Actasurya.com – Sejak dilantiknya Prida Ariani Ambar Astuti pada 27 Oktober 2019, yang mendapatkan amanah dari Imawan Mashuri sebagai Ketua Pengurus Yayasan Pendidikan Wartawan Jawa Timur (YPW-JT) sebagai ketua Stikosa – AWS untuk periode 2019-2023. Prosesi tersebut bertempat di ruang multimedia Stikosa-AWS. Saat itu pula sedikit demi sedikit karakter dan asal muasal wanita berambut pendek ini mulai terkupas.
Bermula pada sekelompok mahasiswa yang mendapatkan tugas dalam mata kuliah investigasi jurnalistik dengan dosen pengampu Dhimam Abror. Mereka beranggotakan dua orang, yakni Jelita Sondang Samosir dan Rizqi Mutqiyyah. Berbeda dari kawan yang lainnya, keduanya memilih menguliti isu yang ada di kampus.
Penugasan ini dimulai pada 5 Desember 2019, saat menemukan kejanggalan dalam surat keterangan lulus (SKL) pada mahasiswa wisudawan 2019. Kemudian mencocokan gelarnya yang tercantum di SKL dengan halaman website Kementrian Riset dan Perguruan Tinggi. Didapati tidak ada kecocokan, sehingga mereka memutuskan untuk mengusut hal tersebut.
Reporter Acta Surya menghubungi salah satu anggota kelompok tersebut dan meminta izin. Agar data investigasi terkait gelar Ph.D yang disandang Prida, untuk dimuat kembali pada laman website actasurya.com. Setelah diberikan izin, akhirnya kami menguraikan sedikit soal propaganda yang terjadi terakit gelar Ph.D Prida tersebut.
Gelar Ph.Dd pada SKL Mahasiswa 2019
Pada 29 November 2019, Ketua Stikosa-AWS, Prida Ariani, menandatangani Surat Keterangan Lulus (SKL) mahasiswa dengan mencantumkan gelar Ph.D. Berdasarkan data yang kami temukan pada laman forlap dikti, (https://forlap.ristekdikti.go.id/dosen/search), Prida masih tercatat sebagai dosen aktif di Universitas Pembangunan Jaya. Pendidikan terakhirnya adalah Magister Sains (M.Si). Disini terlihat adanya perbedaan gelar antara gelar yang ada pada SKL, yakni Ph.D dengan gelar yang ada di forlap dikti yang masih M.Si.
Rencana Branding Ke Depan
Menurut Imawan, Prida akan dibuat profilnya. Setelah ini akan ada publikasi yang keren, untuk promosi. Ph.D yang diangkat, lulusannya baik atau tidak bukan menjadi masalah. Hal ini dibangun melalui kepercayaan, yang penting Prida sejajar dengan orang terkaya di China setelah Jack Ma, yakni Tension yang juga merupakan lulusan Nehu. Kelas promosi Prida setara dengan tokoh besar tersebut, yang juga di promosikan dengan gelar Ph.D. Hal ini bertujuan supaya banyak yang mensponsori, sehingga kampus bisa diperbaiki mulai dari fasilitasnya dan mahasiswa merasa enak.
Reporter Acta Surya mencoba mengklarifikasi terhadap PJS saat ini, terkait gelar Ph.D Prida yang di tahun 2019 menjadi perbincangan hangat dicivitas akademik dan mahasiswa. Hingga Prida mengundurkan diri tidak ada statement sepatah katapun darinya.
Tanggapan Pejabat Sementara (PJS) Stikosa-AWS
Pejabat sementara (PJS) AWS Ratna Amina, menanggapi soal gelar Ph.D Prida Ariani yang sempat menjadi kegaduhan di kampus biru tempo lalu. Mengungkapkan bahwa sejak awal tidak menjadi permasalahan terkait gelar maupun diijasahnya.
“Gelar Bu Prida tidak ada masalah dan (juga) tidak ada masalah dengan ijazah Bu Prida sejak awal,” ungkap Nana saat diwawancarai via WhatsApp (21/08).
