actasurya.com – Banyak orang yang mungkin akan tertipu dengan tampilan luar masjid ini. Berbeda dengan masjid pada umumnya, dengan tembok bercat merah dan menara masjid menjulang bercat kusam , memberi kesan tempo dulu. Namun, siapasangka itu begitu kontras dengan interior Masjid Jami, Peneleh, Surabaya.
Sepuluh tiang penyangga dari kayu jati tampak kokoh menopang bangunan sebuah masjid. Berdiri di tengah pemukiman padat penduduk, seolah tampak menipu secara usia. Masjid Jami’ Peneleh, yang berada di Jalan Peneleh V, menjadi salah satu saksi bisu penyebaran Islam di Surabaya.
Ornamen jati terasa begitu kental ketika memasuki bangunan masjid. Tak beda halnya dengan tiang penyangga, langit-langit masjid yang dibangun pada 1421 M itu juga tak lepas dari aksen kayu jati. Langit-langit bangunan itu dihiasi tulisanArab yang berisi nama empat sahabat Nabi Muhammad, yakni Abu Bakar Ash Sidiq, Umar bin Khatab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib r.a.
Ditambah, 25 ventilasi yang mengelilingi tembok masjid itupun juga berhias aksara Arab dengan tulisan berupa nama-nama 25 nabi.
Tak banyak catatan ataupun referensi mengenai masjid bermenara besar ini. Namun, masyarakat setempat mempercayai bahwa Masjid Jami’ Peneleh dibangun oleh Sunan Ampel pada 1421 M atau lebih tua bila dibandingkan Masjid Ampel sendiri.
Heru, 59 tahun, pengurus Majid Jami’ Peneleh, menuturkan dalam bangunan masjid masih asli. Pada 1970-an serambi masjid diperluas tanpa mengubah ornamen dalam. “Keaslian masjid ini masih terjaga sampai sekarang kok, Mbak,” terangnya yang ditemuinya, Sabtu (20/6) .
Di samping itu, keunikan masjid ini juga pada penggunaan jam istimewa sebagai pedoman melihat waktu sholat. Jam istimewa adalah petunjuk waktu yang mengandalkan arah condong matahari.
“Kami melihatnya pada saat-saat tertentu saja, utamanya setiap lima hari sekali,” tambah Heru.
Menurut Heru, sampai saat ini cerita-cerita gaib tentang masjid tertua di Surabaya ini masih santer terdengar. Misalnya, di dalam masjid, tepatnya di tempat jamaah perempuan terdapat bekas sumur. Luas permukaan sumur itu hanya selebar satu buah keramik sehingga selalu tertutup rapat.
Sampai saat ini, sumur itu masih banyak diburu lantaran kepercayaan masyarakat akan khasiat di dalamnya. “Banyak masyarakat yang meminta air itu, tapi kami tidak berani membukanya. Apabila ada masyarakat yang membutuhkan kami akan cukup mengambilkannya dari tempat wudhu,” imbuh Heru yang juga warga asli Peneleh itu.
Berdiri pada zaman sebelum kemerdekaan, masjid ini juga menyimpan cerita pada masa kolonial. Dia menambahkan, pada masa perang kemerdekaan 1945, kubah masjid itu pernah tersambar meriam Belanda yang ditembakkan dari arah Jembatan Merah. Tapi kubah itu tidak hancurdan hanya bagian sisi timur yang sedikit mengalami kerusakan.
“Rusaknya waku itu tidak seberapa kok. Langit-langit yang jebol kena meriam itu langsung diganti,” ujar Heru.
Heru menambahkan, pembangunan masjid ini konon dilatarbelakangi karena pada saat itu Peneleh merupakan daerah yang ramai. Maklum, kampung Peneleh berada di sisi timur Kali Mas, sungai yang menjadi urat nadi lalu lintas perairan pada waktu itu. Jadi sangat mudah bagi Sunan Ampel untuk menyebarkan agama Islam.
Namun sayang, masjid tua ini harus kalah ‘pamor’ dengan masjid-masjid bersejarah lainnya di Surabaya. Tak banyak warga asli Surabaya yang mengetahui mengenai masjid ini, kecuali warga sekitar masjid yang sering sholat di masjid ini. (N/F: Wulan / Titis)