Menjadi penulis di era 50-an, bukanlah hal yang mudah. Namun hal inilah yang dijalani oleh Raden Amak Syarifudin, yang tak kenal lelah menulis sejak usia 21 tahun.
Cukup hanya dengan sebuah pertanyaan, ketika kami wawancarai di tempat kerjanya, pria yang akrab disapa Amak ini lancar menceritakan semua pengalaman hidupnya. Di tahun 50-an, mantan pimred pertama Acta Surya ini, pernah mendapat tawaran untuk menjadi Tentara Pelajar Indonesia. Namun ia tetap memilih untuk menjadi seorang jurnalis. Baginya, seni adalah jiwanya dan menjadi seorang penulis adalah pilihannya. Saat itu bukan hanya seni sastra yang dicintainya, tapi seni lukis juga mampu menarik perhatiannya. Namun kakek dari 11 orang cucu ini lebih spesifik dalam dunia tulis menulis.
Awal Karir
Karir yang telah dirintisnya sejak usia terbilang belia ini, mampu menunjukkan perkembangan yang baik. Pada tahun 1951, dosen pengajar mata kuliah Komunikasi Pembangunan ini, telah mampu menjadi staff redaksi Majalah Terang Bulan. Hingga akhirnya setelah 11 tahun bekerja ia diangkat menjadi pemimpin redaksi, dan kemudian mengubah nama Majalah Terang Bulan menjadi Majalah Tanah Air. Karir selanjutnya pun berjalan cemerlang. Pria yang telah berambut putih ini pun menjadi Wakil Pimred Majalah Sketsmasa, yang isinya mengarah pada politik dan sosial. Saat itu ia pun sekaligus menjadi Pimred Sketsmasa Jakarta selama 8 tahun lamanya. Walaupun ini berarti ia harus pulang pergi Jakarta-Surabaya, namun hal ini tidak lantas menyurutkan langkahnya.
Tekadnya yang gigih pun tampak pada usahanya yang berjuang untuk mempertahankan eksistensi media yang ia pimpin, yang kala itu bukanlah hal yang mudah. Banyak hal yang menjadi rintangan dan hambatan. Di antaranya karena faktor keuangan perusahaan, faktor kondisi, serta faktor dari konsumen media itu sendiri. “Banyak dari media yang dulu saya pimpin, tak lama akhirnya gulung tikar. Hal itu disebabkan karena faktor manajemen yang kurang oke, dan content dari majalah itu sendiri yang kurang berbobot,” ujar pria yang pernah menjabat sebagai Pimpinan Umum Majalah Sinar Harapan pada tahun 1971 ini.
Tekadnya memang tak pernah surut. Walau gaji wartawan saat itu tidak menjanjikan, dan belum ada pembimbing khusus yang dapat memberikan pengarahan. Saat itu wartawan hanya cenderung berkumpul bila ada sesuatu. Menurut pria yang pernah tinggal di Tegalsari ini, wartawan sekarang tidaklah sama dengan wartawan pada massanya dulu, yang rela mengorbankan miliknya demi berita. “Wartawan sekarang lebih dimudahkan dan lebih dijamin dalam fasilitas kehidupannya,” ujar suami dari RA. Hariati ini, menambahkan.
Berbagai Prestasi
Bukan hanya karirnya saja yang terbilang bagus, tapi berbgai prestasi pun berhasil ia peroleh. Salah satunya yaitu menjadi Juara II lomba penulisan mengenai sains pada radio Australia. Menjadi Dewan Pers pada tahun 1989 sebagai wartawan pancasilais, merupakan penghargaan tingkat nasionalnya pertama kali. Dan ia juga menjabat sebagai instruktur Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat pada tahun 1985 hingga sekarang. “Sekarang saya sudah tidak seaktif dulu lagi. Bila dibutuhkan PWI, saya datang ke sana. Tapi kalau tidak dipanggil, ya tidak datang,” ujar bapak kelahiran 28 Februari 1931 ini.
Buah Dari Ketekunan
Berkat keuletannya dalam menekuni dunia jurnalistik, ia pun berhasil mencetuskan sebuah pemikiran yang kreatif. Berawal dari kepedulian terhadap masa depam wartawan Indonesia, ia bersama rekan-rekannya di PWI dan SPS, sepakat untuk mendirikan sebuah sekolah komunikasi. Maka lahirlah sekolah komunikasi tertua di Indonesia Timur, Stikosa-AWS, pada tanggal 9 Februari 1964. Bersama kedua puluh empat rekannya, ia menjadi mahasiswa pertama di sekolah yang banyak melahirkan para jurnalis berprestasi ini. Ia juga menjadi pencetus berdirinya media internal kampus, Acta Surya. Sebuah media mahasiswa, yang berdiri hingga sekarang.
(Rosari)