Actasurya.com – Insiden aksi ratusan mahasiswa Papua yang memperingati Papua Merdeka pada Sabtu (01/12) dengan turun ke jalan di Surabaya, kemudian diwarnai dengan penghadangan oleh kepolisian dan penyerangan oleh belasan ormas. Sementara itu, pada malam harinya, Minggu (02/11), 233 mahasiswa yang sedang berada di asrama diamankan oleh puluhan personel Brimob yang memadati depan asrama dengan peralatan lengkap, petugas linmas dan satpol PP juga ikut mengamankan lokasi Jalan Kalasan, juga terlihat massa ormas Pemuda Pancasila dengan atribut khas yang dikenakan.
Atas kejadian tersebut, Veronica Koman selaku Kuasa Hukum Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Alince Tekege anggota AMP, dan Fatkhul Khoir sebagai koordinator Kontras Surabaya mengklarifikasi atas kejadian yang dialami oleh ratusan mahasiswa Papua. Veronica pun mengatakan jika menyadari sesuatu, bahwa ormas menggunakan pendekatan yang salah terhadap orang Papua.
“Jadi ormas kan berpendapat bahwa kalau saya tidak salah, bahwa ormas teriak NKRI tapi tidak lama usir Papua. Jadi yang mana? Ini kontradiksi. Apakah dengan mendiskriminasi dengan lempar pukul sampai berdarah-darah, mengepung, apakah itu akan membuat orang NKRI? Malah membuat orang Papua menjadi antipati dong,” kata Kuasa Hukum AMP, Senin (03/11).
Menurut Veronica, terdapat dua cara yang salah dalam pendekatan ormas dan pemerintah pusat kepada Papua. Veronica mengatakan, jika mungkin dengan caranya menghargai kebebasan berpikirnya ormas, tetapi diajak refleksi.
“Apakah itu sudah pendekatan yang benar? Juga terkait pemerintah pusat juga yang pendekatannya menurut saya salah. Jadi pemerintah melakukan pendekatan dengan cara pembangunan untuk Papua, padahal akar konflik di Papua bukan itu. Menurut hasil riset LIPI, akar konflik di Papua itu yang sejarah integrasi Papua masuk ke Indonesia tahun 1960an itu,” jelasnya.
Maka dari itu, orang Papua termasuk AMP meminta referendum sebagai solusi demokratis. Itulah yang menjadi akar konflik, ketika Veronica mengatakan dengan mengutip LIPI.
“Jadi untuk menyelesaikan konflik harus ke akar konflik, ini pemerintah pusat pakai jalan putar ini, pakai pendekatan pembangunan. Saya bilang, kalau pun Presiden Jokowi membangun gedung tertinggi di dunia, di Papua pun itu tidak akan meredam konflik,” ujarnya.
Kuasa Hukum AMP mengatakan, jika hal itu lah yang menjadi kesalahan pendekatan, baik ormas maupun pemerintah pusat. “Agar situasi ormas yang memang mau menggandeng, mengajak diskusi jangan dimaki, dirangkul bukan digebukin,” ucapnya.
Sementara itu, Alice Tekege anggota AMP mengatakan, dengan mewakili teman-temannya, jika tindakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian dan ormas saat itu yang secara massal.
“Sebenarnya kita ini kan bersaudara tidak ada masalah, di antara kita sebenarnya inikan negara demokrasi, jadi setidaknya setiap kali kita di manapun, kita mau menyampaikan aspirasi, biarkanlah, berikanlah kita ruang untuk beraspirasi,” jelas Alice.
Karena menurut Alice, kejadian seperti ini tidak hanya satu kali, tetapi sudah sering terjadi dan sampai sekarang. Pun dirinya mengharapkan dan menginginkan, agar pihak penegak hukum untuk memberikan ruang kepada warga Papua yang mau beraspirasi.
“Inginnya supaya nanti ke depan ketika mungkin tidak hanya di Surabaya, dari mana saja yang mau menyampaikan pendapat, kasih kita ruang bebas aman kan itu aman kan kegiatan saja,” tutupnya. (N/F: Esti)