Actasurya.com – Kemarahan rakyat dan para pemuda-pemuda di Surabaya tidak tertahankan lagi, ketika melihat bendera merah-putih-biru berkibar kembali di Hotel Yamato yang kini menjadi Hotel Majapahit. Pada tanggal 19 September 1945 dengan serempak rakyat bergerak, suasana menjadi panas, Jalan Tunjungan menjadi lautan manusia yang bergelora.
Ditanggal yang sama, namun ditahun yang berbeda yakni tahun 2018, aksi perobekan bendera Belanda dikenang kembali oleh warga Kota Pahlawan. Dengan mempersembahkan pertunjukkan teatrikal perobekan Bendera di Hotel Majapahit yang diadakan setiap tahun, semangat dan antusias para lakon.
Acara tersebut guna mengenang perjuangan arek-arek Suroboyo, dalam memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia dari tekanan Belanda. Hal ini membuat Tri Rismaharini Wali Kota Surabaya berkomentar mengenai semangat membara anak-anak bangsa, agar generasi muda tidak pernah takut dan tidak mengenal kata menyerah.
“Semangat anak muda yang mengikuti, terus terang saya senang, saya surprise, ternyata mereka mengikuti itu dengan antusias. Kemudian mereka semangat, juga saat terjadi perobekan, lucu, mereka yang banyak teriak-teriak. Artinya semangat itu sudah terbentuk dan terbangun di anak-anak kita, saya berharap ini terus,” kata Risma, Rabu (19/09).
Membakar semangat para anak muda, sebab merekalah (generasi muda) yang akan bertempur diperang sesungguhnya. Yaitu berperang melawan kemiskinan dan kebodohan. Itu lah yang terus digelorakan oleh Risma, supaya anak bangsa tidak mengenal kata menyerah dan putus asa.
Dengan segala keterbatasan, para pemuda tetrikal dapat naik ke puncak Hotel Yamato dengan bergotong royong menggunakan anak tangga lalu merobek bendera Belanda. Kolosal ini disaksikkan oleh Wali Kota, warga, anak sekolah, polisi, hingga organisasi veteran yang resmi diakui Indonesia (LVRI).
Rupanya hal ini adalah suatu kebanggaan bagi para lakon teatrikal, karena membutuhkan kekuatan yang besar, dan kepercayaan yang tinggi. “Kalau nggak orang yang benar-benar ingin merdeka 100% nggak bakalan naik ke sana pakai tangga kayu,” ucap Ali Machfud perobek bendera dari Paguyupan Teater Q Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Untuk menunjukkan kolosal tentunya membutuhkan waktu untuk berlatih, dengan jangka waktu satu bulan para teatrikal mampu membuat penonton tergakum. Ali merasa bangga bahwa Surabaya pernah merdeka dengan gagah berani, dan merdeka menurutnya ialah mampu berdiri sendiri tanpa ada kekangan dari siapa pun.
“Merdeka adalah berani dengan keadaan yang sangat benar, benar, dan benar. Kalau merdekanya anak Surabaya menurut saya kekentalan, keberanian arek-arek Suroboyo itu sudah sangat diakui dimana-mana, tapi mungkin hanya masih satu, dua orang saja yang merasakannya,” terang Ali yang menjadi perobek bendera Belanda sejak tahun 2017.
Meskipun generasi muda sekarang sudah tertinggal jauh dengan kemerdekaan yang berhasil diraih oleh para pejuang, tetapi anak bangsa dapat melawan dan mengusir penjajah yang hinggap dalam jiwa. “Artinya anak-anak kita punya keyakinan cucu-cucu buyut-buyutnya pejuang, dia tidak ada mengenal kata menyerah untuk mempertahankan diri,” imbuh Risma.
Tahun 2020 yang akan datang akan ada perjuangan yang lebih berat, yakni menghadapi World Trade Organization (WTO). Pemuda pemudi negeri pertiwi akan bertempur di seluruh dunia, yang dimana tidak hanya dibekali kepintaran saja, namun tidak ada bekal ideal juang sehingga tertanam rasa putus asa.
“Padahal, mohon maaf, kita kan berjuangnya setengah mati untuk mempertahankan ini. Artinya jangan sampai anak-anak kita jadi penonton di kota kita sendiri, nah pompa itu yang perlu saya bangun terus. Mereka adalah pemilik dan mereka adalah merekalah yang nanti akan mengelola kota ini, karena terus terang ke depannya pasti akan berat tantangan untuk anak-anak,” ujarnya di Hotel Majapahit. (N/F: Esti)