actasurya.com – Ratusan perempuan pagi tadi berkumpul menyuarakan hak mereka sebagai perempuan di depan Loop Station Taman Bungkul, Surabaya, Minggu (4/3). Aksi itu mereka sebut sebagai Women’s March atau Hari Perempuan Internasional yang berangkat dari berbagai ketidakadilan yang dialami oleh mereka.
Women’s March diadakan untuk pertama kalinya di Surabaya, guna memperingati Hari Perempuan yang jatuh pada tanggal 8 Maret mendatang. Kegiatan ini diikuti oleh lebih dari sepuluh organisasi yang bergerak di bidang Hak Asasi Manusia dan kesetaraan gender. Tak hanya itu gerakan yang menyuarakan kebebasan ini diikuti pula oleh beberapa mahasiswa, organisasi serta penyandang disabilitas.
Women’s March sendiri adalah acara parade yang mengangkat isu tentang pentingnya memperhatikan hak – hak perempuan dan kaum marjinal. Gerakan ini dilakukan atas dasar ketidaksesuaian aturan yang dibuat Donald Trump. Aksi ini dilakukan pertama kali di Washington pada tahun 2017.
Saat diwawancari oleh awak Acta Surya, Poedjianti Tan selaku koordinator dari konde.co menuturkan, perlunya peran pemerintah dalam menyelesaikan kasus perempuan dan anak-anak yang masih sering terjadi. Contohnya, angka pernikahan dini di Surabaya sendiri masih banyak dialami, sehingga menimbulkan tindak pelecehan dan diskriminasi.
Acara Women’s march Surabaya sendiri bertujuan demi mendorong pemerintah untuk menghapus kekerasan berbasis gender (termasuk identitas gender dan orientasi seksual) dalam tingkat hukum dan kebijakan.
Beberapa bentuk kegiatan disusun untuk memperingati Women’s March ini. Seperti Long March dimana para peserta menyuarakan tuntutan perempuan, marjinal dan kelompok adat yang tertindas. Dengan membawakan beberapa poster yang bertulisan tentang stop kekerasan pada kaum wanita. Acara dilanjutkan musikalisasi puisi oleh Teater Gapus UNAIR.
Di aksi ini juga ada delapan tuntutan utama yang ingin mereka suarakan pada tahun ini. Salah satunya tuntutan DPR untuk menghapus hukum dan kebijakan diskriminasi yang melanggengkan kekerasan terhadap perempuan, anak dan kaum difabel dalam RKHUP (Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Serta menjamin dan menyediakan akses keadilan dan pemulihan bagi korban pelecehan seksual.
“Ya aku pun juga pernah ngalami pelecehan, contohnya kayak berdempetan dengan laki-laki saat di organisasi dan disitu aku diperlakukan yang tidak senonoh sih, jadi agak risih juga aku sebagai cewek,” tutur Andina dari Kelompok Studi Gender dan Kesehatan (KSGK Ubaya).
Kegiatan ini juga dilakukan secara serentak di 13 daerah di Indonesia. Di penghujung wawancara, Puji, berharap besar dengan adanya acara ini dapat membangun kesadaran masyarakan dalam menyuarakan hak-hak mereka. “Kita tidak bisa mengharapkan pemerintah, tetapi kita bisa mengharapkan masyarakat untuk gerak bersama dan lawan bersama. Harus kompak dan berani bersuara, tutupnya. (N/F : Alfa,Sasa)