Actasurya.com – Di tengah teknologi yang kian berkembang di zaman sekarang, semakin membuat orang mudah mengakses dan menyebarluaskan berita yang belum terverifikasi kebenarannya. Jika merujuk kepada praktek jurnalisme yang baik, kondisi tersebut tak boleh dibiarkan menjadi bola liar yang menggelinding tanpa arah kejelasannya.
Dalam Jurnalisme, etika teramat penting, karena dalam profesi ini lebih ditekankan dalam pengambilan keputusan. Maka dari itu, etika jurnalistik harus dijadikan sebagai pedoman bagi para Jurnalis dalam menjalankan tugasnya. Untuk mencegah jurnalis terperangkap sebagai salah satu penyebar hoaks, langkah yang patut diambil ialah tetap berpegang pada kode etik jurnalistik.
Sejak media sosial (medsos) eksis dan dimanfaatkan secara luas untuk berkomunikasi, sekaligus menyampaikan isi hati dan pikiran, hoaks pun kian bermunculan bak jamur dimusim hujan. Banyak orang yang tidak bertanggung jawab, menggunakan media sosial dalam menyebarkan berita hoaks yang berisi ujaran kebencian (hate speech), fitnah, isu-isu provokatif, sentimen SARA (suku, agama, ras dan antargolongan) dan pemutarbalikkan fakta.
Bukan tidak mungkin, berita-berita bohong juga dimanfaatkan oleh kelompok radikal-ekstrim. Hal ini semakin parah ketika musim pemilu. Terutama di bidang politik, yang menjadi sasaran berita hoaks. Hoaks berbau politik di Indonesia mulai mencuat dalam sosial media sejak tahun 2014. Pada tahun itu, TV One juga menarik pemberitaan yang dikutip dari iReport CNN tentang hasil survei Gallup Poll yang menyatakan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa memenangi Pilpres 2014.
Menurut Miftah Faridl, Ketua Aliansi Jurnalis Independen di Surabaya. Hal yang pertama untuk membedakan antara berita fakta dan berita hoaks adalah disiplin verifikasi. Dengan cara ini, jurnalis bisa membedakan dan memastikan mana informasi hoaks dan bukan. Verifikasi ini dilakukan dengan sangat disiplin dan berbagai tahap.
Pertama, jurnalis perlu tahu pasti siapa narasumber pemberi informasi, lalu cross check informasi ke lebih dari satu narasumber yang relevan. Ada juga cara lain, yakni mengakses beberapa media online yang kredibel.
“Cara ini sepele tapi penting dan efektif. Ingat, informasi bukan berita, informasi baru bisa dijadikan berita ketika sudah melewati tahapan verifikasi yang ketat,” ujarnya.
Ia juga menjelaskan sebagai seorang jurnalis, hal paling haram adalah menyajikan informasi yang belum terverifikasi menjadi berita. Selain bentuk kemalasan jurnalis, perilaku ini berpotensi menyebarkan hoaks. Termasuk soal isu politik, isu-isu yang dihembuskan itu tidak datang dari ruang kosong. Namun, ada agenda tersembunyi di dalamnya. Sudah seharusnya seorang jurnalis memverifikasi isu tersebut dengan memberikan konteks.
“Konteks ini penting agar jurnalis tidak terjebak pada polarisasi politik yang mengaburkan independensi jurnalis. Sebagai contoh, ketika ada tudingan soal 10 juta tenaga asing asal Tiongkok di Sulawesi,” imbuhnya.
Sebagai jurnalis, tidak cukup memuat statement dan bantahan dua pihak. Tetapi harus memastikan sendiri informasi itu ke sumber utama dan basis data. Kenapa? Agar jurnalis tidak terjebak dalam debat kusir. Jurnalis harus mengecek sendiri berapa jumlah pasti tenaga kerja asing dengan data, kemudian memberi konteks misalnya, rasio tenaga asing di beberapa negara, dibandingkan di Indonesia.
Perlu dipahami, berita mana yang masuk kategori hoaks, mana yang missleading dan false news. Semua memiliki pengertian berbeda. Kebanyakan jurnalis yang termakan hoaks, adalah yang serampangan menggunakan media sosial sebagai sumber utama informasi yang ternyata faktanya tidak ada, dan celakanya tanpa verifikasi.
