Actasurya.com – Menelusuri pelatarannya yang luas, disambut sebuah pintu kayu diapit dua jendela kaca besar, ornamen ini berada paling depan saat mengunjungi Gedung Don Bosco, sebuah gedung yang difungsikan untuk panti asuhan. Keunikan yang dimiliki gedung ini beralamat di Jalan Tidar No. 115 Surabaya. Keunikannya adalah arsitektur bangunan yang khas peninggalan Belanda.
Di sekeliling gedung yang dibangun pada tahun 1937 ini berjajar rapi jendela kayu berkisi-kisi, sementara di dalam gedung jika ditelisik, kusen, meja, dan kursi dari kayu jati pun masih digunakan hingga sekarang. Hal itu yang diutarakan pengelola Yayasan Don Bosco, Louis Wignya Karyana, 76 tahun.
“Seluruh ornamen di gedung ini kebanyakan masih asli, tembok-temboknya pun tidak ada yang dipugar, ciri khas bangunan jaman Belanda dulu yang temboknya tebal-tebal, tidak seperti kebanyakan bangunan jaman sekarang,” terangnya. Ia juga mengatakan Yayasan Don Bosco berdiri pada 8 Desember 1927 oleh Pastor G.J. TerVeer, yang menjadi direktur pertama pada 1927-1933. Nama dari yayasan ini berasal dari seorang Pastor Italia bernama Johannes Don Bosco, dengan semangat kepedulian terhadap anak yatim yang terlantar.
Gedung ini memiliki lorong-lorong panjang yang menghubungkan masing-masing ruangan, diantaranya terdapat ruang untuk pengasuhan anak bayi sampai anak kecil pra sekolah, ruang para pengasuh, ruang komputer, serta ruang-ruang lainnya yang ada di Yayasan Don Bosco. Jumlah anak yang diasuh di yayasan ini sekitar 60-an, yang dibagi berdasarkan kelompok umur.
Pada awal berdirinya di tahun 1927 Yayasan Don Bosco, mengasuh sekitar 200-an penghuni, mulai anak, remaja, hingga dewasa. Namun, karena belum memiliki gedung sendiri, maka pada Desember 1931 mereka ditampung di panti-panti lain dan di rumah pondokan. “Panti pertama di rumah sewaan di Jalan Ngemplak Nomor 7-8, Surabaya,” kata Louis.
Pada Oktober 1936, Yayasan Don Bosco mampu membeli tanah pertama di Jalan Tidar, satu tahun berselang pembangunan panti asuhan dilakukan hingga rampung pada Desember di tahun yang sama, sekaligus pada bulan itu juga diresmikan oleh Gubernur Jawa Timur saat itu.
Meskipun gedung Don Bosco mempunyai ornamen bernuansa Katholik, namun panti asuhan di gedung ini sendiri tidak membatasi anak asuhnya berdasarkan agama, pengelola panti asuhan melihat di jaman perjuangan itu banyak anak miskin, yatim piatu, juga yang terlantar dengan alasan yang berbeda-beda.
Di tahun-tahun selanjutnya panti asuhan ini membuka ruang-ruang pendidikan yang lebih banyak, diantaranya taman kanak-kanak, Sekolah Dasar, serta Sekolah Teknik. Bangunan ini sempat dikuasai tentara Jepang pada 1942, akibatnya penghuni panti harus diungsikan. Setelah dikuasai gedung ini dialihfungsikan sebagai markas sekaligus gudang senjata oleh tentara Jepang dipimpin Mayor Harimoto, saat itu gedung ini disebut-sebut sebagai gudang senjata Jepang terbesar di Surabaya.
Menjelang kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, para pejuang menyerang markas Jepang di Gedung Don Bosco tersebut, bertepatan dengan kekalahan Jepang terhadap sekutu, pihak Jepang pun angkat kaki dari kepemilikan gedung tersebut, momen itu dimanfaatkan pejuang Indonesia untuk mengambil alih gedung Don Bosco.
Akibat kejadian di saat itu banyak peralatan dari sekolah teknik yang rusak serta beberapa barang gedung yang hilang karena dijarah. Yang tersisa hanya tiga tempat penyimpanan bawah tanah yang telah kosong “Saat itu penduduk juga masuk sini, ambil barang yang berharga, ada sisa senjata ya dibawa” terangnya.
Sampai pada masa pemulihan antara tahun 1946 hingga 1952, TK, SD, dan Sekolah Teknik pun difungsikan kembali. Pada 22 Oktober 1947, SD Don Bosco dibuka kembali. Tahun berikutnya, TK Don Bosco juga sudah bisa dibuka kembali, ada beberapa perubahan di gedung ini guna melestarikan serta merawat bangunannya. dan Yayasan Don Bosco terus berkembang pesat hingga saat ini.
Kegiatan sehari-hari anak panti asuhan di gedung ini yaitu sekolah, belajar bersama, ditambah kegiatan lainnya, diantarannya latihan komputer, vokal, karate, dan musik band. Pengurus harian panti menangani tugasnya masing-masing, menunjang kelangsungan kehidupan generasi muda yang diasuh di gedung yang menjadi Cagar Budaya di Kota Surabaya. (N/F: Erik)