Sejak sepuluh tahun lalu delapan lapak itu berjajar di tepian jalan. Bagian depannya dipenuhi lampu-lampu yang bergantungan. Piring-piring besar bergambar dipajang juga di sana. Di setiap lapak, isinya nyaris sama. Barang-barang antik berjejalan. Meja, kursi, mesin ketik, radio, setrika, lukisan, cermin, dan masih banyak lagi.
Saat memasuki lapak, aroma antiknya begitu kental terasa. Banyak barang yang belum pernah terdefinisi oleh indera penglihatan orang modern, ada di sana. Mulai dari pernak-pernik mungil, gelas-gelas porselen atau perunggu, botol-botol bekas, sampai meubel lawas. Kita seakan diajak berkelana melintas zaman.
Siang itu, 7 April 2010, beberapa pekerja sibuk membersihkan barang dagangan mereka dengan air keras. Supaya terlihat lebih bersih dan mengilap. Maklum, yang mereka jual bukan barang ‘fresh from the oven’. Kedelapan lapak yang ada di Jalan Bodri, Gelora Pancasila, Surabaya itu adalah tempatnya jual-beli barang antik.
“Dibandingkan Jakarta, Bandung, atau Jogja, barang antik lebih banyak saya temukan di Surabaya,” kata Ade Supriyadi, seorang pedagang yang mengklaim jajaran lapak itu sebagai “Pasar Antik Surabaya”. Pasar itu buka setiap hari, mulai pukul 8 pagi sampai pukul 8 malam.
Biasanya barang antik didapat dari tawaran para tukang rombeng. Ade sendiri menugaskan karyawannya berkeliling hunting barang antik setiap sebulan sekali. Kalau sudah keliling, bukan hanya kawasan Surabaya yang ia satroni. “Sebenarnya banyak barang antik, tapi adanya di rumah-rumah. Tidak banyak yang jual secara terbuka,” Ade menuturkan.
Pria 51 tahun itu mengaku dirinya sebagai yang pertama mendirikan lapak dan memprakarsai Pasar Antik Surabaya. Awalnya, ia berdagang barang antik di Jalan Surabaya, Jakarta. Saat keliling mencari barang, ia menangkap peluang usaha di Surabaya. “Satu-satunya di Surabaya ya baru ini,” katanya.
Berangkatlah ia bersama kawan-kawannya asal Ciamis, Jawa Barat. Maka jangan heran kalau waktu senggang, para pedagang di Pasar Antik Surabaya bercengkerama dan bergurau dalam bahasa Sunda. Pemilik kedelapan lapak itu memang asli Jawa Barat.
Ade memang tak salah menangkap peluang. Jajaran lapak penjaja barang antik itu mulai dilirik masyarakat. Bukan hanya lokal Surabaya, Pasar Antik juga kerap didatangi turis mancanegara. Meski pendapatan hariannya tak pasti, tetapi Ade memiliki pelanggan dari Malaysia yang selalu datang setiap dua bulan sekali. Padahal harga yang ia patok cukup tinggi. Lampu ukuran besar misalnya, ia jual dengan harga sekitar 5 juta rupiah.
Meskipun telah sepuluh tahun berdiri, ternyata keberadaan Pasar Antik Surabaya belum diresmikan oleh Pemerintah Kota (Pemkot). Papan nama dengan cat hijau yang mengusung semangat ‘Visit Indonesia Year 2008’ itu pun masih inisiatif bikinan Ade dan kawan-kawannya. “Saya pernah ke Dinas Pariwisata, katanya mereka mendukung. Tapi belum ada tindak lanjut dan peresmian tempat oleh Pemkot,” keluh Ade.
Ade dan kawan-kawannya khawatir, lapak yang mereka punya kelamaan tidak akan mumpuni menampung barang-barang antik. Lagipula, lanjut Ade, kalau barangnya berjejalan dalam lapak sempit, banyak yang luput oleh pandangan mata pembeli. Karena itulah mereka sangat berharap ada yang peduli untuk meresmikan lapak-lapak itu.
(T/F Rizky Sekar A.)
2 Komentar
INini Juga barang antik loh Pedang Naga Puspa
Dipindah rawatkan Pedang Naga Puspa buatan tangan Mpu Ranubaya
Bahan : Batu Meteor ,Bertuah ; anti racun ,anti tembak
Untuk informasi lebih lanjut dapat menghub. 081282045177/08813298217
ini yg di daerah padmosusastro ya?