actasurya.com– The science fiction genre has given fans beloved character, high-concept worlds…and some arguably simple plots-comicbook.
Interstellar menggambarkan bagaimana bentuk dan ruang dari Black Hole yang berputar di luar angkasa. Beberapa ilmuwan bahkan akhirnya menemukan bahwa cahaya di balik lubang hitam itu dibelokkan oleh gravitasi dan membentuk efek halo berkat kemunculan film itu. Film Interstellar mendapat banyak pujian akan visual efek yang mereka tampilkan.
Lalu ada The Martian yang memberikan pelajaran banyak tentang kehidupan. Bahwa begitu berharganya Bumi yang kita tinggali. Tentang Mars yang selama ini digadang-gadang banyak ilmuwan sebagai planet yang bisa menggantikan Bumi, ternyata bahkan air dan kondisi udara di sana tidak bisa memberi kehidupan pada si Mark Watney (Matt Damon), yang akhirnya dalam ceritanya berhasil dibawa pulang dalam kondisi kurus kering.
Kemudian ada film 2001: Space Odyssey yang menurut Alan Duffy, seorang Astrofisikawan, memberikan perhitungan hukum fisika yang akurat. “Hukum fisikanya dipraktekkan dengan luar biasa. Film tersebut mengenal dasar (fisika) dengan sangat baik dan cara kerja roketnya hanyalah masalah-masalah fisika seperti penggunaan momentum,” ucapnya dilansir dari Kompas.com
Hal-hal (pengetahuan) seperti itulah yang diberikan oleh film ber-genre fiksi ilmiah, selain –tentu saja- ide cerita dan unsur-unsur dramatisasi di dalamnya. Tapi mengapa pada pagelaran Oscar film-film dengan genre fiksi Ilmiah atau Science fiction (Sci-fi) jarang medapat best picture dari para juri?
Menurut okezone.com, film Sci-fi seperti The Avenger, Batman, dan lainnya tidak masuk dalam nominasi kerena beberapa syarat yang belum mereka penuhi, di antaranya: durasi film. Durasi film yang disyaratkan dalam Oscar minimal 40 menit. Selain durasi, film tersebut harus diputar di Los Angeles selama seminggu, tidak tayang di non-bioskop bagi film asing, serta visual dan audio format resolusi proyektornya minimal 2048 dari 1080 pixel.
Makalah berjudul Piala Oscar: Kriteria Khusus yang Diperlukan untuk Mencapai Kemenangan oleh Muhammad Asep Yudistira dkk, memaparkan bahwa film yang berhasil memenangkan Oscar dipengaruhi oleh beberapa faktor utama, salah satunya adalah tema yang emosional, seperti perbudakan rasial dan krisis usia paruh baya. Lalu ada juga faktor pengembangan karakter yang sangat realistis dan konflik yang menegangkan.
Dari beberapa alasan yang dikemukakan itu, film genre Sci-fi masih tertatih-tatih memenuhi persyaratan.
Oscar yang Lebih Sosialis
Film fiksi ilmiah memang pernah beberapa kali menjadi nominasi, seperti Star Wars: The Empire Strikes Back (1980), tetapi pada Oscar yang diadakan pada 1981 film ini dikalahkan oleh Ordinary People.
Sepertinya Academy Award tetap ingin mempertahankan film-film kesukaan mereka. Film yg memenangkan Oscar 5 tahun terakhir ini, semuanya adalah drama tentang kehidupan sosial. Sebut saja Argo yang memenangkan piala Oscar tahun 2013, bercerita tentang pembebasan beberapa orang duta Amerika Serikat dari Iran.
Argo diangkat dari buku The Master of Disguise karya Antonio “Tony” J. Mendez dan buku The Great Escape karya Joshuah Bearman, yang ditulis berdasarkan kisah nyata.
Tahun 2016, ada Moonlight, garapan Barry Jenkins yang bercerita tentang kehidupan bocah berkulit hitam yang gay. Film yang dikemas dengan gaya dokumenter ini menggambarkan dengan jelas kehidupan Chiron dari kecil hingga dewasa, yang kemudian menjadikannya gay.
Dikutip dari beritagar.id, menurut Stephen Galloway dari Hollywood Reporter, film ini menampilkan pesan yang jelas. “Dunia ini lebih kaya, dalam, dan kompleks dari yang pernah kita bayangkan. Bahkan, karakter yang paling bermasalah seperti kita pun hanya mencari kasih sayang.”
Selama ini, film bertema sosial memang lebih memikat para juri ketimbang fiksi ilmiah atau fantasi. Padahal dilihat dari ketenarannya, tentu saja Sci-fi lebih menjuarai. Terbukti dari Box office Mojo yang merangkum film dengan pendapatan paling besar sepanjang 2017. Urutan pertamanya adalah Star Wars: The Last Jedi dengan penghasilan sebesar $ 619, 194.
The Shape Of Water Membuka Peluang Sci-Fi
The Shape Of Water akhirnya menang piala Oscar, begitu berita yang tersebar di media-media beberapa hari ini. Hadir dengan cerita mengenai kisah cinta antara Elisa (Sally Hawkins), si perempuan bisu dengan mahluk mirip manusia setengah ikan yang berlatar Baltimore tahun 1960-an, film ini berhasil menggaet piala Oscar tahun 2018 ini. Kali ini bukan hanya filmnya yang juara. Sutradaranya, Guillermo del Toro, juga terpilih menjadi surtradara terbaik.
The Shape Of Water disebut-sebut sebagai film dengan genre fiksi ilmiah pertama yang berhasil menjadi yang terbaik sepanjang pagelaran Oscar. Film dengan genre-nya yang sempat membingungkan karena fiksi ilmiahnya dipadu dengan unsur horor dan erotis romantic ini berhasil menyumbangkan 13 nominasi.
Kemenangan ini setidaknya menutup ketidakhadiran genre Sci-Fi sebagai pemenang di sepanjang pagelaran piala Oscar.
“Saya ingin mempersembahkan ini pada para pembuat film muda; pemuda yang menunjukkan [kita] cara melakukan segala sesuatu,” kata Del Toro saat menerima piala Oscar untuk The Shape of Water.
(N/F : Ebi/Google)