actasurya.com – “Saya ditahan tahun 1965, November,” Begitu ucap Oei Him Hwie. Sembari mengingat-ingat masa lalunya Hwie sapaan akrabnya, adalah orang yang tertuduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) kala itu.
Hwie Muda adalah seorang wartawan surat kabar Terompet Masjarakat dan sempat beberapa kali berhasil melakukan wawancara khusus dengan Presiden Soekarno. Hal itu menjadi kebanggaan tersendiri baginya. Namun kebanggaan itu tak berlangsung lama, ketika meletusnya tragedi G30S, Hwie ditangkap oleh aparat karena disangka anggota PKI. Saat itu, koleksi buku dan koran miliknya dirampas untuk dilenyapkan. “Pas saya ditangkap, banyak buku-buku dan koran dibakar di alun-alun kota. Kata’ne mbakar dokumen PKI,” ucap Kakek berusia 86 tahun ini.
Alasan profesinya lah yang membuat ia ditangkap dan dianggap sebagai anggota partai komunis. Namun, Hwie masih memiliki buku dan koran yang tersimpan di kediamannya, di Malang. “Oleh adek saya disimpen, taruh ndek loteng rumah. Ditutupi papan, ditoto (oleh adik saaya disimpan, ditaruh di loteng rumah),”. Benar saja, lima hari setelah ditangkapnya Hwie, aparat kembali menggeledah rumahnya untuk mengambil buku dan koran yang tersisa. “Nggak ada, sudah dibakar semua. Wong wes bapak ambil,” tegasnya pada aparat.
Ia dijebloskan di sebuah bangunan bekas pabrik kaleng di Batu, ia diamankan bersama seribuan orang lainnya. “ Saya ditahan tapi tak ada proses pengadilan. Saya di Introgasi oleh pihak Polisi dan Tentara, dituduhlah Saya sebagai PKI, tapi ndak ono bukti, Saya di cap Soekarnois” tukas Hwie.
Sejak saat itu selama lima tahun Hwie beberapa kali dipindahkan tahanan, “Saya dibawa ke penjara jaman Belanda, penjara paling gedhe, di Lowokwaru, Malang.” Terangnya. Lalu Ia dipindahkan ke Kalisosok Surabaya, hingga Ia kembali diboyong ke Lapas Nusakambangan. Selama ditahanan Hwie mengaku nasibnya masih beruntung, ia tak terlalu banyak menerima penyiksaan, karena Wartawan dan Mahasiswa dianggap kalangan intelektual memang tak terlalu dapat intimidasi, sedangkan orang-orang yang jelas-jelas PKI dipukuli, disiksa, bahkan hingga dibunuh.
Diasingkan dan Berkawan dengan Pram
Pada tahun 1970, tepat pada saat Bung Karno meninggal dunia, Ia bersama seribu tahanan lainnya diangkut dengan kapal Tobelo menuju pengasingan di Pulau Buru. “Kami turun di desa Sanleko, iku alas, lima ratus hektar suruh mbabat.” Berstatus tahanan politik yang diasingkan, membuat ia dan rekan-rekannya harus berjuang dengan keringat sendiri mendirikan tempat tinggal dan harus bertani untuk bertahan hidup. “Panganan iku golek dewe (makanan itu cari sendiri),” ujarnya,
Di Pulau Buru ia bertemu dengan sastrawan Indonesia yang juga diasingkan, Pramoedya Ananta Toer. Hwie mengenal Pram, sejak ia masih menjadi wartawan. Selama di Pulau Buru, para tahanan politik sering berdiskusi dan berdialog dengan Pram, namun tetap sembunyi-sembunyi, jika penjaga datang itu bisa bahaya. Menurut Hwie, kehidupan selama pengasingan sangat keras “Yang ndak kuat sampek bunuh diri, sebab mikirno uripe (yang tidak kuat sampai bunuh diri, sebab mikirin hidupnya),” tukasnya.
Hwie membantu Pram dalam upaya menulis buku-bukunya. “Pram biasanya ngijolno telur bebek sama petelot (pensil, red). Lha kertas’e pake kertas semen,” tuturnya. Hingga pada tahun 1978 Hwie dibebaskan. Ia dititipi naskah buku asli karya Pram. “Wi, saya titip. Kamu harus berani. Harus berani!” ucap Pram kala itu. Oleh Hwie naskah asli milik Pram di masukkan kedalam besek (keranjang kecil yang terbuat dari anyaman bambu), dan ditumpuk menggunakan pakaian kotor dan peralatan makan yang belom dicuci.
“Ternyata aku di geledah, tapi slamet. Lek gak gitu aku gak iso omong-omongan ambek kalian saiki, mati aku (kalau tidak begitu aku tidak bisa bicara dengan kalian sekarang, mati aku),” ceritanya kepada Reporter Acta Surya. Hwie menjadi angkatan kedua yang bebas dari pengasingan, namun ia masih saja diawasi oleh aparat. Ia tak dapat bekerja karena KTP-nya bertuliskan eks tapol(mantan tahanan politik).
Sebagai Orang Bebas
Ia hanya bisa berdiam diri dirumah. Untuk mengisi waktu, sesekali meng-klipping koran-koran miliknya yang masih disimpan di loteng rumahnya. Setahun setelah Hwie bebas, ia mendengar kabar bahwa Pram juga dibebaskan. Ia bermaksud mengembalikan naskah milik Pram yang dititipkan kepadanya. “Jangan! Simpan saja, saya fotocopy saja. Jadi kalau dirampas, biar fotocopy yang dirampas” tutur Pram pada Hwie. Upaya itulah yang akhirnya menelurkan karya Pram yang tersohor sebagai Tetralogi Buru; Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.
Berpuluh-puluh tahun kemudian, pada saat reformasi tahun 1998, buku-buku dan koran milik Hwie yang disimpan di loteng rumah mulai diturunkan. “Bukune tak dukno, debune kandel. Sebagian tak gowo nang Suroboyo (bukunya aku turunkan, debunya tebal, sebagian aku bawa ke Surabaya),” katanya.
Setiba di Surabaya, ia didatangi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang ada di Australia. Koleksi buku, majalah dan koran milik Hwie ditawar dengan nominal satu milyar rupiah. Tapi Hwie tak mau. Menurutnya, buku dan koran miliknya akan lebih berguna untuk generasi muda penerusnya supaya paham menyoal sejarah.
“Buku-buku itu berguna untuk generasi muda. Supaya sejarah nggak di plintir-plintir. Kalau saya menjual buku-buku itu, berarti saya menghianati bangsa Indonesia,” tegasnya.
Seiring gelak tawanya, Kini Hwie sudah menjadi orang bebas, ia juga berpesan pada generasi muda, “Anak muda harus mengerti dan menghargai HAM, agar yang Saya alami mbien, ndak kejadian maneh.” (N/F: Farid/Elisa)