actasurya.com – Surabaya- Peringatan hari kebebasan Pers Internasional (World Press Freedom) diwarnai aksi teatrikal di depan patung Suro dan Boyo Kebun Binatang Surabaya (KBS) Selasa siang, (3/5/2016).
Aksi yang digelar puluhan pewarta yang terdiri dari fotografer, reporter, presenter dari berbagai media cetak, online, televisi, dan radio, mengatasnamakan dirinya sebagai Jurnalis Surabaya untuk Kebebasan atau disingkat (JaSuKe).
Berbekalkan bendera putih bercat merah dengan bertuliskan dukungan pers bebas, mereka menyerukan dukungan pers bebas. Tak hanya itu, Bahana Patria, fotografer Kompas memperagakan aksi teatrikal dengan guyuran cat merah hampir di sekujur badannya.
Koordinator aksi, Totok Soemarno mengatakan, saat reformasi seperti ini bukan saja membuat media baru bermunculan. Namun, juga pemberitaan yang berani dibanding era sebelumnya yang cenderung menjadikan pers sebagai corong kekuasaan.
“Kita kembali menyuarakan pada masyarakat bahwa kinerja teman wartawan dilindungi undang-undang. Pekerjaan jurnalis adalah sebagai penyampai informasi pada masyarakat luas. Untuk itu, hambatan yang kerap muncul ketika pekerja media melakukan aktivitasnya hendaknya ditiadakan,” ungkap Totok yang juga sebagai pewarta senior Suara Surabaya media.
Kebebasan pers selama ini menurutnya hanya slogan semata, belum terwujud nyata. Faktanya, kini masih banyak pihak beranggapan pewarta membawa petaka. “Hal ini perlu dipahami penjaga demokrasi,” jelasnya.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1999, bahwa pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun.
Menanggapi kebebasan pers di lingkup mahasiswa atau Persma, dirinya menegaskan, halangan dan batasan hanya untuk pekerja media. “Persma harusnya lebih berani. Tulisannya harus lebih keras . Karena di pers kampus kan sampai sekarang masih belum ada larangan.”
Adanya beberapa awak jurnalis di sejumlah persma yang berani menulis kritis namun mendapat tekanan dari pihak akademik kampus, Totok angkat bicara mengenai hal ini. “Itu perjuangan. Tinggal pilih saja, mau berjuang atau mau dihentikan”, tegasnya. (N/F: wawan)