Hanya debu-debu tebal menempel di lantai, sampah berserakan, dan daun-daun kering berjatuhan, mengurangi keindahan bangunan cagar budaya yang terletak dikawasan Surabaya Pusat itu.
Langit sore tampak cerah hari itu. Semakin menambah teduhnya Kota Pahlawan, yang semula diselimuti hawa panas karena sengatan matahari. Terlihat pagar terbuka, seolah-olah mempersilahkan orang yang melintas di depannya untuk masuk ke dalam.
Ketika melangkahkan kaki ke dalamnya, rasa kagum dan bangga muncul dengan sendirinya. Tegap, tatapan penuh harapan, tangan kanan diangkat rendah, serta tangan kiri membawa gulungan kertas, begitulah patung pahlawan Dr. R. Soetomo yang dikenal dengan monumen Pak Tom itu berdiri kokoh di pelataran Gedung Nasional Indonesia, Bubutan Kulon, Surabaya.
Patung yang khusus dibuat oleh A.J.B Bumi Putera tersebut, memang sengaja dibentuk dengan model seperti itu dengan filosofi kobaran semangat Pak Tom untuk Indonesia, “Bangkitlah bangsaku untuk kemajuan pendidikan Indonesia”.
Banyak kisah yang dituai oleh patung tiruan Pak Tom itu. Keberadaannya yang persis berada di depan Gedung Nasional Indonesia tersebut, mengingatkan bagi siapapun yang melihatnya, akan perjuangan Pak Tom dan pemuda-pemudi Surabaya ketika berperan merebut kemerdekaan Indonesia 79 tahun silam.
Selain monumen, di gedung tersebut juga terdapat pendopo dan dua paviliun yang sarat menyimpan sejarah.
Saksi Bisu Perjuangan Warga Surabaya
Berawal dari keresahan penduduk Surabaya yang mengalami kesulitan acap kali mengadakan rapat untuk membela nasib kaum pribumi yang terjajah di berbagai daerah Indonesia. Rapat-rapat pun disepakati dilaksanakan di gedung-gedung bioskop yang disewa dengan uang iuran warga. Sayangnya, rapat-rapat umum tersebut tidak berjalan mulus dikarenakan tekanan dari Belanda yang kala itu menduduki Indonesia.
Pada 1930, Dr. R. Soetomo bersama teman-teman seperjuangan dari Indonesise Studieclub, diantaranya R.P. Soenario Gondokoesoemo, R.M.H Soejono, R. Soenjoto dan Achmad Djais, berusaha mendirikan gedung-gedung kebangsaan di banyak tempat. Gunanya agar dapat lebih leluasa melakukan rapat, pertunjukan, resepsi, olahraga, dan pekerjaan sosial-politik.
Dalam proses pembangunannya, para pendiri menyumbangkan dana sejumlah f. 10.000 sebagai modalnya. Kemudian mereka mengadakan pasar derma nasional di Kranggan yang konon berlangsung sukses. Bahkan saat pembukaan, Dr. R. Soetomo menerima cek senilai f. 30.000 dari seorang dokter yang tak mau disebutkan namanya.
Sumbangan lain yang terkumpul diterima dari berbagai lapisan masyarakat diseluruh penjuru bangsa. Diantaranya berupa alat-alat kerja, batu merah, kapur, semen, pasir dan lain-lain. Disamping itu, yang menakjubkan banyak anak-anak kecil yang rela memberikan celengannya untuk pembangunan tersebut.
Selanjutnya sebagai wujud pelaksanaan hajat itu. Pada 21 Juni 1930 dihadapan notaris H.W Hasebnberg, Surabaya, didirikan suatu stichting (Yayasan) dengan nama Stichting Gedung Nasional Indonesia, yang sekarang lebih akrab ditelinga masyarakat dengan sebutan G.N.I.
Dalam peresmiannya sendiri, terlihat antusias dari masyarakat Surabaya kala itu. Itupun dibuktikan dari peletakan batu pertama, pada 13 Juli 1930 di pagar G.N.I yang dipasang oleh kaum istri Indonesia. Yang kemudian diabadikan dengan marmer putih atas nama Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia pada 13 Desember 1930.
Dari pembangunannya, G.N.I. menghadirkan buah nyata. 1-3 Januari 1983 berlangsung Kongres Indonesia Raya I yang dilaksanakan di tempat itu. Terkumpul semangat kebangsaan dan persatuan dalam pertemuan yang juga bertujuan menyambut Bung Karno. Saat itu, mantan presiden pertama Indonesia tersebut baru saja kembali dari pertapaannya di penjara Sukamiskin pada akhir Desember 1931.
Lagi-lagi, usaha warga Surabaya untuk memperjuangkan nasib bangsa Indonesia macet. Pergerakan rakyat tersebut dikecam pihak penjajah. Karena, perkumpulan-perkumpulan yang dilakukan saat itu kental akan politik. Akhirnya di tahun 1942 sampai 1945, G.N.I terpaksa diubah menjadi gedung pertemuan biasa dan kesenian saja.
Untuk menyiasati agar warga tidak merasa jenuh dan penat karena memikirkan masalah yang dihadapi Indonesia saat itu, pengurus-pengurus G.N.I pun mengurangi beban masyarakat dengan memfungsikan pendopo G.N.I sebagai lahan pertunjukkan ludruk dari Tjak Durasim, yang penuh akan nilai-nilai semangat perjuangan nasional. Meskipun, semula bangunan yang berdiri kokoh dengan empat tiang besar di tengah pendopo yang diberi nama Panca Sudro itu, hanya dikhususkan sebagai pusat pergerakan rakyat yang memperbincangkan perkembangan politik dan sosial di masa itu.
Setelah proklamasi, tepatnya 29 November 1945, G.N.I pun berpindah fungsional menjadi pusat darurat dari BKR (Badan Keamanan Rakyat). Hal itu dilatarbelakangi adanya pertempuran sengit antara penduduk pribumi dan penjajah, yang menyebabkan tewasnya satu Letnan Inggris dan 40 Gurka. Pada pertempuran tersebut, pendopo mengalami kerusakan parah terkena mortir, begitu pula paviliun selatan hingga berlubang.
Selain pendopo dan dua paviliun di kanan-kiri pendopo, adapun fasilitas Bank yang disediakan di G.N.I. Akan tetapi, akibat tragedi pertempuran 29 November 1945 itu, G.N.I tidak terurus. Bahkan kluis Bank Nasional berupa perhiasan, uang, dan berkas-berkas dijarah oleh Belanda.
Februari hingga September 1949, G.N.I kembali dihidupkan lagi dengan kepengurusan baru. Dengan pengurus baru tersebut, pendopo disepakati bersama sebagai balai pertemuan umum yang diprioritaskan sebagai untuk persidangan dan pertunjukkan seni seperti ludruk dan wayang.
Wajah G.N.I Saat Ini
Layaknya sebuah nama, bangunan bersejarah yang beralamat lengkap di Bubutan, Surabaya Utara juga butuh adanya pengakuan atas eksistensinya sebagai saksi atas semangat nasionalis pemuda-pemudi Surabaya untuk merebut kemerdekaan. (Naskah: Subagus Indra/Tri Amalya. Foto: Subagus)