Lebih lanjut, wanita yang akrab disapa Nana ini mengatakan permasalahan gelar Prida hanya butuh proses saja dan bukan ranahnya untuk ikut campur.
“Bukan ranah saya itu, apalagi sejak awal memang tidak ada masalah. Butuh proses saja,” tambahnya
Melalui program kerja yang Prida paparkan pada saat pemaparan visi-misi calon ketua AWS pada 13 agustus 2019 untuk empat tahun kedepan. Salah satunya mengenai perampingan struktural, dengan dalih menurut wanita berkacamata ini mengatakan “bekerja dengan sedikit orang tapi ada hasilnya, daripada bekerja banyak orang tapi tidak efisien,” tegasnya saat diwawancarai reporter Acta Surya tahun 2019 silam.
Namun setelah enam bulan menjabat, Prida melakukan banyak perubahan kebijakan dan peraturan. Salah satu program kerja yang terlaksana yaitu perampingan struktural, hal tersebut terbukti sekitar bulan Maret ialah pergantian satpam, penghapusan dispensasi yang dilakukan Wakil Ketua II (Waka II) Moch. Djauhari (kala itu), hingga peraturan yang ketat diberlakukan kepada mahasiswa, dosen dan karyawan.
Sehingga, menjadi salah satu indikator satu-persatu para praktisi jurnalistik mengundurkan diri dari jabatannya sebagai dosen. Para praktisi tersebut diantaranya Fajar Arifianto Isnugroho, Ismojo Herdono, Hernani Sirikit, Supriadi, Edelweis Putri Prima, Ratna Puspita Sari, Abdul Muhaiminul Aziz. Jika diakumulasikan hingga sekarang dosen yang telah keluar berjumlah tujuh orang di kampus komunikasi di Surabaya ini.
Tanggapan eks dosen Stikosa-AWS
Disatu kesempatan Reporter Acta Surya mewawancarai Fajar Arifanto Isnugroho melalui sambungan telepon WhatsApp pada 6 Juli 2021. Fajar merupakan salah satu mantan dosen Stikosa-AWS menjawab, jika mundurnya para pengajar praktisi ini tidak disebabkan oleh perampingan struktural tersebut. Akan tetapi, Fajar menjelaskan jika tidak tahu-menahu terkait perampingan atau pengurangan dosen yang direncanakan.
“Mungkin itu pengunduran diri, Kalau perampingan itu efesiensi. Tapi ini dosennya yang mundur mungkin ada ketidakpasan dalam mengajar jadi dosen memilih tidak melanjutkan studinya,” ucap Fajar yang pernah menjadi dosen tetap.
Selain itu, saat disinggung mengenai mundurnya pria yang pernah menjabat sebagai Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) ini tidak disebabkan oleh Prida Ariani. Melainkan sudah memiliki niat untuk terjun menjadi seorang praktisi sekaligus konsultan media.
“Saya mundur sejak bu prida menjabat, memang saya pernah mengikuti seleksi ketua karena saya senat dosen. Tapi saya tidak pernah berinteraksi dengan ketua karena sudah keluar,” ujarnya.
Sebelum memutuskan untuk berhenti, Fajar menjelaskan bahwa ia sudah membuat kesepakatan dengan Ismojo, yang pada waktu itu masih menduduki kursi Ketua Stikosa – AWS bahwa saat masa jabatan Ismojo berakhir, ia akan berhenti menjadi dosen tetap dan berencana menjadi dosen tamu jika dibutuhkan.
“Saya sudah punya niat mundur menjadi dosen tetap ketika jabatan Pak Ismoyo habis. Saya lebih memilih menjadi praktisi dan konsultan media. Hal ini sudah saya sampaikan ke Pak Ismoyo jika ingin fokus kedua bidang tersebut. Tapi saya juga siap mengajar di Stikosa menjadi dosen luar biasa (LB) atau dosen tamu,” kata Fajar.
