actasurya.com – YLBHI-Lembaga Bantuan Hukum (LBH Surabaya) bersama Federasi Serikat Pekerja Metal (FSPMI) Jawa Timur dan Aliansi Buruh Jawa Timur (ABJ), kembali melaporkan beberapa pelanggaran Tunjangan Hari Raya (THR) 2018.
Sebelumnya, pemberian THR diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor Per-04/MEN/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan. Peraturan tersebut diubah menjadi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan serta Peraturan Pemerintah 78 tentang upah.
“Sudah 15 kali kami mendirikan Posko Pengaduan Tunjangan Hari Raya (THR) untuk menerima pengaduan dari buruh di seluruh Jawa Timur pada setiap tahunnya. Karena dasar hukum kebijakan atau aturan terkait dengan pemberian THR kali ini sudah sangat jelas,” ucap Abdul Wachid Habibullah, Direktur LBH Surabaya
Dalam isi undang-undangnya tertulis, bahwa pekerja yang telah mempunyai masa kerja selama 12 bulan secara terus-menerus atau lebih, mendapatkan THR sebesar satu bulan upah. Sedangkan, pekerja yang mempunyai masa kerja mulai dari satu bulan secara terus-menerus, tetapi kurang dari 12 bulan, maka mendapatkan THR dengan besaran proporsional yaitu perhitungan masa kerja/12 x 1bulan upah.
“Bahkan, terhadap buruh atau pekerja yang putus hubungan kerja terhitung sejak 30 hari sebelum jatuh tempo hari raya keagamaan berhak atas THR. Pembayaran THR wajib dibayarkan oleh perusahaan selambat-lambatnya tujuh hari sebelum hari raya keagamaan,” paparnya.
Jika berkaca pada tahun lalu, sedikitnya ada 1.867 buruh yang melapor ke posko LBH Surabaya. Dengan total sebaran pelanggaran THR terjadi di 32 perusahaan di 6 Kota dan Kabupaten, meliputi Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Kab. Pasuruan, Kab. Tulungagung dan Kab Bojonegoro.
Sedangkan pada tahun ini, terdapat adanya kenaikan dari jumlah pekerja, yakni 2.479. namun sebaran pelanggaran perusahaan yang melanggar mengalami penurunan dengan total 16 perusahaan dan terjadi di 4 Kota dan Kabupaten Jawa Timur. Diantaranya, Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Kab. Pasuruan.
Tercatat korban pelanggaran THR didominasi pekerja kontrak atau outsourcing dan harian lepas. Bahkan pegawai tetap hak THRnya pun dilanggar, terutama mereka yang dalam proses PHK.
“Modusnya adalah para buruh kontrak, outshorching dan tenaga harian lepas yang karena statusnya tidak berhak mendapatkan THR, dan berdalih karena tidak mampu. Modus lainnya adalah dengan cara membayar mencicil namun berdasarkan keterangan pengadu pada tahun sebelumnya yaitu pemberian THR tidak sesuar dengan aturan,” terang Nuruddin, perwakilan FSPMI Jatim.
Berdasarkan hal tersebut Posko LBH Surabaya sedikitnya sudah memberikan rekomendasi kepada Dinas Ketenagakerjaan Jawa Timur agar dilakukan penindakan terhadap beberapa perusahaan yang tercatat. “Karena pelanggaran yang banyak di posko pengaduan adalah keterlambatan pemberian THR yakni lebih dari H-7 lebaran yang mana tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku,” lanjut pria yang akrab disapa Udin ini.
Menanggapi tren kenaikan, angka korban buruh yang dilanggar semakin besar. Jamaludin sebagai perwakilan Aliansi Buruh Jatim pun turut angkat bicara mengenai hal ini. Menurutnya, peningkatan angka tersebut tak lepas dari kinerja para pengawas Dinas Ketenagakerjaan yang dianggap tak berjalan dengan baik.
“Kalau dulu terhitung sejak 2016 kebelakang, memang belum ada pasal yang mengatur tentang hak buruh ini. Bahkan dalam isi surat tersebut ada sanksi administratif dan berupa penutupan perusahaan. Namun sampai detik ini saya belum mendapati pihak Disnaker merealisasikan itu, meskipun sudah jelas pelanggarannya,” keluhnya dengan nada sedikit meninggi
Meski begitu, kedepannya Jamal berharap agar para pengawas yang berada di bawah Provinsi Jawa Timur bisa lebih tegas dalam mengambil tindakan. ” Ya, setidaknya ada tindakan tegas dari mereka, agar tahun-tahun selanjutnya tidak ada lagi pekerja yang tidak mendapatkan haknya,” tutupnya. (N/F: Rahmad Suryadi)