Actasurya.com – Tragedi pengeboran gas minyak oleh PT Lapindo Brantas menjadi tragedi yang tercatat dalam sejarah panjang Indonesia. Semburan lumpur itu belum terhenti, meski telah 17 tahun berlalu. Peristiwa itu kali pertama muncul pada 29 mei 2006. Pusat semburan berada di Desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur yang berjarak sekitar 200 meter dari sumur pengeboran gas Banjar Panji 1 milik PT Lapindo Brantas di Desa Renokenongo, Kabupaten Sidoarjo.
Masyarakat yang terkena dampak dari Lumpur Lapindo harus merasakan pahitnya kehidupan kala itu. Secara mendadak mereka harus kehilangan rumah sekaligus barang-barang berharga. Lebih dari 25 ribu penduduk yang rumahnya terdampak harus mengungsi dan tidak bisa melihat rumah mereka lagi. Setidaknya ada 16 desa di 3 kecamatan di Sidoarjo tergenang lumpur panas tersebut. Diantaranya 10.426 unit rumah warga dan 77 unit rumah ibadah terendam lumpur.
Tak hanya pemukiman warga yang diserang lumpur, semburan lumpur juga mengganggu jalur transportasi antara Surabaya-Malang, salah satunya adalah jalur kereta api dan tol. Sampai saat ini semburan lumpur terus-menerus keluar dan masih belum ada tanda-tanda berhenti sejak pertama kali menyembur. Beberapa upaya dilakukan agar semburan lumpur tidak semakin melebar, salah satunya dengan cara pengerukan lumpur karena mulai sejajar dengan tanggul penahan.
Seperti yang dilakukan oleh Satrio Undoro salah satu orang yang bekerja sebagai pengeruk lumpur. Ia bekerja dari tahun 2019, sudah empat tahun lamanya Ia bergelut dengan panasnya Lumpur Lapindo. Satrio Undoro ditemani oleh tiga orang temannya yang juga bekerja sebagai driver ekscavator atau sopir alat pengeruk.
“Setiap hari lumpurnya itu terus menyembur tidak pernah berhenti. Jika ada kebocoran, lumpur ini tidak bisa ditambal. Jadi jalan satu-satunya adalah dikeruk, kalau tidak dikeruk lumpurnya akan semakin naik dan meluber. Untuk berjaga-jaga juga ketika sudah memasuki musim hujan agar lumpur tidak meluber sampai ke jalan,” ujar pria yang menggunakan ini.
Proses ketika pengerukan lumpur akan dilakukan. Kedua sopir alat pengeruk memanaskan dua mesin ekscavator atau yang biasa disebut dengan bego (22/5/23).
Proses ketika pengerukan lumpur akan dilakukan. Kedua sopir alat pengeruk memanaskan dua mesin ekscavator atau yang biasa disebut dengan bego (22/5/23).
Ia juga menjelaskan bahwa gas atau lumpur yang berasal dari Lumpur Lapindo tidak bisa digunakan dan dimanfaatkan sebagai apapun. Lumpur yang sudah dikeruk nantinya akan menjadi gumpalan keras seperti semen yang sudah kering. Lumpur tersebut yang akan dibuang ke Sungai Brantas.
“Setelah lumpur dikeruk nantinya akan di buang di sungai Brantas Porong tepatnya di jembatan besar sebelum Lapindo sekitar 5 kilometer kalo dari sini,” lanjutnya.
Gumpalan lumpur yang sudah kering akan mengeras seperti batu. Nantinya akan dibuang di sungai Brantas karena tidak dapat digunakan atau dimanfaatkan
Gumpalan lumpur yang sudah kering akan mengeras seperti batu. Nantinya akan dibuang di sungai Brantas karena tidak dapat digunakan atau dimanfaatkan
Gas yang dikeluarkan oleh Lumpur Lapindo adalah gas metana yang dapat merusak lapisan ozon karena gas ini termasuk efek rumah kaca yang dapat mengakibatkan perubahan iklim. Gas ini sendiri juga mudah meledak dan terbakar jika tercampur udara. Selain itu, gas metana dapat bersumber dari toilet rumah tangga, pembuangan sampah dan juga fosil hewan yang telah mengalami tekanan dan suhu tinggi selama jutaan tahun.
Tahun ini tanggul penahan Lumpur Lapindo sudah mencapai ketinggian 30 meter dari permukaan tanah. Meski memasuki musim kemarau, bukan berarti kawasan sekitar semburan Lumpur Lapindo aman. Sebab dari tahun ke tahun ketinggian penahan lumpur ini terus mengalami kenaikan. Pada tahun 2011 tanggul sudah mencapai 11 meter dan pada 2017 mencapai 12 meter dari permukaan tanah.
“Terus-menerus tanggul penahan ini ditinggikan karena setiap saat mengeluarkan lumpur yang tidak sedikit. Ketinggian tanggul ini sudah mencapai 30 meter dari permukaan tanah. Bisa dilihat dari bawah jalan raya tanggul ini sudah sangat tinggi. Tidak hanya berfokus mengeruk lumpur tetapi juga meninggikan tanggul agar tidak jebol,” ungkap Satrio.
Upaya yang dilakukan oleh Satrio adalah gambaran dari bagaimana menjaga lumpur agar tidak berdampak lagi bagi masyarakat sekitar. Tidak hanya memakan korban jiwa namun juga banyak kesedihan hingga kehilangan yang tak ternilai harganya.
(N/F : Nbl/Nbl)