actasurya.com – Kota Pahlawan, sebutan yang dikenal luas oleh masyarakat Indonesia untuk Surabaya. Banyak memori sejarah yang terurai dan tersimpan didalamnya. Salah satunya adalah rumah kelahiran Prof. Dr. (HC). H. Roeslan Abdulgani yang ada di Surabaya. Cak Roes, panggilan akrabnya, merupakan salah satu negarawan dan politikus Indonesia tahun 1956-1957.
Konstruksi lawas bergaya kolonial Belanda, nampak jelas saat kita melihat dari depan bangunan ini. Rumah bersejarah itu memiliki sentuhan arsitektur jaman dahulu, dengan pintu kayu jati kuno dan didominasi warna cokelat tua. Plat logam berwarna kuning keemasan penanda sebagai Rumah Cagar Budaya telah menempel di dinding depan rumah ini. Terdapat pula batu marmer berukir tulisan “Rumah Kelahiran Cak Roeslan Abdulgani 24 Nopember 1914”.
Ketika langkah kaki mulai memasuki ruang tengah, kita akan disambut dengan alunan lagu keroncong lirih berlirik syahdu. Tak ketinggalan, beragam koleksi potret sang politikus terpampang apik di setiap dinding rumah. Dan lantai yang masih bercorak lawas pula, seakan membawa pengunjung kembali ke masa kolonial Belanda.
Terdapat tiga ruang tamu tanpa sekat di bangunan ini, disetiap ruangannya punya peranan masing-masing. Untuk ruang tamu bagian kiri dan tengah, sering digunakan untuk rapat warga sekitar. Dan bagian kanan, digunakan untuk pertemuan para pejabat dan orang bangsawan. Ruang bagian kanan inilah, yang sering dipakai untuk rapat oleh Cak Roes dengan presiden dan para pejabat menteri saat itu.
Pada bangunan ini, tampak perabotan jaman Belanda kuno yang tertata apik dengan tatanan rapi pula. Terdapat beberapa kursi dan meja, yang hampir semuanya adalah peninggalan mendiang Cak Roes dan keluarga. Di sudut kiri, berdiri kokoh kursi yang ada sejak Cak Roes belum lahir, yang sampai saat ini masih kuat menopang beban.
Rumah tua yang berdiri sejak 1816 ini, telah disahkan sebagai salah satu cagar budaya oleh Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini pada tahun 2015. Kini, rumah kelahiran Cak Roes tersebut dijadikan sebagai warung kenang sejarah, bernama Warung Omah Sejarah Soerabaya. Tempat yang sering disingkat WOSS itu berlokasi di jalan Achmad Jais Masjid No. 34-36, Plampitan VIII, Peneleh, Surabaya.
Walaupun sudah menjadi Bangunan Cagar Budaya (BCB), Djarot Indraedhi, selaku cucu menantu dari Cak Roes mengaku bangunan yang direnovasi pada tahun 1958 ini perlu banyak budget untuk merawatnya. Meski begitu, dirinya mengatakan walaupun ada perawatan berkali-kali, dirinya tak sedikit pun mengubah aksen lawas bangunan ini.
Menurut penuturuan Djarot, ia mendapatkan amanah merawat rumah tersebut dari Roeslan sendiri. Mendiang Cak Roes berpesan agar rumah itu nantinya difungsikan sebagai tempat berkumpulnya masyarakat dan kegiatan bermanfaat lainnya. Amanah tersebut disampaikan sang politikus, sebelum tutup usia ditahun 2005 silam.
Awalnya, Djarot hanya membuka rumah tersebut sebagai tempat berkumpul biasa. Yang sering dikunjungi oleh masyarakat dan pelajar dari Surabaya maupun luar Surabaya. Namun, saat pengunjung meminta bahkan ada yang membeli makan, terbesit di pikiran pria bertubuh gemuk tersebut untuk menyediakan menu makanan. Kini, meskipun WOSS difungsikan sebagai warung, tetapi Djarot tetap memegang teguh penggunaan aslinya sebagai wadah menambah edukasi sejarah.
Dengan kesan familiar, WOSS ini mengusung suasana layaknya rumah sendiri. Jadi para pengunjung yang datang, tidak merasa seperti datang ke tempat makan, namun seperti bertamu di rumah sendiri. Pengunjung juga bisa membaca buku karya Cak Roes yang tersedia di sana. Terdapat berbagai macam buku buah karya alm. Ruslan, misalnya buku Asia Tenggara di Tengah Raksasa Dunia (Jakarta: Lembaga Studi Pembangunan, 1978), Sosialisme Indonesia (Jajasan Prapantja, 1964), 100 Hari di Surabaya, dan masih banyak lagi.
“Disini sering sekali dipakai tempat kumpul mahasiswa, mbak. Biasanya kalau mau kumpul telepon ke saya dulu. Satu ruangan ini biasanya penuh sekitar 40 anak kerja kelompok,” jelas Djarot. Dirinya juga mengatakan, WOSS sering digunakan sebagai tempat kunjungan rutin dari sekolah- sekolah. Seperti Sekolah Alam Insan Mulia Surabaya (SAIMS) yang setiap satu bulan sekali mendatangkan muridnya, untuk mengenal sejarah Surabaya.
Saking banyaknya pengunjung yang datang ke Warung Omah Sejarah ini, di depan warung yang berhadapan dengan Masjid Plampitan ini dibangunkan sebuah terop. Di bawah terop itu kemudian diisi beberapa kursi dan meja untuk para pengunjung yang datang. Serupa dengan tempat nongkrong, WOSS juga menyediakan berbagai macam kudapan. Pengunjung bisa memesan kopi, teh, susu, tahu petis, roti maryam, gorengan, roti isi, jajanan dan masih banyak lagi varian menu makanan dan minuman lainnya.
Fauzan, salah satu pengujung WOSS yang sering bertandang ke rumah warung ini, mengaku nyaman berlama-lama disini. “Saya wes sering, mbak, main kesini. Paling suka ya kalau nongkrong di depan. Adem, terus bisa lama ngobrol sama teman-teman,” cakapnya.
Saat memesan makanan atau minuman, pelayanannya disetting sedikit lama, bukan karena kekurangan pegawai namun ada maksud di baliknya. “Kalau di sini sengaja kalau pesan makanan dilama-lamain, mbak. Ya biar pengunjungnya bisa mengkhayati suasana rumahnya,” ungkap Djarot. Biasanya, beberapa pengunjung langganan di sana sudah tahu kebiasaan tersebut.
Jika ingin mengunjungi tempat bersejarah ini, Warung Omah Sejarah Soerabaya buka setiap Senin sampai Sabtu, mulai pukul 20.00 – 24.00 WIB. Khusus untuk hari Sabtu, ada live music keroncong yang dimeriahkan oleh warga sekitar. (N/F : Sasa)