actasurya.com – Setiap langkahnya, selalu disertai kamera. Demi mengabadikan momen apik yang dilihatnya, tak pernah dilewatkan begitu saja. Selalu berkarya dan tak pernah putus asa. Begitulah Mamuk Ismuntoro.
Tidak tanggung-tanggung prestasi di jagat fotografi tingkat internasional berhasil ia sabet. Pria alumnus Stikosa AWS ini pun berhasil mendapat Juara ll International Photo Competition (IPC) pada tahun 2009. Ia tak menyangka bisa mendapat predikat juara pada kompetisi yang diikuti 18 negara itu. Pada saat itu, memang hanya dua fotografer yang dinobatkan menjadi juara.
Sebelumnya pada tahun 1994, ia memasuki Stikosa. Itulah yang membuat pria yang akrab disapa Mas Mamuk ini mengenal dunia jurnalistik, terutama fotografi. Padahal, sebelum masuk AWS, ia tidak tahu sama sekali mengenai jurnalistik. “Ketika ospek, saya ditanyai oleh senior mengenai media-media massa yang di beredel saat itu, saya pun tidak tahu,” katanya.
Namun berkat kerja kerasnya, diiringi dengan tekad bulatnya, Ia semakin berminat menekuni dunia jurnalistik. Setahun kemudian, ia mengikuti organisasi Himmarfi ( Himpunan Mahasiswa Penggemar Fotografi ). Selain belajar mengenai cara berorganisasi, ia juga mulai menaruh minat dalam hal fotografi jurnalistik. Di Himmarfi-lah, seorang Mamuk ulet berkarya. Selain itu, ia sering mengikuti diskusi tentang foto.
Pria gondrong berkacamata itu bercerita, pada saat itu, Himmarfi memiliki mading. Namun sering kosong. Nah, di situlah Mamuk seringkali memajang hasil jepretannya. “Dulu aku motret sendiri, nyetak pakai uang sendiri, dipajang sendiri, terus juga dilihat lihat sendiri,” ujar pria yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum Himmarfi pada tahun 1996.
Bersama seorang fotografer profesional yang akrab disapa Eric Ireng, Mamuk mulai meniti karirnya. Diajak motret prosesi pernikahan, hingga berbagai acara seminar pun pernah ia lakoni. Pada saat itulah, kali pertama karya foto Mamuk dibeli.
Adapun, kamera pertama yang dibelinya bermerek Vivitar seharga Rp 500 ribu. “Yang dua ratus ribu itu nabung dari hasil kerja motret manten, seminar, terus ditambahi tiga ratus sama kakak. Karena kakak saya sangat baik kepada saya,” ungkap pria bungsu dari tujuh bersaudara.
Menjadi seorang fotografer profesional, tidak pernah terbayang sebelumnya. Mamuk dahulu bercita-cita menjadi seorang PNS. Kalaupun tidak, Mamuk memilih untuk menjadi atlet sepak bola. Tahun 1980, Mamuk pernah meraih juara pertama sepak bola. Namun semenjak memasuki masa perkuliahan, kegemarannya untuk bermain sepak bola sudah mulai berkurang.
Perjalanan kuliahnya di Stikosa sempat molor setahun. Ini karena kegigihannya mulai bergelut di dunia kerja. Menurut pengakuannya, ia pernah mengambil cuti satu tahun untuk bekerja di Radar Surabaya.
Kemudian di tahun 1999 sampai tahun 2002, pria yang pernah menjabat seksi kerohanian di Acta Surya ini bekerja di Suara Indonesia. Saat itulah ia dikirim meliput peristiwa konflik di Aceh. Saat itu pula pertama kali ia pergi ke luar Jawa.
Pada tahun 2002, ia mendapat tawaran dari kawannya Hendro D. Laksono untuk kerja di Mossaik. Karena tawaran itu, pria yang juga pernah kerja di Surabaya Pos ini memutuskan untuk bergabung. Di situlah debut fotografi Mamuk semakin dalam. Bahkan ia pernah ditugaskan meliput hingga ke Malaka dan Kuala Lumpur.
Profesionalitasnya di dunia fotografi sudah mendapat pengakuan hingga kancah internasional. Memotret terus sepanjang hidupnya. “Separuh hidup saya dipengaruhi fotografi,” tutup Mamuk. (N/F: Wawan/Dok)