Launching catatan akhir tahun 2018 LBH Surabaya, Senin (17/12)
Actasurya.com – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya merilis catatan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) sepanjang tahun 2018, yang menimpa masyarakat miskin dan marjinal di Jawa Timur.
Sepanjang tahun 2018, LBH Surabaya telah mendapatkan permohonan layanan bantuan hukum sebanyak 436 kasus. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 422 kasus.
Namun dari 436 kasus tersebut, 18 diantaranya ditolak oleh pihak LBH Surabaya, lantaran bertentangan dengan visi misinya. Yakni seperti kasus pengedaran narkoba, pelaku pencabulan, pelaku kekerasan terhadap anak dan perempuan dan lain sebagainya.
Direktur LBH Surabaya, Abd Wachid Habibullah mengatakan dari sebagian besar masyarakat yang datang ke LBH tersebut, sejumlah 75 persennya adalah warga Kota Surabaya.
“Kemudian disusul Sidoarjo sebanyak 7,1 persen, selebihnya adalah warga di seluruh Jatim bahkan ada dari luar Jatim yaitu sebanyak 18 kasus atau 4,14 persen,” kata dia saat ditemui di Kantor LBH Surabaya, Senin (17/12) .
Sepanjang 2018, setidaknya LBH Surabaya menerima tiga jenis kasus hukum, kata Wachid, hal itu terdiri dari 291 kasus perdata, 119 kasus pidana, dan 8 kasus tata usaha negara.
Dari proporsi kasus di atas, terdapat pula kasus pelanggaran HAM atau jenis kasus struktural yang menempati urutan pertama adalah kasus perburuhan sebanyak 37, lalu kekerasan terhadap perempuan 13 kasus, dan pertanahan sebanyak 9 kasus.
“Untuk kasus pidana kasus terbanyak adalah, penggelapan 20 kasus, penganiayaan 13 kasus, penipuan 12 kasus,” kata dia.
Lalu dalam kasus perdata, sepanjang 2018 LBH Surabaya menangani jenis kasus terbanyak yakni berupa wanprestasi 49 kasus, waris 44 kasus, perceraian 40 kasus.
Kemudian dalam pelanggaran tata usaha negara, LBH Surabaya menangani jenis kasus terbanyak yakni, 2 kasus kependudukan, 2 kasus Kepegawaian, dan 2 kasus tanah dan perumahan.
“Sementara itu, LBH Surabaya juga menerima kasus pelanggaran HAM terbanyak yakni, 37 kasus pelanggaran hak perburuhan, 13 kasus kekerasan terhadap perempuan, 9 kasus penggusuran tanah dan perumahan, dan 5 kasus kriminalisasi,” kata Wachid.
Surabaya Terparah
Kota Surabaya menjadi penyumbang terbanyak kasus pelanggaran hukum dan hak asasi manusia (HAM) di Jawa Timur. Dari 436 permohonan kasus yang diterima LBH Surabaya, 75 persennya bahkan berada di Surabaya.
“Sebagian besar masyarakat yang datang ke LBH Surabaya adalah warga Kota Surabaya, sebanyak 75 persen,” kata Wachid.
Berdasarkan monitoring dan catatan LBH Surabaya, sepanjang 2018, salah satu permasalahan di Kota Surabaya yang paling menonjol adalah soal pelanggaran HAM pada sektor miskin kota terkait penggusuran paksa.
Wachid mengatakan, berdasarkan tracking media LBH Surabaya, terdapat 8 kasus penggusuran rumah/bangunaan liar di Surabaya, di antaranya adalah di Keputih, Medokan Semampir, Osowilangon, Dinoyo, Sepanjang Kali Jagir, Tidar Gunawangsa, dan Tambang Boyo.
“Dari 8 kasus tersebut, modus penggusurannya antara lain normalisasi sungai, penaataan kota dan pelebaran jalan raya,” kata dia.
Dari penggusuran paksa tersebut, jumlah korban yang terdata LBH Surabaya bahkan mencapai lebih dari 841 kepala keluarga.
Data itu, kata Wachid bisa saja bertambah karena ada beberapa kasus yang belum terdeteksi korbannya, antara lain yang di Tambang Boyo, Dinoyo, Osowilangon dan Sarioso.
Hak Sipil dan Politik Terancam Jelang 2019
Selain itu, LBH Surabaya juga menyoroti banyaknya kasus pelanggaran HAM dibidang hak-hak sipil dan politik selama tahun 2018, di Surabaya. Bahkan hal itu semakin santer terjadi menjelang tahun politik 2019.
LBH Surabaya mencatat, di Kota Pahlawan ini terdapat upaya pembungkaman kebebasan berekspresi dan berpendapat yang dilakukan oleh aparat negara maupun aktor non negara, ormas.
“Adanya pelarangan aksi, pembubaran diskusi, bahkan adanya kerasan. Catatan kami menjelang tahun politik 2019, banyak terjadi persekusi terhadap kelompok yang anti pemerintah,” kata Wachid.
Seperti halnya yang dialami Alian Mahasiswa Papua di Surabaya, yang sepanjang 2018 ini mengalami beberapa kali tindak represifitas dari kepolisian maupun ormas.
Juga, pembubaran peserta Aksi Kamisan di Surabaya beberapa waktu lalu. Serta kriminalisasi terhadap aktivis HAM seperti yang dialami Mahasiswi Anindya, Aktivis FPMI dan warga Waduk Sepat Surabaya.
“Ini menunjukan tidak adanya komitmen negara dalam melindungi warga masyarakat yang memperjuangkan haknya,” kata Wachid.
Selain itu, ada pula upaya represifitas yang dialami oleh oleh kelompok massa yang berusaha menyampaikan aspirasi politiknya, di muka umum.
“Ketika ada kelompok yang menyampaikan pendapatanya justru malah direpresi, terutama kepolisian, bahkan itu tak hanya terjadi di Surabaya tapi juga Malang dan daerah-daerah di seluruh Indonesia lainnya,” kata dia.
Hal itu kata Wachid makin menunjukan bahwa pemerintah Indonesia kini makin menunjukan sikap otoriter dan tak berpihak pada demokrasi.
“Pemerintah Indonesia makin mendekati ke arah otoritarianisme, karena kepolisian menjadi aktor untuk merepresi kebebasan masyarakat dalam berpendapat,” kata dia.
Hal itu kata Wachid, makin membuktikan bahwa Pemerintah Kota Surabaya selama ini abai dengan keadilan masyarakat kota Surabaya.
Sekaligus pula sebagai cerminan bahwa pemkot belum optimal dalam memberikam layanan bantuan hukum, sebagai mana yang diamanatkan dalam UU nomor 16 tahun 2011 tentang bantuan hukum dan penerbitan perda bantuan hukum.
“Ini menjadi catatan bagi Surabaya yang selama ini disebut sebagai kota ramah HAM dan kota toleran, ternyata Surabaya masih belum bisa memenuhi hak masyarakatnya,” kata Wachid.
Perda bantuan hukum itupun di kota Surabaya tahun kemarin baru diinisiasi, dan tajun ini masih dalam tahap pembahasan di DPRD. “Belum berfungsi dan belum disahkan,” ucap Wachid.
Pihaknya pun mendorong agar Pemkot Surabaya sesegera mungkin membuat kebijakan untuk memastikan akses keadilan yang meluas kepada masyarakat miskin dan marjinal di Surabaya.(N/F: nna)