Actasurya.com – Ratusan ribu masyarakat Kota Pahlawan hulu-hilir mengitari sepanjang Jalan Tunjungan Surabaya. Ketika masuk dari arah utara, tepat di depan Siola, pengunjung akan disambut gapura ikonik bertuliskan ‘Mlaku-mlaku Nang Tunjungan’.
Pengunjung yang datang pun dari berbagai lapisan elemen masyarakat, dari anak kecil hingga masyarakat dewasa turut tumpah ruah memeriahkan agenda bulanan dari Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya ini.
Tak luput, pengunjung langsung berfoto di area photo booth yang sudah tersedia di sekitar acara. Tak jarang jua, dengan percaya diri pengunjung juga ber-selfie ria di depan gapura ‘Mlaku-mlalu Nang Tunjungan’, baik dengan pasangan, teman hingga keluarga.
Di tengah-tengah, pengunjung dikejutkan dengan sekelompok manusia yang berdiri sejajar menyerupai patung pejuang dengan dandanan warna putih di sekujur tubuh dan membawa tongkat bambu runcing. Keberadaan patung ini lantas menyita perhatian ratusan ribu pasang mata yang melewati area tersebut.
Lagi-lagi, dengan tertawa ria pengunjung pun berfoto dengan pose yang nyentrik. Tak hanya berfoto bersama, sesekali pengunjung mencoba memegang, mencolek bahkan mengajak ngobrol patung yang terdiri dari sekelompok pemuda itu.
Namun si patung tak menggubris sedikit pun, ia tetap konsisten berdiri tegap ketika pengunjung mencoba berkomunikasi dengan dirinya. “Eh, ini manusia, pek”, “jangan jawil-jawil, nanti dipentung”, “sombong, cak, haha”, begitulah celetukan yang terdengar dari pengunjung yang sedang menggoda si patung.
“Jadi acara patung ini diminta dari Disparta (Dinas Pariwisata). Nah, kita di sini cuma mencari talent. Kami ini cuma membuat konsep dan temanya. Kali ini temanya perjuangan,” ucap Rizki Puspita Mayasari, selaku koordinator Komunitas Pegiat Kebangsaan Surabaya, Sabtu (6/10).
Rizki mengaku ini baru pertama kali komunitasnya berpartisipasi di Mlaku-mlaku Nang Tunjungan. Terhitung, patung manusia ini berdiri dari sekitar jam 5 sore hingga 9 malam.
Remaja lulusan Universitas Negeri Surabaya (Unesa) tersebut berharap, di pra ulang tahun Jawa Timur (Jatim) yang ke-73, dirinya ingin Jatim bisa berbenah lebih baik lagi dan menambah fasilitas-fasilitas untuk masyarakat.
“Mungkin buat Pemda Kota/Kabupaten lebih memperhatikan tempat bersejarah di Jatim. Seperti tempat sejarah yang dirobohkan. Baru-baru ini lagi booming di kalangan pegiat sejarah itu penggantian nama Jalan Mastrip jadi Gunungsari. Jadi kami harapkan kepada pemerintah selain perkembangan wisata, setidaknya harus menjaga dan merawat tempat sejarah,” harapnya.
Sedangkan Nina Kurnia, salah satu pemudi yang menjadi patung, mengungkapkan rasa capek dan senangnya ketika menjadi patung di tengah-tengah pengunjung.
“Rasanya jadi patung capek tapi juga ada kangennya. Terakhir matung itu dua tahun yang lalu soalnya. Jadi ada senengnya dan ada capeknya. Senengnya itu, kalau ada orang yang antusias foto. Kalau menurut saya setidaknya masih ada kepedulian dari mereka terhadap para pejuang, saya mengapresiasi warga Surabaya,” ungkap Nina.
Setiap komunitas ini matung, mereka selalu menyelipkan simbol dan makna yang terkandung dari setiap dandanan yang mereka kenakan. Dan pada malam itu dirinya memakai tema Dewi Keadilan. “Dewi Keadilan simbolnya mata tertutup, jadi dia bisa nentuin secara adil. Kalau matanya terbuka, kan, dia bisa memilih secara subjektif. Seperti itu,” pungkas mahasiswi Unesa semester 7 ini.
Di sepanjang jalan, terdengar merdu lantunan lirik lagu ‘Rek, ayo, rek. Mlaku-mlaku nang Tunjungan’ ciptaan Is Haryanto. Diputarkannya lagu tersebut, seakan pengunjung diajak nostalgia dengan kawasan pusat perdagangan di era zaman kolononial.
