actasurya.com
  • HOME
  • BERITA
  • FEATURES
    • TOKOH
    • SENI & BUDAYA
    • GAYA HIDUP
  • OPINI
  • SASTRA
    • PUISI
    • CERPEN
  • PHOTOGRAPHY
  • E MAGAZINE
  • REDAKSI
Facebook Twitter Instagram
TRENDING
  • Aksi Solidaritas Surabaya Terhadap Represi Petani Pakel Banyuwangi
  • Rayakan Internasional Woman Day Untuk Keadilan dalam Kesetaraan Gender
  • Untaian Strategi Perang dan Bisnis Menguntungkan dalam Film The Veteran
  • Kenali Citra Kota Surabaya Lewat Himmarfi Basic Training 2022
  • Malam Hana-Caraka, Awal Perubahan Stigma Negatif Kampung
  • Lengak-Lengok Komunitas Wanita Bersanggul Indonesia di peringatan Hari Sumpah Pemuda
  • Destinasi Wisata Lama Surabaya Yang Kini Kembali
  • Kuliner China di Kya-Kya Kembang Jepun
Facebook Twitter Instagram
actasurya.com
  • HOME
  • BERITA
  • FEATURES
    • TOKOH
    • SENI & BUDAYA
    • GAYA HIDUP
  • OPINI
  • SASTRA
    • PUISI
    • CERPEN
  • PHOTOGRAPHY
  • E MAGAZINE
  • REDAKSI
actasurya.com
Home»PUISI»MALAM DI STASIUN
PUISI

MALAM DI STASIUN

redaksiBy redaksi26 Mei 2018Tidak ada komentar1 Min Read
Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Email
Share
Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email

Ajal memanggil melalui sesuatu yang bukan suaramu. Kau tidak memanggilku.

Aku datang hanya sebagai penumpang, bukan pembunuh.

Aku memesan tiket setelah memutuskan tidak untuk pergi ke mana pun, tetapi berhenti di suatu tempat untuk membunuh maut yang melahirkanku.

Di telepon, tubuhmu biru.

(Seorang penyanyi telah berdiri membacakan satu ayat dalam kitab dan tertawa seperti sedang takut hendak kehilangan bagian-bagian tubuhnya: nafas yang mulai berbunga di dadanya, atau duri yang bermekar dari pahanya. Ia tak pernah bernyanyi. Ia baru saja dilahirkan dalam kereta api yang berhenti sebagai kekacauan. Ia sudah pernah mati)

Aku membayangkan kau pernah membangunkan dirimu di atas tanah ini dan mengambil beberapa suara yang jauh dan memimpikannya.

Tidur memimpikanmu.

Di telepon, aku memimpikanmu.

Kau tidak pernah tidur dan memimpikan apapun.

Jauh

(Seorang turis datang. Anjing dan kucing terikat dalam dirinya: dan bersama, membacakan satu puisi romantisme dalam bahasa kabut manusia. Kabut kepalanya)

Aku menjadi entah: seekor anjing dan kucing: di leherku mereka mengikat tuju

Aku hanya ingin pulang dengan mudah merindukanmu

tanpa perlu mengingat siapa kau siapa aku.

 

Penulis : Chendra.

acta surya Kumpulan Puisi puisi
Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Email
redaksi
  • Website

Related Posts

Wabah Mendunia

28 April 2020

Monolog Pandemi, Berkesenian Sambil Peduli

22 April 2020

Potret Opspek Edisi 4

17 September 2019

Leave A Reply Cancel Reply

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

NAVIGASI
  • IKLAN
  • E MAGAZINE
  • TENTANG KAMI
  • ATURAN PENGGUNAAN
  • ARSIP
  • KONTAK
JEJARING KAMI
Tweets by actasurya
Facebook Twitter Instagram Pinterest
  • IKLAN
  • E MAGAZINE
  • TENTANG KAMI
  • ATURAN PENGGUNAAN
  • ARSIP
  • KONTAK
© 2023 ThemeSphere. Designed by ThemeSphere.

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.