Fajar, salah satu mantan dosen praktisi Stikosa-AWS ini juga memiliki harapan agar tempat akademisi yang mendapatkan almamater wartawan ini bisa menjadi lebih baik.
“Semoga tetap eksis, tetap ada sebagai kampus komunikasi massa yang fokus terhadap bidang jurnalistik, dan Public Relations. Karena tidak banyak kampus yang menghasilkan praktisi dan etos kerja yang baik, pengetahuan dan link yang baik,” harapnya.
Pengalaman mahasiswa akhir yang dibimbing skripsi
Bima Alif Ramadhan, mahasiswa semester 8 ini bercerita soal duka pengerjaan skripsinya yang dibimbing oleh Prida Ariani. Semula berjalan lancar dengan bimbingan skripsi daring lewat email, karena prida tidak menerima komunikasi secara tatap muka.
“Beliau tidak menerima komunikasi secara tatap muka jadi hanya lewat online, pilihannya e-mail atau WhatsApp. Tapi, selama saya bimbingan cuma lewat e-mail saja,” ceritanya.
Pengunduran diri Prida sejak 1 juli 2021, yang kemudian berdampak pada civitas akademik termasuk mahasiswa semester akhir. Dengan tanpa ada informasi secara formal dari pihak kampus, mengakibatkan mahasiswa jadi kebingungan dan memutuskan konfirmasi terkait kabar tersebut ke BAAK.
“Saya awal tahu informasi tersebut dapat dari teman mahasiswa, terus saya menanyakan informasi tersebut ke BAAK, ternyata benar beliau mengundurkan diri,” ungkapnya.
Selain itu, berpengaruh juga terhadap proses pengerjaan skripsi Bima sapaan akrabnya. Ia menuturkan bahwa juga pernah mengalami pengabaian skripsi, dalam hal slowrespon dan karena keterbatasan pola komunikasi yang dibentuk oleh prida.
“Pernah, kalau dalam hal merespons,” terangnya.
Bima juga mengatakan bahwa bimbingan skripsinya ke Prida hanya sekali secara daring, setelah itu prida mengundurkan diri. Lalu dosen pembimbing skripsinya digantikan oleh Puasini Apriliyantini.
“Sekarang (dosen pembimbing skripsi) Bu April saya,” tutupnya.
Tanggapan Koordinator Kemahasiswaan
Koordinator kemahasiswaan, Athok Murthado, mengatakan kehadiran Prida Ariani di Stikosa-AWS membawa angin segar dalam administrasi kampus Wartawan Tertua di Surabaya. Datangnya Prida lalu merapikan administrasi dengan membuat peraturan yang terstruktur.
“Bu Prida itu tegas, taat peraturan dan tertib administrasi. Saya mengatakan itu karena waktu sebelumnya administrasi di kemahasiswaan baru ada, cuma belum ada aturan jelas. Prida menciptakaan peraturan kemahasiswaan sendiri. Kemahasiswaan kan satu divisi sama divisi komunikasi. Jaman Bu Prida dipecah menjadi : program kerja dan munculnya buku panduan organisasi.
Saya rasa satu kemajuan, muncul buku panduan Surat Keterangan Pendamping Ijazah (SKPI),” tuturnya.
Lebih lanjut, Athok menilai bahwa pola hubungan secara emosional yang dibangun Prida kurang menemukan hasil, hanya menjalin kedekatan dengan beberapa orang saja. Namun, untuk urusan kinerja, Prida terbuka untuk diskusi sederhana.
“Kalau tertutup sih enggak, kalau silaturahmi sih beliau emang tegur sapa biasa. Kalau tentang kinerja atau pekerjaan di kampus beliau sih open. Seperti saya yang dibantu dikemahasiswaan. Cuma kalau kedekatan emosional belum ada karyawan yang dekat, mungkin Mbak Riesta yang dekat,” ucapnya.
