(Ilustrasi: Instagram PPMI DK Surabaya.)
Actasurya.com – Dalam aksi penolakan UU Omnibus Law di Kota Surabaya pada Kamis (08/10/2020), dua orang Jurnalis Pers Mahasiswa (Persma) LPK Gema Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ditangkap saat melakukan kegiatan peliputan. Kejadian itu bertepatan saat terjadi kericuhan massa tepat di depan gedung nasional Grahadi Surabaya.
Dikabarkan dua jurnalis Persma tersebut yakni Muhammad Edwin A.D (Pemred LPK Gema Unesa) dan Moch. Fahmy Rizky Rizaldy (Redaktur LPK Gema) hilang kabar sekitar pukul 13.00 WIB saat terjadi bentrokan antara massa aksi dengan aparat kepolisian.
Menaggapi kabar atas kehilangan dua jurnalis tersebut, pada pukul 21.15 WIB PPMI DK Surabaya bersama salah seorang jurnalis Persma LPK Gema yang tidak ditangkap, mendatangi Polrestabes Surabaya untuk memastikan kondisi dua jurnalis yang ditangkap dan mengupayakan untuk membebaskan rekan mereka itu. Namun pihak Polrestabes meminta agar pada Jumat keesokan harinya, wali orang tua dua jurnalis yang ditangkap itu datang dan menjemput mereka pulang.
Menanggapi insiden penangkapan tersebut, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PPMI DK Surabaya Rangga Prasetya mengatakan bahwa tindakan aparat tersebut salah, mengingat dua jurnalis itu sudah dibekali dengan kartu pers saat melakukan peliputan di lapangan. Menurutnya jurnalis juga sudah dilindungi dan diatur dalam UU Pers No. 40 tahun 1998.
“Itu jelas salah, kemerdekaan pers adalah hak asasi. Apalagi di Pasal 18 disebutkan bahwa setiap orang yang secara sengaja melawan hukum dengan melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan kebebasan pers dapat dipidana,” tegas Sekjen PPMI DK Surabaya kepada actasurya.com saat dikonfirmasi melalui pesan singkat.
Menurutnya, kenyataan yang terjadi pada jurnalis khususnya Persma justru selalu direpresi pihak Kampus, aparat keamanan (TNI/POLRI) dan juga pihak lain yang berusaha menghalangi aktivitas jurnalistik.
“Di Surabaya sendiri saja, sudah banyak represi yang dialami kawan-kawan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM), mulai dari peleburan struktur LPM ke dalam BEM, pembubaran forum diskusi, pembubaran organisasi LPM, pemukulan pada jurnalis dan tindakan represif lainnya,” tuturnya.
Pihaknya menegaskan agar siapapun yang melakukan aktivitas jurnalistik seharusnya dilindungi oleh UU, tak terkecuali jurnalis Persma karena mereka melakukan kerja jurnalistik yang sama.
“Seharusnya siapapun yang jadi jurnalis profesional maupun yang sekadar jurnalis Pers Mahasiswa, idealnya sama-sama memperoleh perlindungan karena mereka sama-sama melakukan kerja jurnalistik,” tutur Rangga.
Ia sebagai Sekjen PPMI DK Surabaya berharap ke pihak kampus, aparat kepolisian serta pihak manapun untuk memahami kerja jurnalistik, sehingga tidak lagi terjadi tindakan kekerasan terhadap jurnalis yang bertugas.
“Harapannya, semoga aparat penegak hukum serta pihak kampus mau memahami lagi mengenai kegiatan jurnalistik dan media serta bagaimana arah geraknya. Agar tidak terjadi lagi tindakan represif yang dilakukan kepada wartawan/jurnalis,” pungkasnya. (N: Max)