Hiduplah Indonesia Raya…, itulah sepenggalan syair lagu Indonesia Raya. Namun, siapa yang menyangka dibalik lagu tersebut tersirat lingkaran makna yang cukup mendalam.
Wage Rudolf Supratman, nama yang tak asing bagi rakyat Indonesia. Meskipun telah tiada, namun sosoknya tetap dikenang oleh banyak orang. Dengan nama itu, kedua orang tuanya almarhum Senen Sastro Raharjo dan Siti Senen yang berdomisili di dusun Sumongari, Kec Kaligesing, Kab Purworejo Jawa Tengah ini, berharap agar anaknya mendapatkan pendidikan di sekolah tempat anak-anak Belanda belajar.
Bicara mengenai kelahirannya ada dua versi. Menurut versi keluarga, tempat lahirnya di Jakarta. Sedangkan menurut versi masyarakat setempat, kelahirannya di Purworejo. Sedangkan tanggal lahirnya ada yang menyebutkan pada tanggal 9 dan 19 Maret 1903. “Ini memang misteri”, jelas Zainal Karim kepala museum W.R Supratman.
Pahlawan RI yang tinggal bersama saudara sekandung almarhum Sastro Miharjo, di jalan Mangga no. 21 Kec Tambak Sari ini, mempunyai tagline sendiri dalam pribadinya. Yaitu, “Tempat yang paling tidak aman adalah tempat yang aman”.
Kemudian pada tanggal 10 November 1945 sempat ditinggal karena bagian belakang rumah terkena bom mortir. Seiring bergulirnya waktu, ternyata rumahnya sudah dihuni etnis Tionghoa. Masalah pun sempat datang, saat keluarga W.R. Supratman menginginkan kepemilikan rumah tersebut. Terjadi perebutan kepemilikian atas status rumah itu. Namun, Keluarga WR. Supratman mengalah dan pulang dengan tangan kosong.
Dedikasinya Sempat terlupakan
Tak bisa dipungkiri keberadaan seorang W.R.Supratman sempat terlupakan oleh pemerintah selama 27 tahun. Hal ini terbukti saat benda peninggalannya tidak dirawat oleh pemerintah, padahal seperti yang telah kita ketahui sendiri, WR. Supratman adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang sudah banyak memberikan perjuangannya untuk bangsa Indonesia. Sudah barang tentu, seluruh peninggalannya adalah cagar budaya bangsa kita yang wajib kita jaga.
“Waktu itu tahun 1974, saya menemukan rumah ini, saya sangat prihatin bahkan menangis, karena melihat cagar ini tidak terawat dan terlihat kumuh sekali”, ujar Zainal Karim yang saat ini merupakan anggota dari Bonek (Bondo Nekat), kelompok suporter dari Persebaya Surabaya.
Kisah pahit tak hanya sampai disitu, lagi-lagi rumah tersebut mengalami kenangan suram, karena pernah dijarah oleh anggota Bonek. Namun, dapat diselamatkan dan sebagai sanksinya suporter bajul ijo itu di penjara selama 10 tahun, karena dianggap melanggar UU cagar budaya.
Sesuatu yang ditunggu-tunggu tiba juga, akhirnya pemerintah pun melirik keberadaan bangunan tua itu. Pada tahun 2003 dilakukan peresmian oleh menteri Kebudayaan dan Pariwisata di gedung Grahadi, Surabaya.
Selain kecerdasanya dalam mengolah kata menjadi bait, bait menjadi lagu, ia pun juga pernah mengukir prestasi lainnya di bidang seni. Terbukti saat kepiawaiannya dipertontonkan kepada orang banyak, saat ia tampil bersama bandnya bernama Black And White Jazz band. Kepandaiannya dalam memainkan alunan alat musik biola kala itu bisa menghipnotis penonton.
“Saat itu beliau masih berumur 17 tahun, sebagai penghargaan atas karyanya, sekarang biola milikinya itu ditempatkan di Museum Sumpah Pemuda,”papar lelaki kelahiran 24 Juni 1968 ini. Penghargaan tak sampai disitu, lanjut Zaenal, biola tersebut pernah ditawar dengan harga 5,4 miliar oleh orang Amerika yang pada saat itu bekerja di Balai lelang Kritis.
Harga yang cukup mengesankan karena biola tersebut merupakan buatan tangan dari Nicolas Amatis, seorang pembuat biola dari Italia. Sementara itu ada pula, peninggalan patung W.R. supratman yang berdiri di depan rumahnya. Namun, jangan salah, patung yang satu ini imitasi. Yang asli terdapat di Makam Rangkah, tempat makam W.R Supratman.
Pendapat masyarakat
Sementara itu, masyarakat kota pahlawan memiliki beragam pendapat terkait pencipta lagu Nasional ini. Salah satunya, Farida El Safitri. Mahasiswi FISIP UNAIR ini mengatakan bahwa sudah sepatutnya Pemerintah kota (Pemkot) Surabaya bertanggung jawab.
“Wali kota Bambang D.H selaku pimpinan tertinggi Pemkot Surabaya harus bertanggung jawab penuh terkait bangunan cagar budaya yang ada di kota Surabaya. Lagi pula, bangunan tersebut merupakan saksi sejarah. jadi ya harus dilestarikan,” ujar Farida saat di temui Acta Surya di kampusnya.
Di tempat terpisah pengamat sosial politik Ir. Hery Dwi Wahyudi saat di temui Acta Surya di DPRD kota Surabaya mengatakan bahwa Bangunan Cagar Budaya harus di jaga dan dirawat.
“Cagar Budaya itu asset yang tak ternilai dan merupakan peninggalan jaman dahulu. Jadi, sudah keharusan Pemkot Surabaya melalui dinas terkait yaitu Dinas Budaya dan Pariwisata (Disparta) yang ngopeni,” tutur Hery.
Hery yang akrab disapa Cak Cox ini menambahkan bahwa kita sebagai masyarakat kota pahlawan juga punya andil di dalamnya. “Jadi, marilah kita bersama-sama menjaga bangunan cagar budaya sebelum jatuh ditangan orang asing,” kata Pria berambut gondrong ini sambil menghisap rokoknya.
(Naskah: Qusnul&Silvy. Foto: Qusnul)