Hal tersebut dibuktikan dengan lahirnya persyaratan Surat Keputusan (SK) pendirian ormawa dan pembuatan statuta AWS. Namun, lelaki berjanggut ini membantah tuduhan bahwa kebijakan tersebut bukan permintaan Prida sendiri. Akan tetapi, atas permintaan LLDIKTI untuk salah satu persyaratan menaikkan akreditasi kampus.
“Jadi, seharusnya SK tersebut harus tetap dilakukan karena itu ngikutin aturannya LLDIKTI. Soalnya kan kemarin dikolom untuk catatan akreditas ada penguploadan SK organisasi eksternal, seperti Organisasi Mahasiswa (Ormawa), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Disitu harus ada SK pendiriannya, AD-ART dan proker, kemudian itu diupload di LLDIKTI. Sedangkan kita gak ada datanya,” tuturnya.
Ketika ditanya perihal kelanjutan SK pendirian dan draft standarisasi ormawa, Athok mengatakan bahwa seharusnya persoalan tersebut diselesaikan dijamannya Prida. Karena, Prida yang membuat buku tersebut. Disisi lain, dari pihak kampus tidak ada yang bersedia mensosialisaikan buku panduan organisasi tersebut, hingga sekarang terbengkalai.
“Seharusnya itu kinerja yang dilakukan di jaman Bu Prida, dan itu akhirnya mangkrak. Karena tidak ada yang meneruskan menemui teman-teman ormawa untuk menjelaskan atau mensosialisasikan tentang buku panduan organisasi. Karena, buku itu dibuat oleh bu Prida,” Jelasnya.
Tak hanya itu, Athok juga menceritakan bagaimana mekanisme mencari keberadaan SK dari setiap ormawa. Namun, yang didapati nihil tidak ditemukan dari dua sumber yaitu ormawa dan civitas. Sehingga, penyelesaiannya dengan cara membuat SK pendirian ormawa yang baru.
“Kita sudah minta SK pendirian ke ormawa katanya ormawa tidak pegang, begitu juga civitas katanya tidak pegang. Mau gak mau kita harus mengulang kembali membuat SK pendirian yang baru. Karena, itu persyaratan yang dibuat oleh kampus,” ceritanya.
Athok juga berharap untuk ketua kampus biru yang baru, agar mampu bekerja sama dengan seluruh civitas akademik tanpa tebang pilih. Bisa mengevaluasi kinerja Prida dari segi aspek kelemahan dan kelebihan, agar ketua definitif yang baru mampu melengkapi kekurangannya.
“Harapan saya adalah ketua definitif baru, yang terpilih bisa kerja sama dengan teman-teman karyawan. kalau bu prida kan kuatnya di administrasi tapi komunikasi kurang, paling tidak bisa melengkapi administrasi dan komunikasinya juga dapat,” pungkasnya.
Tanggapan departemen sosial politik BEM Stikosa-AWS
Menanggapi persoalan tersebut, Jelita Sondang Samosir selaku anggota departemen sosial politik BEM AWS periode 2020/2021, mengatakan bahwa butuh waktu yang tidak sebentar untuk mengubah status dari setiap ormawa menjadi UKM. Juga, tentu akan berdampak terhadap AD-ART BEM yang dimana ormawa di Stikosa-AWS ada tiga tingkatan yaitu UKM, Komunitas, dan Unitas.
“Bagi BEM tidak masalah adanya kebijakan SK pendirian ormawa. Tetapi, kebijakan syarat pendirian ormawa semua harus berstatus UKM. Itu, sangat sulit bagi BEM karena untuk mengubah anggaran dasar, dan anggaran rumah tangga (AD-ART) membutuhkan waktu yang tidak sebentar,” jujurnya.
Tak hanya itu, perihal pendanaan pun sejak pandemi 2019 hingga sekarang, dana yang seharusnya dihibahkan ke ormawa, dalam kurun waktu dua tahun tidak ada pencairan dari pihak kampus. Sehingga setiap ormawa harus memutar otak, agar pundi-pundi kas bertambah dan semua program kerja dari setiap divisi bisa berjalan.
