actasurya.com – Putri Aisiyah, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Stikosa memantik pertanyaan soal siapakah pers sebenarnya dalam Diskusi Media bertema ‘Journalist Is Not Crime’ pada Kamis (19/10). Ia menjabarkan, awal tahun 2017, ada 11 situs yang diblokir Menkominfo (Kementrian Komunikasi dan Informatika), dengan alasan pelanggaran isi. Dalam kasus itu Dewan Pers sama sekali tidak ikut campur.
Putri menyampaikan, sikap Dewan Pers itu dikarenakan 11 lembaga tersebut belum terdaftar dalam Dewan Pers. Pada bulan April, di tahun yang sama tirto.id dilaporkan terkait berita Alan Nairn dengan tuduhan pencemaran nama baik. Namun, kendati pada bulan tersebut tirto.id belum terdaftar, Dewan Pers nampak ikut menangani kasus tersebut.
“Seingat saya, bulan april itu tirto.id belum termasuk dalam Dewan Pers. Namun baru saja saya update beritanya, ternyata Dewan Pers turut andil menangani kasus portal berita tersebut. Perbedaan sikap Dewan Pers terhadap 11 situs tadi dan tirto.id, membuat saya ingin bertanya apakah batasan pers itu? Sehingga ia pantas disebut pers atau sebenarnya siapakah pers itu? Apakah kalau kawan itu berarti pers kalau bukan kawan berarti bukan pers?” tukas Putri.
Dandhy Dwi Laksono, seorang pengamat media yang menjadi narasumber dalam diskusi tersebut memberikan jawaban sederhana terhadap pertanyaan Putri. Dalam diskusi yang digelar oleh Klub Jurnalistik bersama Aliansi Jurnalis Independen Surabaya (AJI) dan HRLS, ia berpendapat bahwa undang-undang pers yang disebut liberal juga masih menyisakan pertanyaan dalam definisi pers nasional yang mestinya tidak ditafsirkan lebih sempit dari urusan badan hukum dan modal usaha. Menurutnya, siapapun yang melakukan kegiatan mencari, mengolah, dan membuat informasi, serta memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik itu adalah pers.
“Berdasarkan sejarah dan esensinya, pers tidak bisa di frame dalam urusan-urusan yang dicampuradukkan dengan bisnis. Jadi, sederhana saja, siapapun entah itu ibu rumah tangga, blogger, Pers Mahasiswa atau apapun itu yang melakukan kegiatan jurnalistik dan memenuhi kaidah-kaidahnya adalah pers. Terlepas dari dia berbadan hukum atau tidak, ” Jelas Dandhy.
Dhandy juga menyampaikan analisisnya, bahwa jurnalisme saat ini sedang terjebak, sangat formalistik. Pers itu terintutionalisasi. Melihat yang terjadi pada tahun 2014, media sangat kentara melabeli dirinya dengan afilias-afiliasi tertentu. Sehingga apabila kita mendefinisikan pers berpatokan pada badan hukum dan bisnis media, definisi pers akan menjadi bias luar biasa. Karena di dalam badan hukum juga ada intervensi.
Maka dari itu, sejak 2014 AJI (Aliansi Jurnalis Independen) melakukan perlawanan dengan menerima anggota termasuk blogger dan jurnalis warga. Selama mereka melakukan penerbitan secara reguler dan memenuhi kaidah juranlistik. Hal ini ditanggapi secara positif oleh Mohammad Iqbal, pimpinan umum Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Solidaritas, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA).
“Saya sepakat dengan pendapat mas Dhandy. Pers itu ya mereka yang melakukan kegiatan mengolah dan menyebarluaskan informasi secara reguler dan memenuhi kaidah jurnalistik. Dari sudut pandang LPM, saya menangkap di sini ada peluang. Supaya LPM tetap menjadi pers dalam definisi sebenarnya, sesuai esensi. Maka kita harus semakin produktif menulis dan menyebarluaskan informasi,” tutur Iqbal saat ditemui di akhir diskusi. (N/F:Titis)