actasurya.com – Saya berharap, di mana pun kamu berada, di luar sana, atau di ketiadaan, moga-moga tidak ada lagi rahasia yang disembunyikan oleh siapa pun, oleh apa pun.
Suatu ketika kita akan bertanya kenapa dunia ini diciptakan. Ketika tiba waktu itu, maka bukalah A Brief History Of Time-nya Stephen Hawking. Dalam berbagai penjelasan tentang waktu, Hawking akan menuntunmu ke jalan di mana dunia bermula melalui waktu. Tapi hanya sebatas jalannya saja, sebab tujuan pastinya pun Hawking sampai hari ini masih merabanya.
“Namun, kalau kita benar-benar menemukan satu teori lengkap, seiring waktu teori itu akan bisa dipahami secara luas oleh semua orang, bukan hanya segelintir ilmuwan. Maka kita semua, filsuf, ilmuwan, dan orang-orang biasa, akan ambil bagian dalam pembahasan pertanyaan mengapa kita dan alam semesta ada. Jika kita menemukan jawabannya, itulah kemenangan pamungkas nalar manusia -karena artinya kita telah mengetahui isi pikiran Tuhan,” tulis Stephen dalam bukunya itu.
Tapi tampaknya pencarian akan esensi atau alasan kenapa alam semesta ada akan berakhir di sini. Kelak, tidak ada lagi yang peduli seperti Stephen dan otaknya. Sebab ia telah pergi dari bumi. Dia meninggal dunia pada rabu (14/3). Ilmuwan asal Inggris ini meninggal di usia 76 tahun, setelah 50 sekian tahun hidup dengan amyotrophic lateral sclerosis (ASL).
Tidak ada yang sebenarnya harus kita sesali. Karena seperti pertemuan yang tidak harus dirayakan dengan ramai, perpisahan pun tidak boleh disesalkan dengan berlebihan. Lagipula Stephen tidak takut untuk mati. Dia bilang: “I’m not afraid of death, but I’m in no hurry to die. I have so much I want to do first.”
Rasa cintanya pada fisika, membuat ia menyangsikan semua hal yang kita sebut ‘keajaiban’. Dia menceritakan segala sesuatu dengan real. Tidak ada yang terjadi dengan sihir. Semua tercipta dengan unsur-unsur alam semesta dalam hitungan yang valid. Ia memberitahu kita lewat hitung-hitungannya soal waktu, lubang hitam, gravitasi, dimensi berlapis-lapis di dalam waktu, jarak galaksi, alien, mahluk masa depan, semuanya. Dan semua diakui di ranah internasional.
Tahun 2017, ia ditawari Richard Branson untuk ikut dalam penerbangan ke angkasa bersama 700 orang lainnya. Supaya ia juga bisa melihat angkasa yang selama ini ia rumuskan dalam angka-angka. Tetapi tampaknya Stephen tidak akan ikut, sebab hari ini, Stephen memilih untuk pergi duluan. Mati di bumi, sendirian. Dan mungkin ia melakukan itu karena ia tidak mau merepotkan orang lain. Seperti dulu ketika ia berpisah dengan Jane.
Dalam film The Theory of Everything yang disadur dari buku yang ditulis oleh mantan istrinya, Jane, berjudul Travelling to Invinity, Stephen menjadi orang yang begitu tangguh dalam segala hal. Ia tidak selemah tubuhnya di kursi robot itu. Ia bahkan tidak pernah berharap untuk mati dalam waktu singkat seperti Robin yang terkena polio.
Suatu saat, ketika ia dan Jane sudah berumah tangga cukup lama, ia merasa sangat tidak berguna sebagai suami. Hingga Jane, ia relakan berpisah dengannya dan menikah dengan orang ‘normal’ yang lebih berguna darinya. Terkadang cinta bisa didefinisikan melalui perpisahan. Begitulah yang dialami Stephen dan Jane. Dalam catatan penutup terbarunya di dalam buku Travelling to Invinity, Jane mengatakan:
“Setelah aku selesai menulis Penutup, Stephen juga telah terbang dalam keadaan gravitasi nol dan kembali ke Bumi, menghasilkan foto-foto hebat di media. Senyum di wajahnya selagi dia mengambang tanpa bobot dengan merdeka kiranya dapat menggerakkan bintang-bintang. Aku jelas tersentuh dan jadi merenung, betapa beruntungnya aku bepergian bersamanya, bahkan dalam jarak dekat, di jalan menuju ketakterhinggaan.”
Stephen punya ambisi mengungkap asal-muasal kita. Ia kadang tidak terlalu peduli pada tubuh dan kesehatannya. Ia seperti ilmuwan-ilmuwan pendahulunya, pemikiran adalah segalanya. Dalam dialognya dengan dokter setelah dokter mendiagnosanya menderita ALS dan mengatakan kalau hidupnya tinggal 2 tahun lagi, Stephen malah bertanya tentang bagaimana dengan otaknya?
Ada banyak rahasia yang harus diungkapkan. Tetapi Stephen akan ambil bagian dari tulisan-tulisannya saja. Ia akan memantau dari luar sana. Entah dari mana. Mungkin dari surga atau black hole atau semacamnya. Tetapi Stephen tidak yakin dia akan ke sana, sebab ia sama sekali tidak takut gelap.
“There is no heaven or afterlife for broken-down computers; that is a fairy story for people afraid of the dark,”
Akhirnya, kita hanya bisa berharap dia menghilang dengan damai. Pikiran serta ingatannya akan Bumi dan semesta mudah-mudahan bermanfaat untuk kita dan untuknya. Ia telah tiada, menghilang jadi udara atau jadi gelap di alam ruang tak berpenghuni atau di ketakterhinggaan. Atau Stephen akan berada pada suatu ‘ketika’ yang telah lama ia ingin ketahui atau bahkan yang sudah lama ia ketahui. Lalu, jawaban-jawaban dari rahasia-rahasia yang selama ini ia hitung akan terpampang disana. (N/F: Ebi/Google)