actasurya.com – Lahir dengan keterbatasan berkomunikasi, penyandang disabilitas sering mendapat perlakuan yang berbeda. Bahkan kerap kali dianggap sebelah mata oleh masyarakat luas. Salah satunya penyandang Tuli yang kurang mendapatkan haknya.
KARTU, singkatan dari Komunitas Arek Tuli Surabaya. Komunitas ini ada sebagai wadah bagi penyandang Tuli, serta memberikan ruang untuk kaum disabilitas agar dapat berinteraksi dengan sesama penyandang Tuli dan masyarakat luas.
Bunga Islami, yang juga penyandang Tuli merupakan penggagas terbentuknya komunitas ini, sekaligus menjabat sebagai ketua hingga sekarang. KARTU berdiri pada tanggal 23 oktober 2016. Awal terbentuknya sendiri agar penyandang Tuli lebih memahami bahasa isyarat dan bisa diterapkan di masyarakat luas.
Komunitas ini juga mengadakan kegiatan rutin, diantaranya belajar bahasa isyarat dan sosialisasi BISINDO (Bahasa Isyarat Indonesia). Kegiatan ini tidak hanya diikuti penyandang tuli saja namun juga untuk khalayak umum. Tepatnya setiap hari minggu mereka adakan kegiatan di Car Free Day (CFD) Taman Bungkul.

“Sosialisasi BISINDO merupakan kegiatan membantu anak-anak tuli yang sedang proses pengembangan diri dan memberikan ilmu ke masyarakat agar dapat menumbuhkan komunikasi yang baik dengan anak tuli melalui Bahasa isyarat,”tulis Ardisa Faras Dewi selaku Humas lewat selembar kertas.
Pada tanggal 22 oktober 2017, KARTU mengadakan seminar Nasional yang bertema “Anak Tuliku, I Love You” acara ini digelar dalam rangka HUT pertama komunitas Tuli Surabaya. Kegiatan ini ditujukan untuk orang tua yang memiliki buah hati penyandang tuli agar bisa saling berkomunikasi tanpa ada hambatan
Jumlah anggota saat awal berdirinya KARTU hanya 10 orang dan kini sudah mencapai 30 orang. Tak semua anggota dalam komunitas ini sebagai penyandang Tuli beberapa relawan juga bergabung. Kendala awal yang dialami antara anggota dan relawan adalah komunikasi yang belum paham dengan bahasa isyarat.
“saya ikut komunitas ini untuk meneliti tentang bahasa isyarat dan pingin dapat metode pengajaran bahasa inggris untuk mereka,” ujar Syafitri Handayani relawan yang gabung sejak awal komunitas ini dibentuk.
Banyak harapan yang ditulis Ardisa lewat selembar kertas. Diantaranya harapan untuk mengembangkan bahasa isyarat agar dipahami penyandang Tuli serta masyarakat.
“Semoga banyak relawan baru agar bisa membantu belajar bahasa isyarat, mengembangkan bahasa isyarat dan mewujudkan ruang yang inklusif bagi anak tuli,” tutupnya mengakhiri wawancara melalui selembar kertas. (N/F: Agathon)