Richardany Nawipa, salah seorang pemantik diskusi saat menyampaikan materi, tentang Papua dari perspektif hukum (06/07).
Actasurya.com – Dalam memperingati tragedi Biak Berdarah yang terjadi pada 6 Juli 1998, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Surabaya adakan diskusi dan nonton bareng (Nobar) pada Senin (06/07) pukul 18.30 WIB di Asrama Papua, Jalan Kalasan no. 10 Kota Surabaya.
Diskusi dan Nobar yang dihadiri kurang lebih 30 Mahasiswa Papua itu, dimulai dengan pemutaran video pengakuan seorang korban saat tragedi Biak Berdarah yaitu Tinike. Dalam pengakuannya, dia menceritakan tentang bagaimana perlakuan aparat militer terhadap masyarakat Biak saat peristiwa kelam 22 tahun lalu itu terjadi.
Setelah itu, acara diilanjutkan dengan diskusi seputar kekerasan yang dilakukan oleh aparat militer di Papua saat kejadian itu. Diskusi menghadirkan narasumber dari anggota AMP itu sendiri, yaitu Yonas Simbiak dan Richardany Nawipa dan dipandu langsung oleh Ketua AMP Komite Surabaya, Alin Tekege.
Hasil diskusi dan nobar, didapat beberapa kesimpulan. Salah satunya Buka ruang demokrasi seluas-luasnya dan jaminan kebebasan Jurnalis dan Pers di Papua Barat.
Acara yang diselenggarakan bagi mahasiswa Papua dan umum ini, bertujuan agar mereka tidak melupakan peristiwa Biak, yang dirasa belum tuntas. Seperti yang disampaikan oleh Alin Tekege “Persoalan Biak berdarah adalah persoalan kita bersama jadi mari kita bersuara, jika bukan kita yang bersuara siapa lagi”, harapnya.
Tak hanya itu, acara ini juga bermaksud agar peserta mengetahui lebih dalam, atas peristiwa yang telah berlangsung selama puluhan tahun silam tersebut.
Seperti yang diakui Yakup Israel Rumasarwir Manibuy, mahasiswa ITS. Ia mengaku tak terlalu mengerti mengenai sejarah itu.
“Wawasan saya terbuka. Selama ini yang saya pelajari hanya sejarah di Jawa atau pulau lainnya sedangkan di Papua sendiri tidak ada,” ucap mahasiswa Papua asal Bintuni ini. (N/F: Max.)