Saya tahu sebentar lagi Suku Minaha akan menyerang desa. Bagaimana pun mereka tetap akan mencari tebusan nyawa Natuli. Sesungguhnya, semua bisa dibicarakan baik-baik. Tapi apalah daya, pengetahuan sesama manusia tidak sama. Tuan tahu kalau di atas langit masih ada langit, sementara yang lainnya hanya mengerti yang di depan mata mereka. Tuanku Galua sudah menjelaskan secara panjang lebar akan hal ihwal yang akan terjadi bila kedua suku saling menebas parang dan golok. Tetapi api akan membakar semua yang terbuat dari tanah. Dendam akan menyebar ke seluruh tubuh. Kepala Suku Minaha yang terkenal akan kelicikannya dalam berperang itu, tetap menuntut pembalasan.
Yah, seperti yang kitab-kitab kuno katakan, akhirnya kita juga akan menghadapi kematian sesama kita. Sebab kita tidak akan pernah bersatu. Karena kawanan serigala akan membela serigala lainnya.
Entah di mana Riama sekarang. Ia tidak ada di kampung. Semenjak Natuli mati bersama kandungannya, Riama lenyap tak ada kabar berita. Riama teman baik saya, tapi saya tidak tahu keberadaannya. Tuanku Galua semenjak kejadian ini, sering menyambangi rumah. Ia terus bertanya tentang keberadaan Riama. Bagaimana saya mesti menjawabnya sementara saya tidak tahu di mana Riama. Padahal sebentar lagi perang akan berkumandang.
“Sudah saatnya kau mengatakannya, Nak.”
“Bagaimana saya harus meyakinkan engkau, Tuanku Galua? Saya tidak tahu perihal Riama sekarang.”
“Sahabat baik itu seperti merpati merindukan induknya, ia pasti selalu dicari.”
“Iya, tapi untuk sekarang, dia tidak pernah kutemui, Tuanku.”
Begitulah terus, laki-laki yang sudah hidup hampir sebad itu datang bertanya tentang keberadaan Riama. Di manakah engkau, Riama? Semua orang tengah mencarimu. Jika Riama ada, perang tidak mungkin terjadi. Karena menurut keputusan adat, ini adalah perihal kisah cinta. Aturan dalam adat Tutea, kisah cinta seorang manusia adalah tanggung jawabnya sendiri. Dia tidak diperbolehkan membawa nama suku. Kecuali akhirnya datang saat-saat kawin, bolehlah kiranya semua dilibatkan.
Besoknya, pertemuan adat kembali dilaksanakan. Para tetua berkumpul di Jarogong, sebuah bangunan mirip joglo yang digunakan sebagai tempat berkumpul dalam memutuskan sesutu hal yang genting. Saya dipanggil oleh Tuanku Galua untuk turut hadir serta dalam pertemuan. Para tetua adalah mereka yang sejak lahir telah diberi keistimewaan. Di Tutea, kecuali kepala suku yang dipilih secara musyawarah, para tetuanya itu memang terpilih sejak lahir.
Orang-orang Tutea lahir sebagai seorang laki-laki yang memiliki jiwa pendiam. Maka, secara langsung dia akan dituntun oleh Amirun Hayat untuk menjadi tetua adat. Menurut kitab orang-orang Tutea, pendiam adalah pemikir. Begitulah, jadi para tetua jika sudah mencapai usia sekitar 40 tahun, maka dia akan menjadi pemikir yang handal.
Riama. Saya mengerti dia akan menjadi tetua. Bapaknya adalah tetua pemangku agama sebelum beliau meninggal dunia. Tetapi Riama ternyata jatuh cinta terlalu dini. Ia melakukan kesalahan. Seorang tetua tidak boleh mencintai seseorang dalam usia yang masih muda. Menurut para tetua adat, yang Riama lakukan itu bukanlah cinta, melainkan hawa nafsu, birahi kotor. Usia muda dalam kita orang Tutea, dipandang masih mudah dirasuki oleh iblis. Sebab gumpalan hati mereka masih kosong, tidak ada kandungan pengetahuan yang bisa melawan bujukan iblis.
Diskusi berlangsung sengit. Hari itu keluarga Riama juga datang. Sebagai keluarga mantan Tetua pemangku Agama, mereka malu sekali. Ibu Riama menangis setiap malam. Para tetua nampaknya akan mengutus seseorang untuk mencari dan membawa Riama ke kampung. Hidup atau mati. Dan jelaslah, orang itu adalah sahabatnya sendiri. Si burung hantu dari Tutea.
***
Riama adalah anak yang berbakti. Saya tidak habis pikir dia melakukan hal bejat macam begitu. Saya sendiri yang temui dia waktu peritiwa itu sebelum dibuka di muka umum. Dia mengatakan kalau cinta bisa menghitamkan segala warna. Aih, benar memang, tapi akal sehatmu sebagai calon tetua yang harus menawar racun hitam itu, Riama.
