actasurya.com – Satu di antara bangunan-bangunan yang menjadi saksi bisu sejarah adalah Toko Buku Peneleh,berada disebelah kiri Gang Peneleh VII. Terletak di seberang rumah HOS Tjokroaminoto atau Pak Tjokro, di Kecamatan Genteng,Surabaya bangunan lawas ini dulunya tempat kos yang pernah diinapi Bung Karno semasa sekolah.
Toko Buku Peneleh tidak seperti toko buku zaman sekarang yang memiliki arsitektur modern, dimana tempat ini tetap mempertahankan nuansa bangunan lawas sejak awal berdiri. Memasuki ruangan seluas 3 x 9 meter, tampak buku-buku tertata rapi di etalase serta lemari toko. Menengok ke dinding tepat di depan pintu masuk, terpampang foto Bung Karno, bukti bahwa ia pernah berkunjung ke tempat ini pada tanggal 18 Desember 1956 kala itu ia menjabat sebagai Presiden RI (Republik Indonesia). Terdapat dua ruang yaitu satu sebagai toko buku dan sebelahnya sebagai rumah tinggal.
Toko buku ini diperkirakan dibangun pada pertengahan tahun 1800 dengan kepemilikan Abdul Latif Zein,salah seorang tokoh di balik berkembangnya Muhammadiyah di Surabaya. Karena itu, konon di tahun 1920-an, toko buku ini juga merupakan percetakan sekaligus tempat untuk memajang buku tentang Agama Islam,Fiqih danSyariah. Salah satunya buku yang berisi khutbah Jumat Kyai Haji Mas Mansoer, seorang tokoh besar Muhammadiyah di era Pergerakan Nasional saatitu.
“Cerita dari keluarga saya memang seperti itu. Dulu toko ini, menjual dan menyediakan buku-buku untuk kebutuhan umum. Tapi kebanyakan buku yang dijual tentang pergerakan Islam dan nasionalisme,” kata Azhari generasi ketiga pemilik Toko Buku Peneleh.
Toko Buku Peneleh merupakan salah satu saksi bisu Presiden Soekarno saat masih bersekolah di HBS (Hogere Burger School) Soerabaia tahun 1916-1921. Presiden pertama RI ini pernah mengunjungi toko buku peneleh untuk sekedar membaca buku, yang kebetulan ia juga tinggal di Peneleh sebagai anak kos di rumah Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto atau yang dikenal sebagai Pak Tjokro.Toko yang hanya berjarak sekitar 10 meter di depan rumah kosnya ini, merupakan salah satu tempat ia belajar nasionalisme dengan banyaknya buku literasi tentang pergerakan Islam dan nasionalisme saat itu.
“Percetakan dan toko buku selain jadi sumber ekonomi keluarga juga menjadi gudang ilmu bagi siapa pun. Keluarga awalnya memang tidak begitu tahu toko buku ini sangat berarti bagi Bung Karno.Namun kalau soal pergerakan Muhammadiyah, memang iya bahkan hingga kini,” tambah Azhari.
Toko buku Peneleh menyediakan buku yang jumlahnya tak terlalu banyak, selain karena ruang yang tidak luas, juga karena buku yang diual adalah khusus buku Agama Islam. Perabot dan ornamen di toko buku yang buka pukul 08.00-16.00 WIB ini masih asli sejak dulu, terlihat tetap dalam kondisi terawat meskipun termakan zaman, berbanding terbalik dengan pembeli buku yang jumlahnya semakin menurun terkikis zaman. “Meskipun letaknya di tengah kota, tapi belum banyak diketahui masyarakat, selain itu juga minat membaca yang semakin turun,” ujar Muhammad yang sehari-hari menjaga rumah dan difungsikan sebagai toko buku itu.
Toko buku Peneleh tak dijadikan cagar budaya seperti halnya rumah HOS Tjokroaminoto karena statusnya yang toko buku operasional pribadi. Terlepas dari kebenaran sejarah, jejak penting Toko Buku Peneleh sebagai penambah wawasan pengetahuan dan kebangsaan pemuda Indonesia di masa pergerakan tidak bisa di kesampingkan begitu saja,“setidaknya, meski berstatus milik pribadi ada pernyataan resmi dari pemerintah untuk mengantisipasi hilangnya mata rantai sejarah,” tutup Muhammad.
(N/F : erik)