actasurya.com – Usianya kini kian menua, sudah hampir memasuki satu abad. Kulitnya tampak kusut mengeriput. Rambut yang mulai jarang terlihat lagi dikepalanya, juga sudah terlihat memutih. Namun ia masih tampak gagah dengan pakaian dinas yang dikenakannya.
Moekari, adalah pejuang pertama kemerdekaan RI. Sejak Indonesia belum merdeka, ia sudah dilatih oleh pasukan NIPPON (NIPPON adalah tentara Jepang yang zaman dahulu menguasai Indonesia). “Kebetulan saya ini pejuang pertama. Jadi sebelum proklamasi, tahun 1944 NIPPON membentuk pasukan elit, tapi saya nggak ngerti mau dijadikan apa,” ujar Moekari.
Semasa dilatih oleh NIPPON, Moekari menjalani latihan yang sangat keras. Ia diharuskan berlari 30 kilo meter setiap pagi. Itulah yang membuat tubuh rentanya masih terlihat sehat seperti sekarang. “Kalau pagi itu sarapannya 30 kilo lari. Alhamdulillah sampai sekarang saya masih sehat, walaupun umur saya sudah banyak tapi saya masih kuat,” tuturnya.
Pada saat itu Moekari tidak menyadari bahwa bangsanya sedang dijajah. Semua serba ada dan serba murah, hanya pendidikan yang memiliki harga mahal waktu itu. “Kita itu dijajah tapi nggak ngerti, seperti halnya dijajah Belanda. Karena keadaannya enak, semuanya serba ada dan serba murah. Hanya pendidikan dulu itu mahal, kita hanya sedang di bodoh-bodohi,” tungkasnya.
Di awal perang kemerdekaan Indonesia, satuan polisi memiliki peran yang sangat penting. Sebagai satu-satunya kesatuan yang memiliki persenjataan lengkap, polisi menjadi garda terdepan mempertahankan kemerdekaan.
Moekari menjadi salah satu dari pasukan pembela negara itu. Dengan bersenjatakan lengkap, kakek 12 cucu ini beserta kawan-kawannya yang tergabung dalam pasukan Polisi Istimewa pimpinan M. Jasin, kerap mengikuti perang dalam merenut kemerdekaan RI.
“Komandan saya itu orang Sulawesi, orangnya pinter dan jujur. Namanya Moehammad Jasin. Kalau saya ini pasukan khusus RI. Semua perang saya ikuti,” ucap Moekari.
Dia mengisahkan, kala itu perang berlangsung cukup menegangkan. Moekari dan anggotanya yang saat itu tengah berada di dalam pabrik, diserang dengan tembakan oleh musuh dari pesawat dan tank yang sudah mengepungnya. Sebanyak 15 anggotanya tewas tertembak, sedangkan ia selamat walau kaki kirinya ditembus peluru oleh musuh. Luka tembak tersebut mengakibatkan cacat permanen.
“Karena di dalam pabrik, ditembak nggak apa-apa. Pabrik diserang pesawat dari atas. Mau nggak mau kita keluar, ya kena semua wong diluar sudah dijaga. Saya selamat, kawan-kawan saya tewas,” cerita Moekari dengan antusias.
“Saya kena peluru, waktu perang dengan Belanda tahun 1949. Setelah itu saya dikirim ke Rumah Sakit Simpang, milik Belanda di Surabaya. Lalu dipindah ke Ponorogo. Saat mau sembuh, saya dicari sama Belanda mau di interogasi. Saya dikirim oleh dokter ke Madiun dan nama saya diganti. Dokter zaman dulu dengan para pejuang melindungi,” lanjutnya.
Meski kehilangan satu kakinya, namun itu tak membuat kakek yang menjabat sebagai Kapten Polisi ini tak gentar. Moekari adalah pejuang yang sangat pemberani. Bahkan ia tidak takut mati saat peperangan. “Perang itu ngeri. Senang tapi ngeri. Mati itu bagi saya nggak ada artinya. Saya nggak takut mati. Padahal nggak dapat apa-apa. Hanya semangat perjuangan itu selalu ada,” tuturnya dengan penuh semangat.
Setelah peristiwa perang yang membuat ia kehilangan kaki kirinya, pada tahun 1950, Moekari tak lagi bertempur di medan perang. Perjuangannya dilanjutkan oleh Legiun Veteran (Legiun Veteran adalah penerus pejuang cacat veteran). Moehammad Jasin, saat itu tidak melaporkan bahwa Moekari kehilangan satu kakinya. Sehingga ia tidak mendapatkan tunjangan dari pemerintah.
“Komandan saya itu orangnya baik betul. Jadi saya ini sudah cacat, tapi nama saya tidak cacat dan utuh. Sekarang saya sengsara, kawan-kawan saya yang cacat dapat tunjangan. Karena saya dilaporkan tidak cacat oleh komandan saya, ya nggak diberi,” tungkas Moekari.
Saat ini, laki-laki kelahiran Blitar 86 tahun lalu ini memimpin Korps Cacad Veteran di Surabaya. Meski anak-anaknya melarang untuk bekerja, namun ia tetap menjalankan tugas dari pemerintah yang diberikan kepadanya sejak tiga tahun yang lalu.
“Ini sebenarnya saya gak boleh kerja sama anak saya. Saya diutus oleh pemerintah untuk menjadi Ketua Korps Cacad Veteran menggantikan Pak Ismunandar. Ya sekalipun nggak dibayar saya laksanakan tugas pejuang dulu,” ucapnya.
Pengorbanan yang telah kakek 12 cucu ini demi merebut kemerdekaan Republik Indonesia perlu di apresiasi lebih. Sebagai generasi penerus bangsa, tentu seharusnya kita berterima kasih kepada para pejuang seperti halnya kepada Moekari.
Sebagai generasi penerus bangsa kita harus menghargai dan menghormati jasa-jasa para pahlawan kita yang telah memperjuangkan kemerdekaan bangsa. Moekari hanya berpesan kepada seluruh orang Indonesia terutama generasi penerus bangsa, “Jadilah orang Indonesia yang jujur, berani, pinter dan tegas.” (N/F: Elisa)