Actasurya.com – Baru-baru ini teman-teman sesama pers mahasiswa digegerkan dengan perlakuan yang tidak adil, tepat pada tanggal 28 Desember 2018, Citra Maudy jurnalis Badan Penerbitan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung mendapatkan surat panggilan oleh Polda DIY. Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa Citra dipanggil untuk dimintai keterangan sebagai saksi dugaan tindak pidana perkosaan, sebagaimana yang ia tulis di laman laporan utama “Nalar Pincang atas Kasus Perkosaan” yang terbit pada 05 November 2018.
Panggilan serupa pun dialamatkan kepada Thovan Sugandi, penyunting artikel tersebut. Pemanggilan Citra Maudy dan Thovan Sugandi sebagai saksi dugaan tindak pidana perkosaan adalah tindakan yang janggal. Informasi itu diketahui Citra dan Thovan terkait peristiwa tersebut bersumber dari reportase yang mereka lakukan untuk berita “Nalar Pincang UGM dalam Kasus Perkosaan.”
Citra dicecar 30 pertanyaan oleh penyidik saat pemeriksaan terkait dugaan pemerkosaan yang dialami Agni. Pertanyaan-pertanyaan tersebut cenderung mengarah pada berita yang ditulis Citra, bukan pada peristiwa terkait. Penyidik justru banyak mengulik isi berita dan proses reportase yang dilakukan. Pertanyaan-pertanyaan di mana garis besarnya merujuk seperti, siapa saja narasumber yang ditemui, di mana menjumpainya, apa yang disampaikan narasumber, hingga pertanyaan aneh apakah berita ini benar atau hoaks, malah dilontarkan oleh penyidik. Sudah barang tentu materi pertanyaan itu tidak selaras dengan unsur-unsur pasal yang digunakan sebagai basis penyidikan, yakni pasal 285 dan pasal 289 KUHP.
Keganjilan semakin terlihat dari pernyataan yang dikeluarkan oleh Direktur Reserse Kriminal Umum Polda DIY, Kombes Hadi Utomo selepas pemeriksaan berlangsung, kepada para wartawan, Ia mempertanyakan nomenklatur kata ‘pemerkosaan’ dan juga kebenaran berita yang diterbitkan Balairung. Jika berita yang ditulis itu tidak benar, ujarnya, akan lebih baik bila tidak di publikasikan. Seperti yang dikutip dari kumparan.com ia mengatakan institusinya memeriksa Balairung Press lantaran ada indikasi berita bohong. “Kami akan panggil, mereka-mereka itu kok bisa menemukan nomenklatur kalimat pemerkosaan itu dari mana,” ujar Hadi.
Bertolak dari keganjilan itu, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Dewan Kota Yogyakarta menengarai ada alamat untuk mengkriminalisasi wartawan BPPM Balairung. Apabila hal ini terbukti maka UGM betul-betul melakukan kesalahan fatal dengan mengkriminalisasi mahasiswanya yang mengungkapkan kebenaran melalui kerja-kerja jurnalistik.
Pers mahasiswa yang dikenal dengan karya tulis dan analisis yang dihasilkan, kini harus beradaptasi dengan polemik ketidakadilan yang kian merajalela. Pemberitaan pers mahasiswa yang mementingkan suara-suara mahasiswa yang tak bisa bersuara dengan lantang di depan kantor rektorat, di sini peran pers mahasiswa lah yang menjadi wadah untuk mereka meluapkan unek-unek yang ada di benak mereka.
Kini kekritisan, kelantangan suara pers mahasiswa memang menjadi momok yang mengerikan bagi para birokrat, juga penguasa di negara ini. Wajar saja sebab bagaimana pun penguasa tidak suka diganggu apalagi sampai mengancam kekuasannya. Di masa Orde Baru, segala hal yang berbau kritis dan memberontak nyaris tak boleh hidup, prinsipnya mengkritik pemerintah itulah dia yang dibantai. Sikap otoriter dan enggan mendengar kritik masih saja tumbuh di kalangan birokrat kampus. Kecenderungannya bahkan semakin meningkat.
Dari kasus jurnalis Balairung, menunjukan bahwa kampus kini sudah tidak lagi menjadi tempat mahasiswa untuk mengeksplorasi diri dan berpikir kritis. Yang ada dalam benak kampus adalah bagaimana membuat mahasiswanya berprestasi, mengharumkan nama kampus tanpa ada embel-embel mengkritik kinerja kampus. Kampus hanya ingin pers mahasiswa itu tidak kritis,tidak berkoar-koar tentang kejelekan kampus.
Tidak hanya itu, sejumlah kampus juga menginginkan pers mahasiswa menjadi humas. Kampus menginginkan pemberitaan yang baik-baik saja terkait aktifitas di kampus. Tak jarang kampus menggelar pelatihan menulis bagi mahasiswa yang orientasinya pada prospek mencari pekerjaan, bukan melatih kekritisan.
Sebagaimana lembaga pers pada umumnya, pers mahasiswa juga memiliki peran yang sama untuk menjadi kontrol terhadap pejabat dan pengelola kampus. Pers mahasiswa juga menjadi salah satu pilar tegaknya demokrasi di kampus. Pembungkaman menjadi pertanda kemunduran demokrasi. Sebuah pertanda yang buruk untuk Indonesia.
Penulis : Alfa Kumala