Jika dilihat dari catatan sejarah, pada tahun 70-an, Jalan Tunjungan Surabaya memang menjadi pusat lumbung perdagangan masyarakat Kota Pahlawan. Lantas kini, pemerintah mencoba menciptakan atmosfer itu lagi dengan memvariasikan konsep dagang di era millenial.
Tunjungan sendiri adalah jalan yang menghubungkan daerah perumahan di sebelah selatan-timur dan barat Surabaya (Gubeng, Darmo, Ketabang dan Sawahan) dengan daerah perdagangan yang ada di sekitar Jembatan Merah.
Pada 1930-an didirikan komplek pertokoan utama di Surabaya, dengan gaya arsitektur modern. Letak komplek itu ada di persimpangan Jalan Tunjungan dan Jalan Embong Malang, yakni Toko Nam. Bangunan tersebut menduduki lahan bekas toko penjual mobil, namun gedung toko ini telah diruntuhkan sekitar 1990-an, dan kini berubah menjadi pertokoan modern, Plaza Tunjungan.
Aroma wewangian rempah-rempah khas Nusantara menyeruak di antara kerumunan pengunjung yang datang. Terdapat pula ratusan booth dari ekonomi kreatif (ekraf) Pahlawan Ekonomi, Dekranasda, UKM Dinas Koperasi, UKM Dolly, UKM Dinas Perdagangan, serta hotel dan restoran yang menyediakan food and beverage, kian menghiasi sepanjang Jalan Tunjungan.
Selain sajian hidangan kuliner dan beragam aksesoris, pengunjung juga dimanjakan dengan panggung hiburan yang tepat berdiri di depan pertigaan Jalan Genteng dan Tunjungan. Di panggung tersebut para artis lokal menampilkan berbagai ajang seni, mulai musik tradisional, tari-tarian hingga musik modern.
Tampak pengunjung pun amat antusias memadati setiap stan kuliner dan ekraf yang ada di dalam acara ini. Mereka bahkan rela mengantre panjang, berdesak-desakan hanya untuk menunggu sajian jajanan yang telah mereka pesan.
Menu kuliner yang tersedia memang menggugah selera. Sebut saja lontong kikil, Nasi Bebek Songkem, Gado-gado Arjuna, gado-gado bumbu hitam, lontong balap, sate klopo dan lain-lain. Selain jajanan, pengunjung juga bisa membeli oleh-oleh buat sanak saudara di rumah dengan sejumlah kerajinan menarik karya pelaku UKM, mulai dari baju, sepatu, batik, tas, hinga aneka cenderamata lainnya.
“Alhamdulillah tadi banyak yang laku. Ini tadi saya nyoba untu membuat aksoris baru zipper atau resleting, kok tadi Alhamdulillah banyak peminatnya,” ujar Noerhaini, salah satu pegiat ekraf dengan produk kreasi zipper resleting.
UKM yang setiap harinya hanya berjualan di daring internet ini mengaku dapat keuntungan yang signifikan. “Ini tadi sehari Alhamdulillah sudah mendapatkan Rp 400 ribuan lebih. Saya itu jarang mendapatkan keuntungan seperti ini. Biasanya hanya melalui pesanan saja. Jadi acara ini sangat bermanfaat bagi pegiat ekonomi kreatif,” ungkapnya dengam legawa.
Hal senada juga dicurahkan oleh Anik Yusmani, pedagang es timun serut dan sari blimbing wuluh dalam kemasan botol. Menurutnya, acara semacam ini sangat bagus dan amat membantu dari pemasaran dan peningkatan ekonomi mikro seperti dirinya. Anik menambahkan, ini juga sebagai ajang promosi, agar orang lebih banyak tahu tentang produk yang ia buat. “Segi penjualan untuk hari ini Alhamdulillah. Tadi saya bawa stok 40-an botol dan sekarang sudah habis,” katanya.
Lantas ia berharap kepada pemerintah, sebagai UKM, ia menginginkan acara semacam ini agar bisa tetap bertahan lama. “Sering-sering aja diadakan event besar seperti ini. Karena ini salah satu kesempatan kita untuk mempromosikan produk yang kita olah dan dampaknya pasti ke segi ekonomi juga,” tutup Anik.
(N/F: Surya)