Salah satu program Komunitas Serbuk Kayu, menggelar pameran yang bertajuk Mekanisme Respon dan Sistem Ketahanan Desa.
Actasurya.com – Membentuk suatu komunitas dapat menjadi wadah tersendiri untuk sekelompok orang yang mempunyai kegemaran yang sama dalam suatu bidang. Salah satunya adalah Dwiki Nugroho Mukti, beserta kelima kawan lainnya dari Universitas Negeri Surabaya (UNESA) yaitu Dwi Januartanto, Dyan Condro, Indra Prayhogi, RM Mahendra Pradipta, dan Zalfa Robby yang mendirikan komunitas Serbuk Kayu.
Nama Serbuk Kayu dipilih karena mempunyai filosofi yang baik. Berarti jika berhamburan akan melukai, namun jika disatukan dapat memberi manfaat besar bagi masyarakat. Komunitas ini terbentuk dari gabungan seni yang awalnya, dari respon beberapa mahasiswa seni rupa, terhadap isu masyarakat mengenai kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) pada tahun 2011. Hal itu membuat mereka melakukan suatu aksi dan kini telah merambah ke bidang seni lainnya seperti seni sastra, musik, teater dan lainnya.
Dalam kegiatannya, komunitas yang sudah ada sejak delapan tahun lalu ini, kerap mengadakan proyek berbeda melalui riset pasar peminat seni yang akan dijadikan pameran. Hal tersebut dilakukan untuk melihat target pasar, seperti apa karya yang paling diminati, atau yang sama sekali belum mendapat minat.
“Seperti, kita akan minta beberapa karya dari berbagai mahasiswi seni UNESA untuk dipamerkan di hotel. Tapi tak berhenti disitu saja, rencana itu akan berjalan dari hotel satu ke hotel lainnya,” urai Dwiki sapaan akrabnya.
Komunitas Serbuk Kayu ini hanya mempunyai basecamp di Sandiolo Space di kawasan Wisma Lidah Kulon, Surabaya. Meskipun hanya ada di Surabaya tapi mereka juga sering mengadakan kegiatan di luar kota. Kegiatan yang mereka lakukan berupa diskusi, pameran, pembuatan buku, dan residensi.
Kini anggota dari Serbuk Kayu ada 40 orang dan yang aktif hanya sekitar belasan orang. Meski demikian, komunitas ini sering membuat proyek pameran. Setiap anggota memiliki karya masing-masing pada bidang yang mereka kuasai. Selain itu, ada juga karya kelompok. Salah satunya ketika mereka mengambil lima titik pasar di Surabaya yang mereka lakukan berdasar riset pasar.
“Di pasar itu, kita ambil lima titik pasar di Surabaya. Sebelum kita ambil lima pasar kita sudah membayangkan titik imajiner, tentang bintang terbalik gitu. Oh ternyata kita dapet lokasi disini, kemudian kita kesana mengambil foto kolase. Untuk mereproduksi karya-karya fiktif, membicarakan pasar di Surabaya seperti itu,” jelasnya
Dwiki berpendapat bahwa seni bisa digunakan sebagai alat apapun, termasuk untuk membicarakan isu masyarakat
“Seni adalah sesuatu yang dapat dipelajari, bukan bakat atau apapun, dan orang-orang yang mau belajar mengasah kreativitasnya dalam dunia seni tentu bisa juga suatu saat memperoleh peruntungan dari karyanya tersebut,” ujarnya.
Sebagai pendiri, Dwi mengatakan bahwa tidak ada profit dari kegiatan yang mereka selenggarakan. Bahkan untuk biaya operasional proyek, mereka harus menarik subsidi dari anggota komunitas dan pihak yang mau bekerja sama. Namun hal tersebut, tidak melunturkan semangat dalam berkarya dan mempererat tali kekeluargaan antar anggota.
Seperti yang dirasakan oleh Toriq Fahmi, anggota Serbuk Kayu yang telah mengikuti komunitas ini selama 7 tahun.
“Alasan masuk ke Komunitas ini ya karena nyaman, berawal dari pertemanan dan akhirnya ikut gabung dengan komunitas ini,” ceritanya.
Selanjutnya mereka akan menggarap suatu proyek pemetaan pasar mengenai paradigma banyaknya kolektor dan peminat. Namun ternyata banyak seniman yang struggling dengan hal tersebut. Mereka juga kesulitan dalam mendistribusikan karyanya dipasaran. Hal ini yang akan dijadikan, bahan untuk dikaji berikutnya oleh para seniman muda di komunitas tersebut. (N/F: Mgg/Dok. Pribadi)