“Tidak, Ruih. Saya sudah mengerti kita terlalu terpaku pada kitab. Yang setelah saya pikirkan, ternyata kitab yang ada di rumah Tuanku Galua itu tiada lain hanyalah sebuah kumpulan syair-syair biasa. Yang isinya biasa saja.”
“Astaga Riama, jagalah omonganmu, yang sedang kau bahas itu adalah kitab dari nenek moyang orang Tutea. Lagipula kau adalah calon tetua di negeri Tutea ini. Sikap serta pandanganmu harus dijaga.”
“Saya mencintai Natuli. Natuli dari suku Dobi. Dan kau pasti tahu, Dobi adalah kawanan kancil. Mereka telah bersahabat dengan orang-orang dari Holan. Dan Natuli, Ruih, Natuli akan diserahkan ke seorang Kapten Kapal berambut merah itu.”
Saya hanya berdiam diri, melihat Riama meneteskan air mata. Seorang laki-laki ketika meneteskan air mata demi perempuan, maka sebesar apa pun ombak di lautan ia akan berlayar menerjangnya. Maka tidak heran, Riama menculik Natuli.
Di malam penculikan itu, saya sesungguhnya tahu. Bahkan Riama mengatakan kepada saya kalau Natuli akan ia tiduri. Saya mafhum, sebab cinta tidak akan membiarkanmu lolos dari keyakinannya. Tapi saya sudah berjanji pada Riama bahwa saya tidak boleh menceritakannya pada para tetua. Saya sudah berdosa berbohong pada semua tetua. Tetapi bukankah di dalam kitab juga mengatakan kalau seorang Tutea kan hina dina bila mengingkari janjinya.
***
Subuh-subuh saya sudah setengah jalan keluar dari kampung. Semenjak tadi malam, Tuanku Galua menemani saya di rumah. Semalaman suntuk pula, ia menasihati saya.
“Keberadaannya belum jauh, dia dilihat oleh Pimpa di desa Geru berjalan menuju dermaga.” Tuanku Galua berdiri di depan jendela yang terbuka sambil memandangi rembulan. Saya hanya duduk di dekatnya mendengarnya berceloteh dengan seksama.
“Pastilah dia akan menunggu siang untuk melanjutkan perjalanan. Sebab dia tidak akan berani menyeberang malam-malam. Bahaya. Di perbatasan ada kelompok Perampok Kapak Biru, mereka tak akan mengampuninya,”
“Ruih, anakku. Semua orang Tutea percaya kepadamu. Keselamatannya ada di tanganmu. Kita tidak punya senjata api. Kita tidak berteman dengan orang-orang Holan. Sebab kita tidak ingin dijajah mereka. Oleh sebab itu Ruih, anakku, bawa Riama, mati atau hidup.”
Saya melihat ketakutan di mata Tuanku Galua. Baru kali ini saya melihatnya. Ia tampak pasrah dan ketakutan. Keteguhan dan kebijaksanaannya seakan hilang ditelan malam. Sewaktu saya kecil, orang di depanku inilah yang dengan gagah berani mengusir orang-orang Holan itu dari kampung kami. Dia begitu gagah di masa mudanya. Kesatria yang tidak tertandingi. Ia menyelamatkan semua nyawa. Orang-orang Holan itu mati di ujung pedangnya. Sebenarnya saya tidak tahu persis bagaimana Tuanku bisa membunuh mereka semua. Sebab waktu itu ketika semua orang bangun dari tidurnya, orang-orang berambut merah itu telah hilang tanpa jejak. Dan di saat yang sama, ketika gelap baru separuh menghilang, muncul Tuanku Galua yang berdiri di ambang pintu gerbang sambil menenteng satu senjata api. Orang-orang berkumpul dan mendengarkan cerita dari Tuanku Galua. Dan begitulah yang terjadi, Tuanku Galua dengan kekuatan dari kitab yang dia bawa, melenyapkan orang-orang berkulit pucat itu.
Dia mendekat dan menggenggam tangan saya. Sorot matanya jauh melampaui kesadaranku. Inilah rasanya berhadapan dengan orang mulia.
“Orang Tutea berharap padamu,” katanya lagi.
Lalu terbayang wajah Riama. Sahabat kecilku. Mungkinkah dia bisa pulang bersama saya? Mengingat begitu banyaknya ketakutan yang akan ia alami. Ataukah dia akan melawan saya dan kami akan saling membunuh. Bagaimana bisa saya membunuh sahabat saya sendiri. Tidak, itu lebih baik. Kematian seseorang lebih baik daripada banyak orang. Memang cinta akan memburamkan persahabatan. Memang cinta akan melemahkan persaudaraan. Memang cinta akan mengorbankan segala hal. Pada akhirnya kita akan memaklumi semua itu sebagai bagian dari hidup anak manusia.
Di antara banyak orang yang ada di Tutea, Riama lah yang hanya mau berteman dengan saya. Dia yang menyelamatkan saya dari ketidakmampuan diri mengeja huruf-huruf. Kami dulu bersekolah. Dulu ada orang Jawa datang ke kampung untuk mengajari kami ilmu pengetahuan. Riama akan menjadi bagian dari tetua kampung. Oleh sebab itu, ia begitu cerdas dan pintar. Dia selalu tersenyum bila saya minta untuk diajari baca kitab suci orang Tutea. Riama adalah orang yang mengagumkan Amirun Hayat, sang penjaga orang Tutea. Tetapi kenapa, ketika saya mulai menekuni kitab suci itu, ia malah menjuh darinya.
