Begitu sangat sederhana, hanya sebuah kerupuk yang dipadukan dengan daun dan bumbu saja, sudah menjadi simbol kuliner suatu kota. Jika kamu warga Surabaya, pasti tak asing lagi dengan semanggi.
Pada dasarnya, semanggi merupakan nama dedaunan yang sering ditemui di pematang sawah atau di tepi saluran irigasi. Akan tetapi, di tangan masyarakat Surabaya, daun ini bisa dijadikan sebuah santapan yang bersahabat di lidah.
“Semanggi biasanya disajikan dengan kecambah, kerupuk puli, dan bumbu. Tapi kalau kerupuknya sih terserah, bisa kerupuk lain.” ujar Slamet yang merupakan suami dari penjual semanggi Mak Haji. Namun, pria berkumis ini menambahkan, jika Semanggi asli Surabaya biasanya disajikan dengan kerupuk puli.
Bumbu kuliner ini, terdiri dari beberapa bahan diantaranya ketela, kacang, bawang putih, gula jawa, gula pasir dan garam. Untuk tingkat kepedasannya, para pembeli semanggi Mak Haji bisa menentukan sendiri masing-masing seleranya.
Untuk kamu yang memilih semanggi sebagai santapan di pagi hari, tak ada salahnya menambahkan makanan ini dengan beberapa potong lontong, sebagai pengganti nasi. Meskipun ada bahan yang ditambahkan, hal itu tak akan mengurangi cita rasa dari semanggi.
Semanggi Mak Haji telah ada sejak tahun 1971. Pada saat itu, generasi sebelumnya yang menjual semanggi tuk pertama kalinya. Semanggi Mak Haji dapat dijumpai di sekitar masjid Al-Akbar tiap hari Sabtu-Minggu, dan di sekitar Gedung Jawa Pos untuk hari-hari biasa.
Bagi sebagian besar orang, semanggi merupakan salah satu makanan khas Kota Surabaya. Begitu pula dengan Heri, salah satu pelanggan semanggi Mak Haji yang selalu memburu makanan itu secepat mungkin.
“Semanggi ini ciri khas orang Surabaya. Dan Semanggi Mak Haji beda dari yang lain. Pedasnya cocok di lidah,” jawab Heri ketika ditanya mengapa memilih semanggi daripada makanan lainnya.
Tak selamanya jalan itu selalu datar, begitulah bisnis semanggi Mak Haji yang tak berjalan mulus setiap saat. Terkadang jika daun semanggi yang mereka pesan terlambat datang, mau tak mau mereka pun harus menunda aktifitas jualan mereka. “Biasanya pada waktu banjir itu panen daunnya telat, jadi ya harus libur dulu jualannya,” ungkap Slamet.
Naskah dan foto: Amalia Irawati