Sedangkan missleading, lebih banyak disebabkan jurnalis yang tidak memiliki pengetahuan cukup untuk memberi konteks pada sebuah berita. Terakhir falsenews atau berita salah. Biasanya disebabkan oleh kemalasan seorang jurnalis dalam melakukan verifikasi. “Faktanya ada beberapa jurnalis salah dalam melihat, mendengar atau mengutip sesuatu untuk menyampaikan sebuah fakta,” tuturnya.
Salah satu penyebar hoaks saat ini ialah Buzzer di media sosial. Dalam era media sosial, Buzzer menjadi kegiatan yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Banyak orang mengambil peluang tersebut sebagai bisnis. Bahkan jurnalis pun merangkap sebagai Buzzer politik.
“Ingat, buzzer itu ingin menyebarkan informasi agar mendapatkan perhatian. Ketika seorang jurnalis tidak memahami news value, meraka akan dengan mudah memakan postingan Buzzer meskipun itu hoaks. Targetnya bukan menjernihkan melalui berita yang mereka tulis, melainkan hanya berorientasi agar mendapatkan untung, misalnya melalui jumlah klik berita. Jurnalis dan media massa macam ini menyesatkan.” pungkasnya.
Belakangan, hoaks kembali marak lewat momentum Pilpres 2019. Salah satu kasus yang menonjol belakangan ini adalah hoaks kontainer berisi surat suara pilpres yang telah dicoblos untuk pasangan capres-cawapres nomor urut 01, Jokowi-Maruf Amin. Salah satu nama yang terseret dalam kasus ini adalah Wakil Sekjen Partai Demokrat, Andi Arief.
Tak hanya itu, sejak pertengahan 2018 sampai awal 2019 yang juga dikenal sebagai tahun politik, hoaks yang berkaitan dengan Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (Pemilu Legislatif/Pileg) dan juga Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres).
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengidentifikasi 62 konten hoaks tersebar di internet dan media sosial sejak Agustus sampai Desember 2018.
Seperti yang pernah diliput oleh actasurya.com pada 12/05/2018 dalam acara Profesionalisme Jurnalis Menghadapi Hoax, dalam liputan tersebut Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo menjelaskan bagaimana mengidentifikasi suatu berita hoaks atau bukan. Yosep Adi Prasetyo, Ketua Dewan Pers, membedahkan bagaimana sebenarnya sebuah tulisan atau informasi dianggap sebagai fakta.
Menurut Yosep, yang boleh dianggap sebagai fakta adalah tulisan tersebut harus berupa berita.
Berita yang diperoleh dari kerja jurnalistik, cirinya, berita itu diproduksi oleh media yang sudah diverifikasi Dewan Pers, bukan berasal dari media sosial. Maka perlu kehati-hatian terhadap berita yang berasal dari media sosial, karena rentan teridentifikasi hoaks. Sebab media sosial, seperti yang dijelaskan oleh Yosep, merupakan tempat hoaks paling banyak.
Jadi cara membedakan hal tersebut hoaks atau bukan, kita lihat platform-nya. Yosep membagi beberapa poin pembeda yang bisa dijadikan acuan. Salah satunya, informasi di media sosial tidak melalui jenjang hierarki. Di media, naskah berita yang ditulis oleh wartawan harus melalui penyaringan dari Redaktur dan Pemimpin Redaksi sebelum dicetak.
“Sebenarnya, ini kembali pada kode etik jurnalistik, bahwa yang berhak memberitakan peristiwa itu adalah wartawan. Karena kita yang pelajari, kita yang punya kode etiknya, jadi hanya wartawan lah yang berhak membuat berita.” tambah Yosep.
Hal ini menjawab perbedaan jurnalis warga dan jurnalis media. Selain jurnalis media punya kode etik, juga jurnalis warga tidak mengerti cara memproduksi berita.
Yosep memberi contoh, seorang warga hanya melaporkan begitu saja, memberi informasi dengan bahasa mereka. Sedangkan jurnalis, mereka punya patokan, harus pakai bahasa indonesia yang baik dan benar.
Dari ribuan media, mana yang bisa dipercaya?