“Sudah dua tahun ormawa tidak mendapatkan dana dari kampus. Jadi, mereka sendiri yang bergerak mencari dana, mereka pakai uang kas yang mereka kumpulkan, juga jualan kayak makanan atau kaos buat nambahin dana kasnya,” ungkapnya.
Terkait permasalah ini agar menemukan titik terang, Jelita dan kawan-kawan BEM dalam waktu dekat akan membuat agenda forum bersama akademik dan ormawa. Tuntutan dan goal setting dari forum tersebut, agar pihak kampus bisa mempertimbangkan ulang standarisai organisasi tersebut dengan keadaan ormawa sekarang.
“Hari rabu (rencana) nanti akan ada forum BEM dan akademik untuk membahas SK pendirian ormawa dan standarisasi organisasi. Kita (BEM) sudah beberapa kali mengadakan forum dengan ormawa, mereka meminta agar standarisasi organisasi dihilangkan atau direvisi sesuai dengan keadaan ormawa sekarang,” jelasnya.
Jelita kemudian meminta izin untuk mengadakan forum sebagai salah satu langkah mediasi kepada PJS Ratna Amina, yang menjadi gerbang utama dalam penyelesaian persoalan ini. Secara terang-terangan menyebutkan bahwa setuju dengan diadakannya forum tersebut, yang bertujuan baik apabila ada pasal yang tidak sesuai agar dapat dikaji ulang bersama.
“Tidak apa-apa dikaji ulang kalau ada yang tidak sesuai,” tutur Ratna.
Tanggapan mahasiswa
Cintya Hellen, mahasiswi jurusan public relations memberikan penilaian terhadap kinerja Prida menjadi dosen pengajar dalam mata kuliah teori komunikasi pada angkatan 2020.
“Bu Prida itu objektif dan paling kompeten jika dibandingkan dengan dosen lainnya,” ungkap wanita berkacamata ini.
Tak hanya itu, wanita berambut pendek ini juga mengapresiasi kinerja Prida. Karena komunikatif dalam hal-hal kecil saat perkuliahan. Serta diskusi-diskusi ringan disela-sela kelas berlangsung.
“Aku appreciate kinerja beliau, karena beliau kompeten selama mengajar dan selalu mengkomunikasikan hal-hal kecil melalui diskusi, contoh kecilnya seperti penyampaian informasi atau kesepakatan (sebelum) ujian,” kata Cintya sapaan akrabnya.
Bertolak belakang dengan Retika Niluh Alfala Putri, mahasiswi jurusan broadcasting ini menuturkan bahwa Prida selama mengajar dalam mata kuliah academic writing merupakan pribadi yang kaku dan tidak komunikatif. Hal tersebut, dibuktikan dengan adanya peraturan yang mengakibatkan mahasiswa takut untuk bertanya, karena konsekuensi yang dilayangkan cukup memberatkan.
“Menurut saya usaha Bu Prida dalam berkomunikasi dengan mahasiswa gak ada, seperti tiap kali mata kuliah beliau hanya menyapa, tetiba kasih materi tanpa penjelasan lalu penugasan, dan presensi pun jarang,” tutur Tika sapaan akrabnya.
Dengan sikap Prida yang menurut Tika tidak mampu membangun pola komunikasi yang baik antara mahasiswa dan dosen. Hal tersebut menjadi indikasi mahasiswa yang masih belum paham materi yang dipaparkan Prida, namun enggan bertanya karena takut dengan konsekuensinya.
“Kita mahasiswa yang mau bertanya pun bingung dan agak takut karena ada peraturan beliau (Prida) yang mengharuskan ada bukti konkrit. Jika tidak nilai dikurangi, jadi kita kesusahan dan serba salah untuk bertanya,” tutup mahasiswi semester 5 ini.
(N/F: Bqn,Keo,Fbf)