actasurya.com – Dari berteater, ia temukan kebulatan tekad dan kemerdekaan. Seorang ibu sekaligus seniman yang meracak hidup di alam kebebasan. Mengembangkan sebuah tradisi menjadi emansipasi perempuan. Itulah Ndindy Indijati, perempuan yang terlahir di tengah kemapanan keluarga. Sang bapak, anggota DPR kala itu, tak membuatnya lalai dalam menentukan pilihan hidupnya.
Anak bungsu dari tiga bersaudara ini, mulai menyelami dunia seni sejak duduk di bangku SMU, khususnya seni teater. Meski diakui, kegiatan yang ia geluti tidak mendapatkan restu sepenuhnya dari keluarga. Namun dengan idealis yang melekat dalam benaknya. ia putuskan untuk tetap berada di jalur seni.
Rintangan silih berganti, beberapa prahara masuk dalam hidupnya tak menyurutkan gairah dalam berkesenian. Bahkan diakuinya beberapa kali saat pentas, kedua kakaknya pun tidak beritikad untuk menontonnya. Karena itulah ia semakin terpacu dalam mewujudkan impiannya. Alhasil, Ndindy sering memenangkan berbagai kompetisi seni tingkat Surabaya dan Jawa Timur.
Perempuan kelahiran Banyuwangi, 25 Juni 1959 mengaku, bakat alami yang dimiliki adalah anugrah yang diberikan Tuhan untuknya . “Saya merasa memiliki 99 nyawa ketika berada di panggung, saya bebas mengeksploer diri dan menikmati hidup ini,” pungkasnya. Hal itu terbukti dari beberapa kali ia pentas.
Hingga pada suatu titik di usianya ke 27, perempuan yang pernah menjabat sebagai Ketua BMS (Bengkel Muda Surabaya) ini mengakhiri masa lajangnya menuju pelaminan dengan seorang dokter sekaligus politikus dan penikmat seni bernama Zulkifli. Dari hasil pernikahannya, dikaruniai tiga orang putri. Namun di tengah perjalanan rumah tangga yang hiruk pikuk, keduanya memutuskan tak saling bersama lagi.
Di situlah tradisi perempuan berkembang menjadi emansipasi. Peran Ndindy dalam memperjuangkan hidup dipertaruhkan. Ibu sekaligus kepala rumah tangga yang mampu membesarkan ketiga putri dengan baik, mengaku mengalami beberapa kesulitan. Terlebih putri sulung bernama Ega mengalami tunawicara. “Tentu, kesulitan ada. Namun kembali lagi, saya hidup dengan ambisi, karena ambisilah saya bertahan dan mampu,” tuturnya sembari tersenyum lega.
Perpisahan dengan sang suami memang terjadi, namun tidak dalam berseni. Di samping membesarkan ketiga putrinya sekaligus membiayai keluarga seorang diri, Ndindy tetap berkarya. Itu terbukti di tahun 2006-2007, Ndindy tergabung dalam sebuah Bengkel Teater Rendra (BTR) milik sastrawan legenda Ws Rendra yang berada di Depok, Jawa Barat. Bahkan dia pernah mengikuti proses produksi pementasan berjudul “Nyai Ontosoroh”, disutradarai Ken Zuraidah, istri Rendra.
Tak hanya itu, buah dari keberhasilannya pun ia peroleh di tahun 2009-2010 mendapatkan penghargaan dari Gubenur Jawa Timur sebagai aktris terbaik. Dia pun menjabat sebagai Ketua Bengkel Muda Surabaya selama dua periode.
Perjuangan yang ditanamnya sejak muda kini menuai hasil. Di usia setengah abadnya kini ia memiliki pencapaian banyak hal temasuk mendirikan Sanggar Lidi Surabaya beberapa tahun silam. Hidup bersama tiga orang putri, satu menantu dan satu orang cucu sekaligus saudara Sanggar Lidi melengkapi hidupnya.
Biodata Narasumber
Nama : Ndindy Indijati
Alamat : Wisma Tengger no 27 Surabaya
Tempat kelahiran : Banyuwangi
Tanggal lahir : 25 Juni 1959
No tlp : 0817-5080-122
Hoby : Berteater
Pekerjaan : Pendiri Sanggar Lidi Surabaya.
Prestasi : – Menjadi Ketua Bengkel Muda Surabaya
– Berteater di Bengkel Teater Ws. Rendra
– Penghargaan The Best Aktris dari Gubenur Jawa Timur Soekarwo 2009-2010
– Memenangkan beberapa lomba baca puisi.
(N/F: Hening)