Gerak gemulai diiringi alunan musik tradisional meramaikan pendopo Taman Budaya Propinsi Jawa Timur (Jatim) sore itu. Anak-anak usia SD sibuk menyeragamkan gerakan. Menggoyangkan tangan dan pinggul, menghentakkan kaki, membentuk formasi. Para orang tua duduk bersimpuh di tepian pendopo, memperhatikan putri mereka berlatih tari. Beberapa mengarahkan kamera, mencoba mengabadikan kegiatan itu.
Saat maghrib tiba, anak-anak itu bubar. Mendatangi orang tua masing-masing dengan beragam ekspresi. Ada yang langsung minta air minum, antusias berbagi cerita, melihat hasil foto kegiatan berlatihnya, atau bergelayut manja minta segera pulang.
Yang beraksi di tengah pendopo berganti. Musiknya pun tak lagi sama. Beberapa remaja dengan selendang dan gerakan yang lebih gemulai berlatih tari gandrung dor, tarian tradisional asal Banyuwangi. Namun kedua kelompok usia itu tergabung dalam satu sanggar tari, Bina Tari Jawa Timur (BTJT). Pada 14 Mei nanti, mereka akan tampil di Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Timur.
BTJT hanya satu dari 17 sanggar tari yang berlatih di Taman Budaya Jatim, Jalan Gentengkali 85 Surabaya. Dengan 13 pengajar yang bergantian, mereka berlatih di sana setiap Minggu, Selasa, Kamis, dan Jumat, mulai pukul 15.00 hingga 19.00.
Sanggar tari yang sekretariatnya ada di Jalan Wiguna II nomor 15 Surabaya itu telah berdiri sejak tahun 80-an. Namun, baru disahkan akte yayasan pada 2 Mei 1996. “Saya jadi siswa tahun 1986, dan sanggar ini sudah berdiri. Waktu itu jumlah siswanya 70 orang, saya satu-satunya yang laki-laki,” jelas Ketut Santoso, seorang pengajar di BTJT. Saat ini, jumlah siswa BTJT mencapai 250 orang. Beberapa bahkan berasal dari luar kota, seperti Sidoarjo, Gresik, dan Mojokerto.
“Basic-nya BTJT ini khusus tari tradisional Jatim,” lanjut Ketut. Terdapat dua pembagian kelas usia, anak-anak dan remaja. Masing-masing kelas itu masih dibagi lagi berdasarkan keahlian menari. Bahkan ada kelas pra anak, yang diisi penari-penari bocah seusia taman kanak-kanak bahkan play group. Setiap kelas mendapat jatah latihan selama satu jam.
Menurut Ketut, terdapat dua materi tari yang diajarkan di setiap semester. “Di setiap semester juga ada ujian kenaikan tingkat,” ujarnya. BTJT bahkan menyediakan beasiswa untuk penari yang berprestasi. Untuk melatih gerakan tari agar gemulai, BTJT mengajarkan mulai dari senam tari atau olah tubuh, tetembangan, puisi, teater, tari tradisional, bahkan wawasan tari.
BTJT memang sengaja dibentuk sebagai upaya melestarikan kebudayaan daerah. Ketut menyatakan, BTJT merasa ikut bertanggung jawab atas pelestarian, pengembangan, serta peningkatan kualitas maupun kuantitas seni tari di Jatim. “Saya juga awalnya keluar-masuk sanggar. Tetapi mungkin karena saya satu-satunya siswa laki-laki, dipegang terus sama pembina. Sampai akhirnya saya pun merasa ikut bertanggung jawab melestarikan tradisi tari,” Ketut bercerita.
Mimin, seorang ibu yang bertempat tinggal di Kampung Malang Surabaya, mengaku memasukkan anaknya ke sanggar tari supaya sang anak berkegiatan positif. “Awalnya supaya ada kegiatan, sekaligus melestarikan budaya tradisional,” katanya. Anaknya, Shinta, yang sekarang duduk di kelas 4 SDN Wonorejo, menjadi murid BTJT sejak kelas 2 SD. Ia pun mengaku senang dan bangga karena bisa tampil di mana-mana.
Penari dari BTJT memang cukup sering diundang tampil. Di Taman Mini Indonesia Indah, bahkan setiap tahun ada yang menjadi duta wisata di luar negeri. Tahun lalu, siswa BTJT mendapat kehormatan untuk menari di Malaysia, Singapura, dan Jepang.
(N: Rizky Sekar/ F: Herman Dewantoro)