Actasurya.com – Memperingati Hari Kemerdekaan Pers Sedunia atau WPFD (World Press Freedom Day), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia meminta kepada pemerintah untuk melindungi kebebasan berekspresi dan pers. Jika dibiarkan tanpa perlindungan, kebebasan berbicara dan kebebasan pers dapat membahayakan hak asasi manusia lainnya, Rabu (03/05/23).
Sasmito, selaku Ketua Umum AJI mengatakan, peringatan WPFD pada tahun ini mengusung tema Membentuk Masa Depan Hak Asasi: Kebebasan berekspresi sebagai pendorong semua hak asasi manusia lainnya.
“Tema WPFD tahun ini adalah Membentuk Masa Depan Hak Asasi: Kebebasan berekspresi sebagai pendorong semua hak asasi manusia lainnya, ” terangnya.
Peringatan di tahun ini, lanjutnya, bertepatan dengan 30 tahun Hari Kemerdekaan Pers Internasional sekaligus 75 tahun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Sasmito menjelaskan, di Indonesia sendiri, peringatan Hari Kebebasan Pers ini bertepatan dengan momen menjelang 25 tahun Reformasi. Reformasi 1998 menjadi momen runtuhnya otoriter Orde Baru dan membawa Indonesia menjadi pemerintahan demokrasi.
Kebebasan pers jadi bagian penting dalam kebebasan berekspresi. Tercantum dalam pasal 19, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai hak untuk mencari, menerima, memberikan informasi dan gagasan melalui media apapun tanpa memandang batas.
Selain itu, UU HAM dan UU Pers yang lahir pada 1999 menjadi jaminan pengakuan dan perlindungan HAM, termasuk kebebasan pers.
“Lahir di tahun yang sama, UU Hak Asasi Manusia dan UU Pers jadi jaminan dalam pengakuan serta perlindungan HAM dan kebebasan pers,” ungkapnya.
Namun, Sasmito menyebutkan, semakin kesini demokrasi di Indonesia dirasa menyurut. Hal tersebut ditandai dengan digunakannya regulasi yang menghambat kebebasan berekspresi dan pers.
Diantaranya, UU Nomor 1 Tahun 1946, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Peraturan Pemerintah No 71 Tahun 2019 dan Peraturan Menteri Kominfo 5/2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Privat, UU No 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
“Alih-alih bergerak maju, demokrasi saat ini malah dirasa mundur. Banyak regulasi yang menyulitkan dan membatasi kebebasan pers,” tegasnya.
Maka dari itu, UU ITE masih menjadi undang-undang yang bikin was-was bagi jurnalis online maupun para netizen yang menyampaikan kritik dan komentarnya di media sosial.
Dia mengatakan, AJI mencatat, sejak UU ITE lahir pada 2008 dan direvisi pada 2016, sedikitnya terdapat 38 jurnalis dilaporkan bermasalah dengan pasal-pasal di UU ITE, dan empat diantaranya dipenjara karena dinyatakan bersalah oleh Pengadilan.
“Masih berbahaya bagi media online dan orang-orang yang suka berkomentar di media sosial. Tidak sedikit yang dilaporkan, hingga ada yang dipenjara akibat hal tersebut,” ucap Sasmito.
Dia menjelaskan, sampai saat ini pun serangan seperti itu masih belum berakhir. Tahun 2022, AJI mencatat 61 kasus serangan dengan 97 jurnalis sebagai korban dan 14 organisasi menjadi targetnya. Pada Januari 2023 hingga yang terakhir 30 April 2023 kemarin, tambah sebanyak 33 kasus. Ini meningkat dibanding periode yang sama pada tahun 2022 lalu sebanyak 15 kasus.
“Sampai saat ini serangan seperti itu masih belum usai. Terakhir pada April lalu terdapat hingga 33 kasus banyaknya,” ucap pria berkacamata ini.
Kondisi yang sama dialami oleh pembela HAM dan kelompok kritis lainnya. Mereka menjadi target kriminalisasi, serangan digital, disinformasi dan berbagai upaya delegitimasi karena menyampaikan pendapat yang sah secara online maupun offline.
“Padahal kebebasan berekspresi dan pers itu sebagai pendukung HAM dari berbagai krisis yang tengah melanda saat ini. Namun mereka malah jadi target serangan digital dari undang-undang yang diberlakukan,” terangnya.
Sasmito menyebutkan, Dengan latar belakang tersebut, AJI mendesak beberapa hal. diantara: pertama, Pemerintah dan DPR RI untuk mencabut dan atau membatalkan berbagai regulasi dan pasal-pasal bermasalah yang menghambat kebebasan berekspresi dan kebebasan pers, utamanya UU ITE, PP 71 Tahun 2019 dan Permenkominfo 5/2020, UU Cipta Kerja;
Kedua, Presiden RI dan Kepala Kepolisian RI menghentikan seluruh kasus pemidanaan terhadap jurnalis dan pembela HAM karena karya jurnalistik dan ekspresinya yang sah;
Lalu yang ketiga adalah Presiden RI dan Kepala Kepolisian RI untuk mengusut secara transparan dan independen kasus-kasus serangan fisik dan digital terhadap jurnalis dan pembela HAM;
Keempat Pemerintah membuat mekanisme perlindungan terhadap pembela HAM, di dalamnya termasuk jurnalis, dengan melibatkan lembaga-lembaga negara lain terkait, komunitas pers, dan masyarakat sipil independen lainnya;
Kelima, Pemilik media untuk tidak mengintervensi ruang redaksi dengan tidak menyensor karya jurnalistik dan opini yang kritis;
Dan yang terakhir, Seluruh jurnalis untuk patuh terhadap Kode Etik Jurnalistik, memberikan ruang pemberitaan bagi mereka yang tidak dapat bersuara, dan mengarusutamakan isu-isu publik dalam seluruh pemberitaan.
“Hari Kemerdekaan Pers 2023 menegaskan bahwa kebebasan berekspresi dan kebebasan pers saling bergantung, saling terkait, dan tak terpisahkan dengan hak asasi manusia lainnya,” pungkasnya.
(N/F: Zak/ Dok. Pribadi)