Siapapun yang melintas di pusat kota Surabaya, pasti tergoda oleh Balai Pemuda. Bangunan bergaya klasik, dengan kubah menjulang ke langit, menjadi pembeda dengan bangunan lain di sekitarnya. Memaksa pandangan menikmati eksotika bangunan itu. Meski sekilas saja.
Dihiasi pintu-pintu kayu setinggi dua meter lebih, angin-angin yang terletak di bagian atas, berpadu dengan atap setinggi hampir 9 meter, keistimewaan bangunan lawas di Jalan Pemuda Surabaya itu kental terasa. Belum lagi, karakteristik arsitektur gaya Eropa yang dimodifikasi dengan kondisi lingkungan Indonesia yang beriklim tropis basah.
Keunikan bangunan yang kubahnya bergaya gotik dengan gewel khasnya itu, benar-benar menunjukkan identitas bangunan beramora kolonial. Muncul rasa “ngeri” terselip di sela-sela rasa kekaguman. Merasa kecil di sela-sela keagungan arsitektur lawas.
Pantas bila Balai Pemuda dibuat sedemikian rupa. Mengingat gedung yang dulu menjadi tempat berkumpulnya para pemuda di jaman perang ini konon akan dijadikan pusat dari aktivitas budaya di masa itu. Keagungan produk budaya di jamannya.
Kini, bangunan yang masuk dalam daftar Cagar budaya itu lekat dengan berbagai kendala. Utamanya, kendala biaya pemeliharaan. Meskipun berbagai event mulai pementasan seni hingga pagelaran pernikahan, digelar untuk menutup membiayaannya. Tetap saja, kata kurang tidak serta-merta menghilang.
Meski demikian, memunculkan seniman-seniman handal dari tempat ini menjadi hal yang tidak bisa dinafikan. Sekali lagi mengkukuhkan Balai Pemuda sebagai tempat yang begitu menggoda.***
Naskah: Guntur IP | foto : Akbar Insani
ARTIKEL TERKAIT
Aura Kesenian di Balai Pemuda
Saksi Bisu Bernama de Simpangsche
2 Komentar
Masih belum diupdate ya? Terus kali ini alasannya apa? Masih seputar fasilitas? Manajemen SDM? Atau jangan2… mentalitas SDM-nya? Wah-wah….
Sesekali coba lihat terbitan2 ACTA SURYA di masa lalu. Fasilitas yg mereka punya, sungguh jauh dari yg Anda miliki sekarang. Pengelolanya yg waktu itu anak-anak kost, mesti rela kehilangan duit rokok buat rental komputer, gara-gara deadline naskah udah di depan mata. Sesekali, hal2 begini perlu dilihat lagi… Maafkan saya jika bicara begini. Tapi saya pikir, Acta Surya adalah milik semua.. bukankah begitu?