actasurya.com – Hari itu, langit masih kelabu, fajar belum bangun menyapa penghuni bumi dengan cahayanya yang keemasan, namun Kasan Syafii nampak terjaga, sembari menata tumpukan garam kemasan yang hendak dijualnya berkeliling Surabaya.
Ia mulai memilah, garam kasar dan halus hingga besar dan kecil dimasukkannya ke dalam karung yang berbeda, tentu akan ia jual dengan harga yang berbeda pula. Sembari menunggu adzan berkumandang, ia mengikat garam-garam tersebut menggunakan tali yang dibuatnya dari karet ban, “agar lebih awet dan kuat,” katanya.
Lalu, ketika mentari mulai menyongsong di ufuk timur, Kasan telah siap menapaki jalanan berpuluh kilometer demi menjajakan dagangannya. Sepeda motor berwarna oranye-hitam telah menanti di pelataran rumahnya di Desa Sawocangkring, Wonoayu, Sidoarjo, tentu saja dengan setumpuk garam yang diikat di atas jok.
Kira-kira pukul enam pagi, Kasan sudah sampai di salah satu parkiran sepeda di area Terminal Purabaya, ia pun dengan cepat memarkir motornya, lantas mengambil sepeda yang bakal menemaninya berjualan.
Jangan pikirkan sepeda kota yang pedalnya ringan kala dikayuh, sepeda hitam milik Kasan nampak tua, dengan ban dan setir yang mulai kocak, terlihat dari keseimbangannya yang tidak stabil ketika dinaiki.
Tak hanya itu, Kasan juga harus menahan kakinya pada ban depan jika ingin berhenti, lantaran remnya yang sudah tak berfungsi. Kasan mengaku membeli sepedanya seharga Rp. 350.000 dari penjual barang bekas di daerah Sepanjang, Sidoarjo.
Kemudian, Kasan memindahkan tumpukan karung berisi garam dari motornya ke sebuah tempat kayu yang dipasangnya pada boncengan di sepeda, ia biasa menyebutnya “rengkek” atau “ronjot”. Tak lupa, ia ikat dengan tali dari ban bekas, juga ia tutupi dengan plastik agar terlindungi.
Kasan memilih berjualan menggunakan sepeda bukan tanpa alasan, ia merasa lebih hemat dan sehat jika berkeliling dengan sepeda. “Nanti uang bensin bisa ditabung untuk keperluan yang lain, mumpung sekarang masih kuat ngayuh sepeda,” kata pria kelahiran 12 Juli 1961 ini.
Mengenakan sandal berbahan karet ban bekas truk atau bis, Kasan mantap mengayuh sepeda tuanya. Kasan memang sosok yang sederhana, jangankan bersepatu, memakai sandal jepit saja, ia mengaku sayang karena akan cepat rusak jika dikenakan sambil bersepeda. Ia merasa karet ban memiliki bahan yang tebal, murah dan lebih awet.
Tak hanya itu, ketika mengayuh sepeda, Kasan juga mempertimbangkan banyak hal guna keselamatannya. Misalnya jika mengenakan celana kain yang terlalu panjang, pria yang usianya sudah melampaui separuh abad ini sengaja mengikat bawah celananya dengan karet gelang, agar tidak mudah terselip.
Saban hari, ditemani doa yang ditasbihkannya kala melintasi kerasnya aspal jalanan dan puluhan kilogram garam yang berada di belakang kemudi sepedanya, ia menjajakan garam berkeliling Surabaya. Rutenya mulai dari Bungurasih menuju Ahmad Yani, Jemursari, Rungkut, Sukolilo hingga Mulyosari.
Makin siang, kadang cuaca makin menyengat, namun tetap saja, panasnya sang surya tak lantas membuatnya malas menimba rejeki. Kasan mengaku telah akrab dengan terik, saking akrabnya, nampak kulitnya yang menghitam sebab terlampau lama terpapar sinar mentari.
Sementara itu, untuk menghalau panas, Kasan memakai topi berwarnakan entah hitam atau biru dongker, tak ada yang tahu sebab warnanya telah pudar. Ia juga biasanya memakai baju berlengan panjang, bertuliskan SMAN 1 Wonoayu, bekas seragam olahraga anaknya.
Ketika ditanya mengenai kenaikan harga garam, ia mengaku cukup terkejut, sebab selama 22 tahun ia menjual garam, baru kali ini harganya melonjak lebih dari 100 persen, yang mana dari Rp6.500 tiap kotak kecil, sekarang jadi Rp. 16.000.
Ia juga merasa cukup kesulitan untuk kulak garam karena modalnya kini menjadi lebih tinggi, sedangkan keuntungan yang didapatnya tak jua bertambah. “Banyak pembeli yang mengomel bahkan menawar, karena merasa harganya terlalu mahal padahal saya tidak ambil untung banyak,” ujar pria berkumis ini.
Namun, ditengah kesulitan yang dihadapi, ia mengingatkan pembelinya untuk tetap sabar hingga harga garam normal kembali. Ia percaya pemerintah tak akan tinggal diam dan akan segera menstabilkan harga.
Bagaimanapun juga, Kasan mengaku selalu menjalani hidup dengan bersyukur, ia yakin banyak atau sedikit, rejekinya sudah diatur oleh Allah, tinggal bagaimana usaha dan doa yang ditorehnya. Hal ini juga yang membuatnya memilih untuk libur setiap hari Jumat agar lebih khusyuk beribadah sebagai seorang muslim.
“Meski hasilnya nggak banyak, kalau kita bersyukur akan ditambahkan nikmat dan cukup untuk sehari-hari,” ucapnya.
Bapak dua orang anak ini mengaku selalu merasa cukup dengan rejeki yang didapatnya. Ia tak pernah mengeluh menjalani pekerjaannya sekarang. Kasan juga membuktikan, dengan hasil berjualan garam, ia berhasil menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang perguruan tinggi.
“Alhamdulillah, anak pertama saya sudah sarjana, baru diwisuda bulan Maret lalu. Sekarang tinggal anak kedua yang masih sekolah kelas 12 di SMAN 2 Sidoarjo,” tambahnya sembari tersenyum. (N/F : Hilda)