang bukan tergolong orang berada. Meski demikian, tidak menghalanginya untuk membeli sejumlah buku yang dinilai menarik. “Terkadang saya harus berkorban tidak jajan atau beli baju baru agar bisa beli buku,” ujar kakek berkacamata tebal itu menceritakan pengalaman masa kecilnya.
Ia juga membeli sejumlah novel. Novel-novel yang digemarinya adalah karangan Pramoedya Ananta Toer. Karena itu, paling tidak, 200 judul novel Pramoedya tak luput dari perhatiannya. Dan hingga kini di perpustakaan pribadinya yang terletak di Perumahan Kosagrha Medayu Selatan IV, buku-buku itu tertata rapi di dalam lemari kaca di ruangan yang diberi nama ruang langkah dan ruang khusus itu.
Selain rajin mengoleksi buku karya Pramoedya, di perpustakaan Medayu Agung milik Oei juga masih banyak beragam literatur bacaan lainnya. Seperti sejumlah majalah terkemuka juga tidak ketinggalan ia kumpulkan. Sin Po, majalah keturunan Tionghoa yang diterbitkan tahun 1928 masih tersimpan rapi di perpustakaannya. Demikian juga susunan lengkap majalah Star Weekly yang menghiasi lapak-lapak lemari di lantai dua perpustakaan tersebut.
Belum lagi koleksi buku tentang lukisan dan patung-patung Presiden Soekarno yang diterbitkan Pemerintah Jepang dan dicetak dalam jumlah terbatas. Capita Selecta, sebuah buku terbitan tahun 1954, yang menceritakan tentang sejarah awal perpecahan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Buku silsilah keluarga Tjoa yang diterbitkan tahun 1930, Buku itu mengupas tentang sosok konglomerat Surabaya tempo doeloe yang pernah mendapat penghargaan dari pemerintahan Belanda dan Dinasti Manchu. Buku sejarah Indonesia terbitan 1919, berjudul Geschiedenis van Java Door W Fruin Mees Deel I dan II terbitan Commisse voor de volkslectuur, buku-buku yang banyak mengupas tentang sejarah politik Indonesia itu memang menarik untuk dibaca.
Bahkan, tidak hanya itu. Lebih kurang 34.000 buku sosial, politik, sejarah, budaya, memenuhi perpustakaan pribadinya. Ia memang dikenal sebagai kolektor buku kuno, khususnya mengenai sosial politik. Anehnya, semua buku yang ada di perpusatakaan pribadi Oei tertata begitu rapi dan terstruktur sesuai jenisnya.
Berkat kelengkapan koleksinya, Oei pernah menerima kunjungan dari tokoh-tokoh ternama. Seperti Claudine Salmon (Penulis buku asal Prancis), Charless Coppel (University of Melbourne Australia), Daniel S. Lev (University of Washington Amerika), Benedict R.O’ Gorman Anderson (Cornell University Amerika), Roger Tool (Direktur KITLV Jakarta), Rob Van Diessen (Penerbit ASIA MAIOR Belanda).
Dirikan Pustaka Pribadi
Dalam rangka mempersiapkan generasi Indonesia mendatang menghadapi era globalisasi yang diperlukan pengenalan, pemahaman, pelestarian, dan pengembangan budaya untuk memandu bangsa kita ke masa depan yang lebih baik.
Itulah niatan tulus Oei Him Hwie bersama beberapa kawannya untuk menghimpun buku-buku koleksi pribadinya sendiri sebagai referensi bacaan generasi bangsa. Oleh karenanya bapak dua anak ini tergerak untuk membuka perpustakaan pribadi untuk umum.
Juga bercermin dari cerita sejarah kerajaan Sriwijaya di Sumatera 670 Masehi silam. Pusat kerajaan di Kota Palembang itu merupakan bandar besar serta menjadi pusat agama Budha. Banyak orang di masa itu yang mendalami agama Budha dan ilmu-ilmu lain untuk belajar di Palembang dulu sebelum berlanjut ke India. Ini disebabkan sarana perpustakaan di ibukota kerajaan Sriwijaya begitu lengkap.
Begitu pula dengan Tiongkok di masa kejayaan Dinasti Tang, dengan rajanya Tang Thay Tjong yang sangat memperhatikan perkembangan perpustakaan dan tulisan perjalanan yang dilakukan oleh rakyatnya. Pada waktu itu sistem dokumentasi dan penghimpunan data telah diterapkan dengan baik, sehingga sampai saat ini buku-buku kesusasteraan dan ilmu ketabiban dari negeri tersebut cukup terkenal.
Berangkat dari hal itulah lahirlah Perpustakaan Medayu Agung sesuai akta notaris pada 1 Desember 2001. Mengenai penamaan Medayu Agung sendiri bukanlah semata-mata karena lokasinya di Medokan Ayu, tetapi juga merupakan nama yang mempunyai arti dan falsafah bahasa yang tinggi.
Medayu berasal dari dua kata bahasa Kawi, menurut kamus Bausastra Jawa karangan S. Prawiro Atmojo, kata ‘Meda’ berarti budi atau kebajikan. Sedangkan ‘Yu’ berasal dari kata ‘Mayu’ atau ‘Memayu’ artinya berbuat baik. Jadi medayu bila digabungkan berarti berbuat kebaikan dengan dasar budi dan kebajikan. Dalam buku lain, kamus jawa kuno yang disusun oleh L. Mardiwarsito, ‘Medha’ berarti kebijaksanaan, kearifan, kecerdasan dan akal pikiran. Jadi kata Medayu Agung memiliki makna berbuat kebaikan berdasarkan budi luhur, kebajikan dan kebijaksanaan untuk tujuan besar.
Di perpusatakaan itu terdapat koleksi literatur buku-buku bidang sejarah, sosial politik, filsafat, hukum, kebudayaan, biografi, agama, jurnalistik, juga berbagai koran dan majalah. Kebanyakan koleksi di sana terbitan tua mulai tahun 1900-an. Keistemewaan perpustakaan ini juga sebab koleksi lengkap mengenai sinologi (ilmu pengetahuan tentang bahasa dan kebudayaan Tionghoa), dengan keseluruhan jumlah koleksi hingga sekitar 5.000 buku.
Berkat ketekunannya Oei yang pernah menjadi wartawan koran Terompet Masyarakat itu pernah mendapat pengahargaan dari Pemerintahan Kota Surabaya. Penghargaan kategori ‘Board Preference’ diraihnya pada 27 November 2004, dengan kisi menggerakkan potensi masyarakat untuk pelestarian dan pencerahan budaya atas dedikasi dan integritas tinggi bagi kepentingan warga Kota Surabaya.
Meraih penghargaan dari Pemkot bukan berarti membuat berharap bantuan bagi Oei Him Hwie. “Hingga saat ini kita tidak mendapatkan bantuan berupa apapun, dan saya sendiri tidak mengharapkannya apalagi mengajukan permohonan bantuan,” tegas pengagum sosok mantan Presiden RI Soekarno ini.
Bahkan ia juga mengatakan pernah ada kolektor buku asal Australia yang ingin membeli semua koleksi bukunya dengan iming-iming uang senilai Rp. 1 Milyar, namun dirinya menolak. “Lebih baik saya tetap mempertahankan buku-buku itu untuk kepintaran anak bangsa sendiri daripada untuk untuk anak bangsa lain,” jelas lulusan sekolah jurnalistik Pro Patria Yogyakarta ini. [naskah : M. Ridlo’i | foto : Dhimas P.]
1 Komentar
Denger-denger Pak Oei lagi sakit ya? Wah…