Menurut data Dewan Pers, ada 43.300 media di Indonesia, sedangkan yang terverifikasi baru 163 media. Jumah yang terverifikasi tersebut merupakan media yang sudah berbadan hukum.
Tetapi, menurut Yosep, di luar dari media terverifikasi tersebut, masih bisa dipercaya. Dengan syarat isi tulisan media tersebut merupakan hal yang positif. Yosep membuat rumusannya dalam empat kotak kuadran.
Dua bagian teratas merupakan media yang terverifikasi dan isi tulisannya positif, sedangkan dua yang terbawah adalah media yang tulisannya berisi konten negatif dan tidak terverifikasi.
Bagaimana dengan media komunitas atau pers mahasiswa?
Menurut Yosep, pers mahasiswa merupakan media yang bekerja secara jurnalistik. Kedua media tersebut memberitakan informasi yang positif. Jadi, mereka masih bisa dipercaya.
“Bukan status badan hukumnya atau orangnya, tapi produk jurnalistiknya dulu yang kita lihat. Melalui perencanaan atau nggak? Apakah melalui heirarki atau tidak? Juga apakah ada pelanggaran kode etik jurnalistik?” jelas Yosep.
Semuanya kembali pada kode etik dari wartawan dan pemenuhan format tulisan atau produk beritanya, dilansir dari actasurya.com.
Kabar bohong atau hoaks sangat mudah dideteksi, menurut Zainal Arifin Emka mantan wartawan senior di Surabaya Post, yang saat ini aktif sebagai penasehat media, membenarkan jika salah satu cara mendeteksinya adalah melihat dan menelusuri dari mana sumber berita tersebut, sekaligus narasumbernya.
“Pertama kita cek dulu dari mana berita ini, kita bisa melihat media apa yang menulis berita tersebut. Lalu narasumbernya siapa, kira-kira masuk akal nggak orang tersebut berbicara seperti itu, dari situ kita tahu ini berita bohong atau tidak,” ujarnya.
Selain melihat dari mana sumber berita dan mengenali siapa narasumbernya,
Dalam penyebarannya, kabar hoaks yang berbau politik sering tersebar melalui media sosial (Medsos), berdasar pada survey Mastel (Masyarakat Telekomunikasi) pada 17 Mei 2018 di media berita online Tirto.id, dengan judul Hoaks dan Bahaya Rendahnya Kepercayaan Terhadap Media, dalam data yang disajikan, menyebutkan saluran penyebar kabar hoaks tertinggi adalah medsos dengan presentase 92,4 persen dan disusul dengan aplikasi bertukar pesan seperti WhatsApp sebesar 62,8 persen.
Data tersebut diperkuat oleh pernyataan Sapto Anggoro selaku pemilik media berita online Tirto.id. Ia mejelaskan berdasar penelitian Mastel 2018, tampak bahwa Medsos dan Messenger adalah raja hoaks. Secara konten, konten politik paling banyak hoaksnya,
“Hal ini dapat terjadi karena pada dasarnya media sosial tak memiliki kewajiban verifikasi. Berbeda dengan media berita online yang memiliki disiplin verifikasi dan tidak memiliki kredibilitas dalam menjual hoaks,” ujarnya.
Tak hanya itu, masyarakat yang sangat mudah percaya dan membagikannya, walau tak mengetahui apakah kabar tersebut benar adanya. Namun sebenarnya hal ini dapat diminimalisir, bila masyarakat sadar akan pentingnya verifikasi terlebih dahulu terhadap kabar yang ada, dan menghindari adanya Disinformasi dan Misinformasi, seperti yang disampaikan oleh Sapto.
“Dis-informasi memiliki pengertian kegiatan yang sengaja melempar hoaks untuk tujuan tertentu dan misinformasi ialah kegiatan secara tidak sadar kalau info yang didapat palsu atau salah dengan menyebarkannya . Di mana keduanya dilakukan secara tidak bertanggung jawab,” ujar pria 53 tahun tersebut.
Sapto berharap masyarakat Indonesia bisa lebih bijak lagi dalam mencerna arus informasi,”jadi kita sebaiknya memakai logika berpikir yang masuk akal agar terhindar dari hoaks, ingat berita hoaks telah menjadikan perang dengan korban ratusan ribu orang,” tuturnya.