Saya meihat dia mulai tidak percaya, semenjak ia menjalani kisah cinta dengan Natuli. Kalau saja kamu tidak bertemu dengan perempuan Minaha itu, mungkin hidup kita akan baik-baik saja, sahabatku. Natuli, sebenarnya ia perempuan yang baik. Mendengar cerita Riama, sebenarnya mereka berdua sama. Sebab, Natuli juga adalah pembangkang di desanya. Seorang anak kepala suku yang tidak patuh pada omongan bapaknya. Saya pernah sekali itu bertemu dengan Natuli. Ia begitu elok. Memang perawakan seorang anak raja, tubuh halus dan tampak kinclong. Waktu itu, Natuli tidak bicara apa-apa, ia hanya tersenyum. Tapi dia tidak lepas dari genggaman tangan Riama. Mereka berdua memang dibutakan oleh cinta.
Setengah jam berlalu, saya sudah duduk di sebuah tempat makan di Goru. Orang Goru seperti orang Sipani (Spain/Spanyol) suka sekali bernyanyi. Yang punya warung bernyanyi sambil memainkan gambus. Bahasa Goru. Riama pernah bilang pada saya, di kampung kami terlalu mengagungkan Amirun Hayat, sehingga anak-anak muda seperti kami tidak bisa apa-apa. Hanya membaca kitab dan berkebun. Lihatlah di negeri Goru ini, orang-orang bernyayi dan pergi membuat kapal. Mereka melaut seperti ikan puse (paus).
“Pernahkah kau mendengar hikayat ikan puse, Ruih? Bertahun-tahun yang lalu, orang Goru pernah diserang oleh sekelompok bajak laut dari Halmahera. Mereka diperbudak dan disiksa. Lalu, para bajak laut itu akan membawa orang Goru ke Halmahera. Di tengah laut, kapal mereka diserang oleh sekawanan ikan puse. Keajaiban terjadi, orang Goru diselamatkan ikat-ikan raksasa itu ke darat. Akhirnya, di situlah mereka sering menganggap ikan puse sebagai Dewa mereka. Setiap mengirimkan sesajen, mereka akan berlama-lama di pinggir pantai dan bernyanyi.”
Dulu sebelum orang Holan datang, ada orang Sipani. Mereka berkulit lebih coklat daripada orang Holan, tetapi tetap berhidung panjang. Mereka membawa alat-alat untuk membuat nyayian. Orang-orang Sipani sebenarnya hanya numpang di dermaga, tetapi orang-orang Goru suka penasaran. Maka, terjadilah tukar ilmu itu. Orang Goru lalu membikin Gambus, yang bentuknya mirip alat orang Sipani.
“Saya belajar Gambus,” kata Riama. “Saya sudah bisa bernyanyi. Nanti saya akan nanyikan Natuli lagu. Setelah kami menikah, nanti saya beli Gambus dan kau akan memainkannya untuk kami, Ruih. Maukah kau?” Lalu dia bernyayi.
Tuanku Galua tidak pernah ingin budaya yang lain masuk ke kampung. Sebab, orang Tutea berasal dari Amirun Hayat, sementara orang lain adalah manusia yang statusnya di bawah. Kami lah yang harus dicontoh. Budaya orang Tute lah yang mesti ada di orang-orang lain itu. Suatu ketika, Riama pernah bernyayi di tengah upacara penyembahan ke Amirun Hayat. Semua tetua marah padanya. Semua orang Tutea terheran-heran. Saya hanya berdiam, tidak habis pikir dia berani melakukannya. Iya, semenjak jatuh dalam cinta itulah ia berubah begitu. Kalau saja ia tidak bertemu Natuli, mungkin ia akan tetap menjadi Riama, sahabatku yang akan menjadi tetua yang pandai lagi bijaksana. “Dia tidak bisa mengendalikan nafsunya,” kata Tuanku Galua.
Cinta hampir tidak bisa dipisahkan dari nafsu iblis bila kita masih muda, Riama. Memang tidak baik merasakannya di waktu muda. Hanya saja, benar apa yang selalu kau bilang, rasa cintamu harus dilimpahkan sebaik-baiknya. Jika tidak, kita mesti terkurung dalam kemunafikkan kepura-puraan kebaikan.
Lalu ada dua orang datang. Duduk di sebelah meja saya persis. Samar-samar saya dengar, mereka tengah membahas soal mayat yang dibunuh oleh kelompok kapak biru. Seorang laki-laki.
Sungguh, saya cepat-cepat bergegas menuju dermaga. Saya berlari sekuat yang saya bisa. Di pikiran saya sudah tidak karuan lagi. Saya berdoa supaya itu bukan Riama. Dia orang yang baik. Ya Amirun, selamatkan dia.
***
Penulis: Ebi